Ikatan yang Kuat

1280 Words
Siapa sangka Antika dibawa ke Dufan? Yang bener aja, mau apa ke tempat kayak gini? Ia bahkan tak tahu harus bereaksi bagaimana ketika melihat plang besar bertuliskan Dunia Fantasi menyala di depan matanya. Sebelum sempat bertanya, suara Nagara yang dalam dan tenang lebih dulu memecah kebingungannya. “Tempat ini… saya pilih karena saya pikir kamu butuh melepas beban, Antika. Setidaknya di sini banyak hal yang bisa membuat kepala sedikit ringan.” Antika mendengus pelan. “Oh, jadi Om pikir roller coaster bisa ngilangin trauma, ya?” “Tidak. Tapi mungkin bisa bantu kamu mengingat sesuatu yang lebih baik.” Mereka akhirnya sampai di area parkir. Tanpa banyak bicara, Nagara turun lebih dulu, lalu berjalan berdampingan dengan Antika menuju pintu masuk. “Selamat sore, Pak,” sapa petugas tiket ramah. “Dengan Bapak Nagara, benar?” “Benar.” “Langsung masuk saja, Pak.” “Terima kasih.” Di dalam, langit sudah mulai gelap. Lampu-lampu warna-warni berpendar dari wahana, suara tawa pengunjung masih terdengar di kejauhan meski jumlah mereka mulai jarang. Nagara menoleh, suaranya rendah namun hangat. “Mau naik wahana dulu, atau makan?” Antika menyilangkan tangan di d**a. “Aku lapar.” “Mau makan apa?” “Terserah.” Nagara menghela napas kecil. “Baik, kalau begitu ikut saya.” Mereka berjalan melewati deretan kios suvenir dan wahana yang mulai sepi. Lampu bianglala berputar perlahan di kejauhan, memantulkan cahaya ke wajah keduanya. Saat itulah Nagara membuka suara. “Pertama kali saya datang ke sini,” katanya pelan, “Eyang kamu yang mengajak. Saat itu semuanya masih terasa canggung, termasuk dengan kamu yang padahal saat itu sudah bisa berlarian.” “Aku?” Nagara mengangguk. “Kamu baru enam tahun waktu itu. Kecil sekali. Terus menangis karena mau naik bianglala. Lalu Eyang kamu menyerahkan tanganmu ke saya, menyuruh saya menemanimu naik.” Ia tersenyum tipis, hampir tak terlihat. “Dan waktu itu kita naik wahana itu bersama. Sayangnya di pertengahan kamu menangis karena angin yang begitu kencang.” “Aku… nggak ingat sama sekali.” “Tapi saya ingat dengan jelas. Malam itu, dari atas bianglala, saya merasa dunia ini luas sekali. Di ulang tahun saya yang tepat tujuh belas, saya baru benar-benar sadar betapa beruntungnya saya bisa melihat dunia dari atas bersama keluarga yang mau menerima saya.” Antika diam mendengarkan. “Saya bukan siapa-siapa waktu itu, Antika. Anak panti yang cuma bisa membaca buku lusuh dan bermimpi keluar dari tembok tinggi. Eyangmu yang mengulurkan tangan. Sejak saat itu saya berjanji… saya tidak akan mengecewakan mereka.” “Janji itu kedengarannya bagus… sampai Om melupakan siapa yang harus Om lindungi.” Nagara menelan napas berat, tapi tak membalas. Ia membawa Antika ke sebuah restoran bertema Taiwan di pojok Dufan. Aroma jahe dan wijen memenuhi udara. Mereka duduk di pojok ruangan, di bawah lampu gantung temaram. Nagara memesan dua porsi beef teriyaki hot plate dan bubur ayam Taiwan, juga dua gelas teh melati panas. “Waktu pertama kali saya makan makanan seperti ini rasanya aneh. Saya tidak terbiasa dengan apapun selain nasi goreng dan soto Betawi. Tapi Ibu Ratna memaksa saya mencoba. Beliau bilang, kalau saya mau hidup di dunia yang besar, saya harus belajar menerima hal yang asing.” Antika menatapnya perlahan. “Dan sekarang Om bisa makan apa pun.” “Karena saya diajari,” jawab Nagara. “Karena mereka percaya saya bisa lebih dari anak panti yang dulu. Mereka memberi saya pendidikan, nama, kehormatan. Itu sebabnya… saya tidak pernah berani melangkahi mereka. Saya tunduk pada mereka, sepenuhnya.” Ia menarik napas panjang, menatap gadis itu dengan sorot sesal yang tak disembunyikan. “Dan justru karena itu, saya sangat malu pada diri sendiri atas apa yang terjadi malam tadi. Saya kehilangan kendali, Antika. Saya menyesal. Sangat menyesal.” Nagara menunduk, kedua tangannya saling menggenggam erat di atas meja. “Saya berjanji tidak akan pernah mengulangi hal itu. Saya tidak akan menyentuh alkohol lagi di rumah dan akan saya jaga kamu dengan baik.” Antika hanya diam, menatap pria itu lama. “Memangnya seberat itu jadi Rektor sampai mabuk? Bilang aja ke Eyang. Pasti dia bantu.” “Bukan tentang jabatan, ini tentang…. Saya dan Elise. Dan permasalahan apapun itu, saya tidak akan membawanya ke rumah. Kamu hanya akan merasakan kenyamanan, aman, saya janji kedepannya akan seperti itu.” Antika menghembuskan napas kasar. “Om tahu nggak, aku masih kesal. Aku belum bisa maafin Om. Tapi kalau Om memang menjanjikan keamanan di masa depan, ya buktikan aja.” “Terima kasih… sudah memberi saya kesempatan untuk memperbaikinya.” Makanan datang. Uap hangat dari hot plate memenuhi meja, aroma kecap asin bercampur wijen menenangkan suasana. Untuk pertama kalinya sejak malam itu, hening di antara mereka tidak lagi terasa mencekik. **** Dan yang lebih mengejutkan entah apa yang dilakukan pamannya, yang jelas mereka tetap bisa berada di Dufan ketika tempat itu seharusnya sudah tutup. Lampu-lampu wahana masih menyala, musik latar lembut masih terdengar di udara, bahkan beberapa petugas masih berjaga di pos mereka, seolah malam ini dikhususkan hanya untuk dua orang. “Kalau hanya berdua atau dengan petugas, akan terasa menyeramkan. Jadi saya minta beberapa wahana dan kafe tetap buka,” ucapnya menjawab pertanyaan di otak Antika. “Om nyewa satu taman bermain?” “Jangan pikirkan itu,” jawab Nagara. “Anggap saja malam ini bonus setelah hari yang berat.” Entah berapa ia membayar semua orang itu, Antika tidak mau tahu. Ia hanya membiarkan dirinya menikmati tempat yang sudah lama tidak ia datangi. Udara laut terasa lembap di kulit, cahaya warna-warni dari wahana menciptakan bayangan lembut di wajahnya. Untuk pertama kalinya sejak tiba di Jakarta, ia merasa seperti anak dua puluh tahun pada umumnya yang tidak dikejar ekspektasi, tidak dihakimi siapa pun. “Mau naik itu?” tanya Nagara, menunjuk ke arah wahana Kora-Kora yang berayun tinggi di kejauhan. “Kayaknya serem.” “Ah, tidak. Ayo, saya temani.” Dan seperti itu, mereka menaiki satu demi satu wahana mulai dari Kora-Kora, Halilintar, hingga Tornado. Antika menjerit sejadi-jadinya, tapi kali ini bukan karena marah atau takut, melainkan karena senang. Ia tertawa sampai matanya berair, rambutnya berantakan tertiup angin malam. Selesai dari sana, mereka membeli jajanan di kios mulai dari jagung bakar madu, permen kapas warna ungu, dan roti panggang keju. Antika makan sambil berjalan sambil sesekali mengomentari beberapa hal. Malam itu, untuk sesaat, Antika hampir lupa apa pernah dirinya bermain di tempat seperti ini? Masa kecilnya terlalu dipenuhi nilai rapor Pitaloka dan perbandingan yang menyakitkan. Ia lupa bagaimana rasanya jadi anak kecil. Akhirnya, rasa lelah mulai terasa. Antika menarik tangan Nagara, menunjuk ke arah bianglala yang berputar perlahan. “Om… duduk di situ yuk. Capek.” “Boleh.” Mereka masuk ke kabin bianglala dengan banyak makanan di tangan Nagara, dua jagung bakar, satu permen kapas, dan sebotol air mineral. Antika duduk bersandar di bangku, wajahnya diterpa cahaya lembut dari bawah. Saat kabin mulai naik, lampu-lampu kota Ancol terbentang di bawah sana. Antika menatap pemandangan itu dengan mata yang sedikit berbinar. “Cantik banget…” gumamnya. “Memang,” jawab Nagara pelan, menatap ke arah berlawanan. “Kamu tahu, bianglala ini dulu tempat favorit Eyangmu. Beliau bilang, dari atas sini, semua masalah kelihatan kecil.” Antika tersenyum samar. “Mungkin Eyang bener.” Well, ya… ternyata Nagara tidak seburuk itu. Mungkin, pikirnya, dia hanya manusia yang tersesat dalam kesepian. Dan malam itu, untuk pertama kalinya sejak lama, Antika membiarkan dirinya tertawa lagi meski di tempat paling tidak terduga. Hingga tiba-tiba, telpon Nagara berbunyi. Antika mengalihkan pandangan berusaha tidak mendengar, sebab tampaknya itu telpon dari seseorang yang penting. “Hallo, Elise?” Nahkan benar, itu dari istrinya. “Tidak bisa pulang malam ini?” Dan ya, sesuai dugaan Antika. Kasihan sekali pria kesepian ini.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD