Perasaan ini terlalu singkat jika disebut takdir namun terlalu dalam jika disebut sekedar kebetulan.
Mungkin semesta hanya menggoda untuk mendekatkan—lalu dijauhkan.
***
Zoya mencerna dengan baik perkataan Serena. Apa maksudnya membuang kenangan tentang Enzo? Haruskah ia membuang segala benda pemberian pria itu atau membuang kenangannya? Bagaimana bisa?
“Jika pun aku menemukan caranya, aku pasi sudah melakukan itu sejak lama, Kak. Perasaan ini ... sulit aku kendalikan.”
“Aku mengerti, Zoy.“ Serena mengangguk pelan. “Sembuh itu tidak harus cepat, pelan-pelan saja asal kau memilih untuk tetap hidup. Karena ada kalanya cinta harus dibungkam agar logika bisa berbicara. Akan sangat lucu jika kau akan meninggalkan Matthias demi hidup dengan pria yang bahkan tidak bisa mengalahkan egonya sendiri,“ ujar Serena cukup sarkas namun berhasil membuat Zoya terdiam seketika.
“Apa yang aku katakan benar 'kan?“
Zoya tidak berani menjawab karena siapa orangnya tahu jika Enzo adalah duri dalam keluarganya sendiri.
“Fakta itu memang menyakitkan Zoy, tapi tetap harus kau terima.”
“Bagaimana kalau Enzo itu adalah Xander?” Zoya membalikkan kata-kata Serena barusan. Ia yang semula memeluk wanita itu menjauhkan tubuhnya sedikit hingga keduanya saling berhadapan. “Apakah Kakak juga akan melepaskan dia begitu?“
Serena justru tertawa kecil mendengar pertanyaan Zoya, ia mencubit pipi wanita itu dengan gemas. Zoya ini memang paling kecil di antara mereka sehingga pikirannya terkadang masih tidak terlalu logis.
“Seperti kataku tadi, ada kalanya cinta harus dibungkam agar logika berbicara. Jika kau terus-menerus menggenggam masa lalu, kau tidak akan pernah bisa maju dan melihat seseorang yang benar-benar tulus padamu,“ tutur Serena. “Cinta itu takdir dan menghabiskan waktumu dengan siapa itu pilihan. Jika kau bisa menghabiskan hidup bersama orang yang kau cintai itu adalah bonus namun jika tidak, kisahmu dan dia memang harus berhenti pada detik itu.“
Zoya ikut tertawa kecil, ia kemudian memandang ke arah langit yang siang itu kembali mendung.
“Jika memang cinta harus dibungkam agar logika berbicara kenapa Om Jay tidak bisa benar-benar bahagia saat bersama Tante Kenanga?“ Zoya melirik Serena yang juga menatap ke arahnya. “Kakak tahu jawabannya? Karena logika adalah cara kita menipu hati kita sendiri.“
Zoya tahu, sangat-sangat paham jika logikanya pun sering mengatakan jika menghabiskan hidup dengan Matthias dan berpura-pura menerima semua cintanya serta perhatian yang pria itu berikan. Namun setiap melihat ketulusan dan harapan di mata Matthias ia tidak tega. Pria itu akan sangat membuang waktunya.
“Kalau memang begitu katakan saja pada Matthias jika kau masih menginginkan Enzo.“
“Aku takut menyakiti Kak Matty.”
“Lebih baik sakit sekarang daripada nanti-nanti. Ingatlah rasa sakit yang ditahan-tahan akan semakin membusuk dan perlu biaya mahal untuk mengobatinya. Katakan pada Matthias, atau perlu aku bantu mengatakannya?”
Zoya menatap Serena kaget lalu buru-buru menggeleng. “Ayah bisa marah kalau seperti itu.”
“Hahaha lihatlah, kau saja sudah setakut ini sekarang. Bagaimana bisa kau sibuk mencintai Enzo sedangkan tidak ada keberanian dalam hatimu. Sekarang aku tanya, jika Enzo kembali kau pasti akan memilih dia kan daripada Matthias? Bagaimana jika Ayahmu marah? Kau akan mendorong Enzo menjauh lagi dan pada akhirnya kau pun akan tetap menyakitinya. Secara tidak langsung kau juga akan menyakiti kedua pria itu, Zoy. Cepat atau lambat.”
Zoya menggigit bibir seraya menunduk, ia mengusap gelang yang ada di tangan kirinya perlahan.
“Kalau Enzo kembali, mungkin aku tidak akan sehancur ini kak. Dia sudah pergi ...”
“Dia ada di penjara 'kan?” Serena mengerutkan dahinya tak paham.
“Enzo sudah pergi, Kak. Dia meninggal.“
Serena terhenyak namun kerutan di dahinya begitu dalam. “Bukankah dia di Penjara? Seingatku sekitar 3 tahun lalu Papa ingin mengurus kepindahan dia dari penjara kota.”
Zoya melirik Serena bingung, mendengar perkataan itu dengan tatapan aneh. “Kepindahan siapa kak? Enzo sudah meninggal setelah perang darah waktu itu. Kak Elang sempat menyelamatkannya tapi akhirnya dia dimasukan ke penjara dan berakhir di keroyok,” ucap Zoya tanpa sadar sudah menitihkan air matanya lagi.
“Oh ya? Apa aku salah dengar?” Serena mengernyit bingung, mengingat-ingat lagi percakapan Papanya dengan Ayah Zoya waktu itu.
“Ah ya sudahlah, kalau memang meninggal itu adalah takdirnya. Ayo bermain lagi sebelum Papanya Jourell datang,” ujar Serena yang tak ingin terlalu berpikir hal yang tak seharusnya ia pikirkan itu.
Zoya menatap kebingungan di wajah Serena, ia mencerna dengan baik ucapan wanita itu. 3 tahun lalu? Jelas tidak mungkin kan pasalnya Enzo sudah meninggal 4 tahun lalu.
Tiba-tiba firasat buruk hadir dalam hati Zoya. Kedua matanya terbelalak lebar saat memikirkan kenyataan yang mungkin saja bisa terjadi. Ia mulai merangkai kejadian yang ia alami beberapa waktu terakhir. Seorang tahanan yang sangat mirip dengan Enzo. Apakah mungkin?
“Zoy, ayo main!“ Serena berteriak memanggil namun Zoya abaikan.
“Kakak aku mau kembali ada urusan.”
Zoya buru-buru mengambil tas miliknya agar secepat mungkin meninggalkan tempat itu. Kini ia merasa jantungnya seperti berlompatan tak karuan. Bayang-bayang tahanan yang sangat mirip dengan sosok Enzo seperti memecut langkahnya agar bergerak untuk memastikan.
Langkah Zoya awalnya begitu menggebu-gebu namun ia ingat jika Ayahnya sendiri yang mengatakan jika Enzo memang sudah meninggal dan menunjukkan dimana letak makam pria itu. Tidak mungkin Ayahnya sekeji itu membohonginya 'kan?
“Ayah tidak mungkin bohong... ”
Zoya memukul stir mobilnya dengan kasar lalu menghempaskan kepalanya ke belakang. Ia ingin sekali menjerit sekarang karena otaknya terus penuh.
Zoya yang sudah benar-benar muak dengan rasa sakit yang entah kenapa terus menyiksa memukuli kepalanya sendiri. Ia berharap bisa menyingkirkan Enzo dari dalam sana. Namun bukannya hilang kini rasa sakit itu semakin menjadi-jadi membuat Zoya menangis histeris.
“Keluarlah dari pikiranku sekarang! Arghhhhhhh!”
***
Tanpa perencanaan apa pun Zoya memutuskan untuk pergi ke Penjara tempat dimana ia melihat pria yang mirip Enzo. Ia tidak mengatakan apa pun dan juga tidak ingin bertanya tentang ucapan Serena. Ia hanya mengikuti naluri jika ingin melihat sosok pria yang mirip itu.
Zoya tidak bertanya kepada Ayahnya karena ia yakin sekali Ayahnya tidak mungkin berbohong. Mungkin memang hanya mirip saja dan ia ingin mengobati rasa rindu dengan melihat pria itu. Secara kebetulan juga kedua orang tuanya sudah berangkat ke Bali untuk peringatan kematian Om Jayden dan ia akan menyusul besok.
Zoya tidak bisa terang-terangan datang ke tempat itu. Ia menggunakan almamater rumah sakit sebagai lencana agar bisa masuk ke kawasan yang dianggap terlarang itu. Tentu saja ia bisa mendapatkannya karena uangnya sudah berbicara.
Sepanjang perjalanan itu Zoya tidak banyak bicara, hanya merenung sembari menatap lautan luas dengan tangan yang memegang gelang. Tidak terbesit hal indah apa pun nantinya, mungkin hanya akan melihat sosok itu dari kejauhan untuk mengobati rindunya. Mungkin itu lebih baik daripada ia akan terus kepikiran saat bersama Matthias.
“Maaf kalau aku gagal untuk melupakanmu, percayalah rasa rindu itu sudah seperti membunuhku tanpa kehilangan denyut nadi ...”
Bersambung~