Denting jam dinding di kamar Juwita menggema pelan, menandai pergantian waktu yang semakin larut. Juwita duduk di sudut tempat tidur, matanya menatap layar ponsel yang memancarkan cahaya redup. Ia baru saja membaca pesan dari Nathan.
**_"Bukakan pintu kamarmu."_**
Pesan itu membuat napas Juwita tercekat. Ia menatap layar ponsel itu lagi, memastikan bahwa ia tidak salah baca. Pikirannya berputar cepat, mencoba memahami maksud Nathan mengirim pesan tersebut pada jam satu dini hari seperti ini.
Suara ketukan lembut di pintu kamarnya membuat tubuhnya tersentak. Nathan benar-benar ada di luar. Dengan tangan gemetar, Juwita bangkit dan berjalan ke pintu. Jari-jarinya ragu-ragu memutar kunci, tetapi pada akhirnya pintu itu terbuka.
Nathan berdiri di sana, mengenakan kaos sederhana dan celana panjang. Wajahnya terlihat serius, namun ada senyum kecil yang tersungging di bibirnya. Tanpa berkata sepatah kata pun, Nathan melangkah masuk dan menutup pintu, lalu menguncinya kembali.
“Kenapa kamu ke sini? Sudah jam satu malam,” tanya Juwita, suaranya bergetar.
Nathan tidak menjawab langsung. Sebaliknya, ia menarik Juwita ke dalam pelukannya, erat dan hangat. “Aku rindu kamu,” bisiknya di telinga Juwita. “Aku tidak ingin tidur dengan Asti. Aku ingin tidur dengan kamu.”
Kata-kata itu membuat Juwita terperangah. Ia langsung mendorong tubuh Nathan menjauh, napasnya memburu. “Nathan, kamu gila? Ini sangat berbahaya! Bagaimana kalau Asti bangun?”
Nathan tersenyum kecil, lalu berjalan ke tempat tidur Juwita dan duduk di sana dengan santai. “Asti tidak akan bangun,” katanya dengan tenang.
“Apa maksud kamu?”
Nathan menatap Juwita, matanya bersinar dengan keyakinan. “Aku mencampurkan sedikit obat tidur ke minumannya. Hanya dosis rendah, jadi dia akan tidur nyenyak sampai pagi.”
Mendengar itu, Juwita terbelalak. “Kamu sudah gila, Nathan! Asti itu istrimu! Dan dia adalah adik kandungku!”
Nathan hanya tertawa kecil, lalu berdiri dan melangkah mendekati Juwita. “Aku memang gila,” katanya sambil mengusap lembut pipi Juwita. “Dan itu karena aku tergila-gila padamu.”
Nathan tertawa kecil saat Juwita memutar bola matanya dan memukul lengannya pelan. “Kamu ini gombal sekali!” kata Juwita dengan nada setengah kesal, setengah bercanda. “Kalau memang tergila-gila padaku, seharusnya kamu menolak perjodohan itu sejak awal.”
Wajah Nathan berubah serius seketika. Tatapan matanya melembut, namun di balik kelembutan itu ada rasa bersalah yang begitu mendalam. Ia meraih tangan Juwita, menggenggamnya erat. “Juwi, aku mau menolak. Aku sungguh ingin menolak perjodohan itu. Tapi aku tidak bisa.”
“Kenapa tidak bisa?!” Juwita bertanya dengan suara lirih, penuh rasa ingin tahu, namun juga terluka.
Nathan menghela napas panjang, pandangannya tertuju pada jari-jari mereka yang saling bertaut. “Papamu dan Asti... mereka mengancamku, Juwi. Bukan hanya mengancamku, tapi juga mengancammu. Mereka bilang kalau aku menolak, akan ada orang yang dikerahkan untuk menculikmu. Mereka bisa melakukan hal buruk padamu.”
Mata Juwita membesar. Wajahnya seketika memucat, dan bibirnya bergetar saat ia bertanya, “Papa? Papa benar-benar mengatakan itu?”
Nathan mengangguk pelan. “Iya. Aku tidak bisa mengambil risiko itu. Aku lebih baik menikahi Asti, meskipun aku tidak mencintainya, daripada membiarkan sesuatu terjadi padamu.”
Air mata mulai menggenang di sudut mata Juwita. Perlahan, tetesan pertama jatuh, mengalir di pipinya. “Jadi, Papa memang tidak sayang padaku...” katanya dengan suara gemetar.
Nathan segera menghapus air mata itu dengan ibu jarinya, lembut, seolah tidak ingin menyakiti Juwita lebih dari ini. “Jangan menangis, Juwi. Kumohon,” bisiknya penuh harap.
“Tapi bagaimana aku tidak menangis, Nathan?” Juwita tersenyum getir, mencoba menahan isakannya. “Papa begitu membenciku hingga dia tega mengancamku seperti itu. Aku bahkan tidak tahu harus berbuat apa...”
Nathan menarik Juwita ke dalam pelukannya. Ia membelai rambut Juwita dengan lembut, berusaha menenangkan gadis yang sangat ia cintai itu. “Juwi, aku ada di sini. Aku tidak akan pernah membiarkan apa pun terjadi padamu. Aku sangat mencintaimu. Kau harus tahu itu. Aku akan melindungimu, apa pun yang terjadi.”
Dekapan Nathan terasa begitu hangat dan penuh kehangatan, namun di sisi lain, hati Juwita masih diliputi keraguan dan rasa bersalah. Bagaimanapun, cinta mereka tidak akan pernah sederhana, apalagi ketika mereka harus terus menyembunyikannya dari dunia, termasuk dari Asti.
Nathan melepaskan pelukannya dengan lembut, memandang wajah Juwita yang penuh dengan air mata. Dengan lembut, ia mengusap air mata Juwita sekali lagi sebelum perlahan memajukan wajahnya dan bibirnya bertemu dengan bibir Juwita.
Saat bibir mereka bersentuhan, Nathan merasakan denyutan yang mengalir dari bibir Juwita ke seluruh tubuhnya. Ia mulai melumat bibir Juwita dengan penuh gairah, merasakan kehangatan dan kelembutan yang ditawarkan oleh bibir Juwita. Tangannya mulai menjelajahi tubuh Juwita yang terbungkus dalam gaun tidur satin, merasakan kelembutan kain yang menyentuh kulit halus Juwita.
Saat tangannya mulai masuk ke dalam gaun tidur Juwita, Nathan merasakan kehangatan dan kelembutan dari p******a Juwita yang ternyata tidak ditutupi oleh bra. Juwita melenguh dengan sentuhan yang dilakukan oleh Nathan, merasakan sensasi yang membuatnya terbuai dalam kenikmatan yang luar biasa.
“Ashhhh… Nathann…”
Perlahan, Nathan mulai melepaskan gaun tidur Juwita, memperlihatkan tubuh Juwita yang indah dan menggoda. Ia menjilat bibirnya, menikmati keindahan tubuh Juwita yang membuatnya semakin tergoda. Penisnya mulai berdiri tegak, siap untuk memasuki v****a Juwita yang terasa begitu menggoda.
“Kau memang sangat indah dan menggoda sekali Juwita. Aku ingin sekali memasuki vaginamu sekarang, dan melihatmu hamil anakku.” Kata Nathan begitu frontal.
Juwita merasakan pipinya bersemu merah mendengar apa yang dikatakan oleh Nathan barusan padanya. Juwita meremas payudaranya sendiri di depan Nathan.
Nathan menaikan sebelah alis. “Ohhh… kau mau menggodaku sayang? Kau awalnya menolak untuk berselingkuh. Tapi sekarang kau menggodaku.” Ucap Nathan tertawa kecil.
Juwita mendengar ucapan Nathan tersenyum. Mendekati telinga Nathan.
“Bukankah istrimu yang begitu mencingai dirimu itu. Mengatakan kalau aku penggoda. Maka aku akan menjadi kakak ipar yang menggoda adik iparnya sendiri. Dan menjadi pemuas hasrat ranjang adik iparnya. Dan adik ipar menjadi pemuas lubang gatal kakak iparnya.” Ucap Juwita mengakang depan Nathan, memperlihatkan lubangnya yang sudah basah dan menyentuhnya perlahan.
Nathan melihat itu menelan salivanya. Oh sialan! Nathan merasakan begitu sesak pada kejantanaannya yang ada dibalik celana, meminta untuk keluar sekarang dan masuk ke dalam v****a legit itu.