Part 2

1056 Words
Aldo menatap Arini sebal. "Yang benar saja? Masa membawa kopi saja tidak bisa, bertumpahan begitu, dia itu permpuan bukan, sih?" grutunya. Setelah menyeruput kopi di gelas, ia menghempas punggungnya ke sandaran kursi. Kepalanya tidak mau berhenti memikirkan Farah yang tiba-tiba saja minta putus darinya. Alasannya karena dia dijodohkan orang tuanya dengan laki-laki lain. Padahal tahun depan, ia berencana mengajak Farah menikah. Jujur saja, dia tidak rela ditinggal memikah oleh wanita itu, ia tidak siap melihat wanita yang dicintainya bersanding dengan pria lain. Tapi ia bisa apa? Mana mungkin dia mengajak Farah kawin lari. Hari ini, Aldo sudah membuat janji akan bertemu Farah di kafe tempat mereka biasa bertemu. Ia ingin membujuk gadisnya itu agar menolak permintaan orang tuanya. Bahkan, jika orang tuanya memaksa meminta menikah tahun ini juga, Aldo bersedia memenuhinya. Aldo sangat ingin mempersunting Farah menjadi istrinya. Di pantry, Arini sedang sibuk membersihkan lap kotor yang baru dipakainya membersihkan lemari dan sudut-sudut ruangan kantor. Tangannya terasa gatal terkena debu dan kotoran yang menepel pada kain lap. Ia menggaruk sela-sela jarinya yang memerah dan sedikit membengkak. Setelah kain lap itu selesai dibersihkan dan dijemur. Arini membilas tangannya dengan sabun. Lalu mengeringkannya dengan tisu. Ia duduk di kursi sembari meniup jarinya yang terasa panas. Setelah merasa baikan, ia meraih hapenya yan tergeletak di meja. Lincah jemarinya membuka akun dagangannya, berharap ada pelanggan yang membeli barang darinya. Arini belum terbiasa berjualan, ia masih malu malu menawarkan dagangannya. Sehingga pembeli masih sedikit yang singgah ke lapaknya di sebuah aplikasi. Bahkan ia tidak punya nyali untuk menjajakan dagangannya di akun media sosialnya. Tampa terasa, matahari mulai menyingsing, pertanda karyawan akan segera meninggalkan kantor. Peraturan di perusahaan itu, setelah karyawan pulang, OB harus membersihkan ruangan. Arini segera mengambil penyedot debu dan bersiap membersihkan ruangan. Matanya melirik Aldo yang baru keluar dari ruangannya. Meliahat Aldo yang acuh saja padanya, Arini melanjutkan pekerjaannya. Keringat membasahi kening dan punggungnya. Ia merasa lelah, sangat lelah. Setelah semua pekerjaannya selesai. Arini pamit pulang pada satpam. Langkahnya gontai menusuri trotoar. Ia memilih berjalan kaki menuju stasium kreta. Selain untuk menghemat, letaknyapun tidak terlalu jauh dari kantor tempatnya bekerja. ** Sesampainya di rumah, bunda menyambutnya dan menghidangkan makanan. "Ri Mau mandi dulu, bun. Badan Ri terasa lengket." "Iya, sayang. Di kamar mandi sudah bunda siapkan air hangatnya." Arini menatap bunda sesaat, ada perih yang menyayat hatinya. "Terima kasih, bun. Sudah menyipkan air mandi Ri." ujarnya sembari memeluk sang bunda. sebenarnya ia tidak tega melihat bunda, dipenghujung usia tuanya, harus merasakan hidup prihatin di kontrakan kecil itu. "Iya, Ri, maafkan ayah dan bunda ya, tidak bisa memberi kehidupan yang layak untuk kamu. Bahkan hanya sekedar menyelesaikan kuliah kamu." ujar bunda dengan suara parau, tenggorokannya terasa perih. "Sudahlah bun, tidak apa-apa. Ri, ikhlas kok, lagi pula ini bukan kesalahan ayah dan bunda. Mungkin ini adalah ujian dari Allah, pasti ada hikmah dibalik peristiwa ini." Air mata bunda tumpah, ia tidak sanggup menahan haru di hatinya mendengar ucapan Arini. Ia tidak menyangka, Arini yang selama ini hidup di manja, tapi bisa beradaptasi dengan keadaan barunya dengan cepat. Setelah menumpahkan perasaan masing-masing, Arini beranjak ke kamar mandi. Ia membasuh sekujur tubuhmya yang terasa lengket dan gatal. Ia sengaja tidak memberitahu buda, jika ia bekerja sebagai cleaning servis. Ia tidak ingin membuat bunda bersedih. "Bun, kapan ayah ke luar dari penjara?" tanya Arini setelah selesai mandi. Bunda menuangkan nasi ke piring Arini, "dua tahun lagi, Sayang. Sebab tidak ada yang menjamin ayah ke luar." Arini diam, wajahnya murung mendengar perkataan bunda. Ia sedih tidak bisa berbuat banyak untuk membantu kesusahan orangtuanya. Hanya doa dan bekerja yang bisa dia lakukan. Ia membuka mulutnya saat bunda menyuapinya. Sejak dulu, bunda memang suka menyuapi Arini, baginya itu adalah kebahagiaan. Menjelang malam hari, Arini masuk ke kamarnya, ia malas keluyuran di luar. Setelah bekerja seharian di kantor, ia ingin beristirahat merebahkan tubuhnya. Di tempat lain, di waktu yang sama. Aldo duduk gelisah menunggu Farah di sebuah kafe. Sudah hampir satu jam ia menunggu, tapi bayangan gadis itu tak kunjung terlihat. Al tetap bertahan di kursinya, menunggu sembari membuka laptop. Belakangan ini kantor sedang sibuk kerena menyelesaikan banyak pesanan klien. Apalagi sejak mendapat proyek baru, ia jarang bertemu dengan Farah karena pekerjaannya yang sangat menyita waktu. Waktu terus berputar, hingga hampir dua jam Al duduk ditempat itu. Ia terperanjak saat melihat Farah sudah berdiri tepat didepannya. "Farah, syukurlah, akhirnya kamu datang juga." "Maafkan aku Al, membuatmu menunggu lama." "Tidak masalah, yang penting kamu datang, itu sudah membuatku bahagia." Al menutup laptopnya. Ia ingin fokus berbicara dengan gadis di depannya. "Fa, aku mohon, menikahlah denganku. Jika orang tuamu memaksa menikah tahun ini juga, aku bersedia memenuhinya." "Al, bukan aku tidak mau menikah denganmu, tapi papa dan mama tidak setuju hubungan kita. Aku tidak mau mereka mengusirku dari rumah." "Fa, aku akan menaggung hidupmu, kita bangun masa depan kita bersama. Nanti, seiring berjalannya waktu, mereka pasti merestui hubungan kita, apalagi jika sudah ada anak." "Tapi, Al, aku tidak berani melawan mereka. Lagi pula, jadwal pernikahanku sudah ditentukan tanggalnya. Mungkin bulan depan, kami akan menikah." "Fa, kamu tega meninggalkan aku begitu saja dan melupakan janji yang kita ikrarkan bersama? Aku kecewa sama kamu! Aku tidak menyangka semudah itu kamu menyerah." Tanpa menunggu penjelasan lagi, Al segera pergi meninggalkan Farah yang masih mematung. Al, membanting pintu mobilnya. Tangannya mengepal, rahangnya mengeras. Musnah sudah harapan menikahi Farah, wanita yang sangat dicintainya. Al melacu mobilnya dengan kencang menuju rumahnya. ****** Pagi ini mentari bersinar terang cahayanya mengintip dari sela sela gedung pencakar langit. Arini yang baru tiba di kantor, terlihat santai duduk di ruang pantry. Satu persatu karyawan mulai berdatangan. Seperti biasa, Arini menyuguhkan teh manis panas di atas nakas. Lalu bergegas kembali ke ruangannya. Saat jam dinding menunjuk angka sepuluh, Arini membawa kopi dan roti yang sudah disiapkannya untuk Al. Langkahnya masih lambat, tapi sudah tidak lagi gemetar. Kali ini ia tidak lagi meletakkan nampan itu dilantai, Arini sudah bisa membuka pintu sembari memegang nampan ditangan. "Selamat pagi, Kak Al." ujarnya sembari meletakkan segelas kopi dan roti di atas meja. Al tidak menjawab sapaan Arini, matanya liar mengawasi setiap gerak gerik gadis itu. Subuah ide gila muncul dikepalanya. Ia tidak mau ditinggal menikah begitu saja oleh Farah. Ia ingin menikah sebelum Farah menikah. "Arini, duduk lah, aku ingin bicara denganmu!" "Baik, Kak Al." Arini duduk tanpa banyak membantah. "Ayahmu di penjara, bukan?" Mata Arini melotot mendengar pertanyaan Aldo.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD