"Meskipun darah tertumpah dan air mata tak berhenti mengalir, teruslah melangkah. Jangan sampai tertangkap, kalau tidak, kamu akan menghadapi kengerian yang melebihi sakitnya sebuah kematian."
Setelah mendengar apa yang Marie ceritakan soal keluarganya dan bagaimana wanita itu bisa dikejar zombie semalam, John menjadi tidak bisa berhenti memikirkan kalau dirinya, mungkin, akan menjadi zombie jika memang penyebab wabah zombie ini adalah hujan yang turun kala itu. Dia menjadi ingin secepatnya bertemu dengan Annie, tentu saja, sebagai manusia, baik dirinya ataupun adiknya tersbut. Setidaknya, sebelum menjadi zombie, dia ingin berbincang dengan Annie sebagai seorang kakak, lantas mati, sebelum benar-benar berubah menjadi zombie. John tidak mau terlihat menyedihkan di depan Annie, sudah cukup selama ini, dia terlihat sebagai seorang pecundang di depan adik perempuannya. Sesekali, dia ingin menjadi keren, juga menjadi kakak yang baik. Akan tetapi, sepertinya keinginan itu terlihat indah untuk bisa terwujud. Dia mungkin, akan kembali menjadi seorang pecundang di depan Annie, atau sebelum itu.
"John, kamu tampak pucat." Marie menegur. "Ada apa?"
John yang memang belum tidur sejak kemarin, hanya memandang sayu ke arah Marie, wanita yang kini menjadi janda karena suami dan anaknya telah mati akibat wabah zombie. Bahkan, ceritanya jauh lebih rumit dan menyeramkan daripada penjabaran tersebut.
"Kamu baik-baik saja, John?" Marie terlihat khawatir.
John hanya mengangguk mengiyakan.
"Aku tidak apa. Jangan khawatirkan aku." Lemah, John menjawab. Rasanya, dia sulit berkomunikasi dengan baik, saat dia menyimpan rahasia dari seseorang. John memang seseorang yang tak pandai berbohong, dia terlalu kaku untuk bisa bersikap normal saat sesuatu mengacaukan pikirannya. Sama seperti yang terjadi saat ini.
"Kamu belum tidur sejak semalam?" Marie bertanya, sekaligus menebak.
John mengangguk.
"Tidurlah, aku akan berjaga," katanya membuat John mengerutkan kening.
"Kamu yakin?" Ia sedikit ragu.
Marie mengangguk, lantas menunjuk senapan yang berada di pinggangnya.
"Aku punya ini, John. Jangan lupa," katanya seolah tak ingin diremehkan.
"Suaranya akan mengundang zombie lebih banyak, Marie. Kamu tahu itu kan?" John memperingatkan.
"Aku akan menggunakannya saat terdesak saja," janji Marie. "Apa ini bisa dipakai?" Marie menggulung celananya, lantas mengeluarkan pisau lipat yang berada di kaki celananya.
"Kamu harus cepat jika menggunakannya, kamu tahu kan? Mereka sangat ganas dan agresif. Jika tidak, mereka akan menggigitmu sebelum kamu menikam kepalanya," ujar John memberikan peringatan. Dia tidak mau Marie terlalu gegabah dan ceroboh karena kekhawatiran dan kepedulian wanita itu padanya.
"Tenang saja, John. Aku dulunya, adalah seorang polisi wanita," terang John membuat lelaki jangkung itu mengerutkan kening. Dia sepertinya terlalu memandang Marie dengan remeh. Nyatanya, dibandingkan dirinya, yang hanya seorang kuli pabrik sekaligus mantan atlet Anggar yang gagal, Marie jauh lebih berpengalaman dalam bela diri ataupun kemampuan bertahan hidup. Sebagai polisi, tentu saja, Marie jauh lebih ahli dalam bertahan hidup dibandingkan dirinya. Itu sudah sangat jelas, perihal daya tahan dan kemampuan. John kini paham, alasan mengapa Marie bisa berlari dengan cepat dan tidak panik saat dikejar zombie kemarin.
"Tidurlah, aku akan membangunkanmu saat matahari cukup tinggi," suruh Marie lagi.
John hanya diam, berpikir sejenak. Keraguannya masih ada, bahkan meski dia sudah mengetahui fakta tentang Marie, yang seharusnya membuatnya bertambah lega dan tidak usah khawatir lagi. Marie bisa dipercaya untuk melindungi dirinya dari serangan zombie. Mereka bisa saling mengandalkan. Meskipun John, pada mulanya, menyelamatkan Marie, untuk bisa mati bersama. Dia seharusnya meminta maaf untuk itu, tapi melihat bagaimana Marie, percaya padanya, John menjadi tidak tega untuk melakukannya. Dia juga berpikir, kemungkinan lain, seperti Marie akan marah setelah mendengar kenyataan itu. Dia sedang tidak bertenaga, melawan Marie, tentu bukanlah ending yang diharapkannya. Dia mungkin saja akan kalah. Ironi, kemungkinan itu jauh lebih tinggi dibandingkan dengan kemungkinannya untuk menang.
"John, tidurlah. Aku akan berjaga," ujar Marie lagi, mengulang perintah yang sama, membuat John, mau tidak mau harus menuruti keinginan wanita itu. Apalagi, Marie, terlihat sedikit kesal karena John tidak mau menurut.
"Baiklah," katanya setuju pada akhirnya, membuat Marie mengembangkan senyuman.
"Berbaring dan tidurlah," suruh Marie.
John hanya mengangguk.
John merebahkan diri, lantas memejamkan mata. Dia berusaha untuk tidur, meskipun pikirannya masih ke mana-mana, melayang jauh, mengusik nuraninya untuk tetap terjaga dan waspada.
"Marie," panggil John pada akhirnya, membuat Marie berdecak kesal.
"Aku memiliki sebuah permintaan," katanya membuat Marie mengerutkan kening. "Aku berharap, kamu bisa berjanji akan mewujudkannya."
"Apa itu?" Marie penasaran.
"Jika aku tiba-tiba berubah menjadi zombie, maukah kamu membunuhku dan mencari Annie?" Permintaan yang berlebihan, tetapi cukup menjadi motivasi agar Marie terus hidup meskipun John telah meninggal dunia nanti.
"Apa maksudmu, John? Apa yang kamu rencanakan?" Marie merasa kebingungan, sekaligus merasa sedikit kesal karena John, seperti tidak percaya diri kalau dirinya bisa selamat dari wabah zombie yang menyebalkan ini. Ucapan pesimis John, bukan sesuatu yang diharapkannya. Apalagi, lelaki berkapla plontos itu adalah seseorang yang sudah menyelamatkannya, pahlawan baginya. Dia juga merasa berhutang nyawa, sehingga mendengar apa yang John katakan barusan membuatnya sedih, sebal dan sedikit marah.
"Tenanglah, aku bukannya ingin mati," ungkap John. "Aku hanya memikirkan kemungkinan terburuk." Ia menerangkan, tanpa berbalik menoleh ke arah Marie, hanya berbaring dengan membelakangi Marie. Dia tidak mau sampai Marie melihat ekspresi wajahnya dan mengetahui kalau John sedang merahasiakan sesuatu darinya.
"Wanita muda berambut pendek, dengan bintik-bintik di wajahnya, yang bersamaku saat kamu berlari ke arah kami, adalah adikku. Dia bernama Annie. Dia sangat luar biasa, seorang pemanah berbakat. Jika aku tidak selamat, aku ingin kamu mencarinya, memberikan kotak cadangan panahnya, yang aku bawa itu. Namun, sebelum itu, jika aku berubah menjadi zombie, bunuhlah aku. Aku tidak mau memangsa siapapun."
Permintaan yang sentimental. Namun, Marie bisa mengerti kekhawatiran John. Dia menjadi teringat perihal suaminya yang juga berubah menjadi zombie dan anaknya, yang berakhir menjadi santapan zombie ayahnya sendiri. Sangat tragis.
"Kalau begitu, berjanjilah yang sama padaku. Jika aku mati dan menjadi zombie, bunuh aku dan carilah Annie sampai ketemu. Kamu harus memberikan kotak cadangan panah itu dengan tanganmu sendiri." Marie meminta, setengah memaksa juga.
John terdiam, bimbang.
"Kalau kamu tidak mau berjanji, aku juga tidak ingin berjanji." Marie menegaskan, memaksa John untuk menuruti apa yang Marie syaratkan padanya.
"Baiklah, aku berjanji," sahut John.
Marie mengulas senyuman, "Kalau begitu, aku juga berjanji padamu."
John menghela napas lega, "Terima kasih." Ia pun memejamkan mata dan rasa kantuknya mulai menyerang. Lelaki yang sudah sangat lelah itu pun tertidur dengan pulas, membuat Marie merasa senang.
Selama John tertidur, Marie berjaga-jaga. Ia juga keluar dari lumbung padi setelah memastikan keadaan aman, ingin menghirup udara segar. Dia juga ingin memastikan keadaan sekitar baik-baik saja, sebelum dia dan John melanjutkan perjalanan nanti. Bagaimanapun, dia mungkin harus selalu mengekori John mulai sekarang. Meskipun lelaki itu, terkadang, terlihat tidak percaya diri dan seperti menyembunyikan sesuatu, terutama karena keanehan sikap dan permintaan konyol John tadi, Marie menjadi semakin yakin kalau John menyembunyikan sesuatu. Akan tetapi, dia yakin, John tak bermaksud menyakitinya. Kalau tidak, tidak mungkin, lelaki itu mau mengorbankan nyawa untuk menyelamatkannya dari serangan zombie kan? Marie berpikir demikian. Jadi, dia memilih untuk pura-pura tidak tahu dan menunggu sampai John mengungkapkan rahasianya sendiri. Bagaimanapun, mereka baru mengenal, sehingga John, belum sepenuhnya mau terbuka untuknya.
Marie menghentikan langkahnya, saat mendengar suara derap langkah. Awalnya samar-smar, kemudian berubah menjadi lebih jelas dan semakin jelas. Marie mengeluarkan pistolnya, bersiap menyambut siapapun yang datang. Dia memandang kesekeliling. Pintu gudang padi sudah ditutup, sehingga John, akan aman. Jaraknya ke John hanya 500 meter. Dia bisa berlari sekuat tenaga, menutup pintu gudang dan membangunakn John. Setelahnya, mereka bisa melarikan diri. Namun, Marie baru mengerti kalau tidak ada pintu belakang. Dia mulai mengumpat dan merutuki dirinya. Dia tidak bisa membawa bahaya pada John. Dia tidak boleh melakukannya, itu sama saja dengan membunuh dua nyawa dengan satu batu. Itu bukan keputusan yang bijak sama sekali.
Marie mulai berjalan, menjauhi asal suara. Dia mencari tempat bersembunyi, tetapi tidak ada tempat tertutup di daerah persawahan seperti ini. Matany menyipit saat dia melihat siluet seseorang dari jauh, berlari tepat ke arahnya.
Marie menggenggam erat pistolnya, dengan jemari di pelatuk, bersiap untuk menebak seandainya yang datang adalah zombie. Pupil matanya melebar, saat tahu, kalau yang datang, ternyata bukan satu orang saja. Marie mencoba berlari pergi, tetapi kakinya seperti berat. Dia menembak beberapa kali, tetapi meleset, tidak mengenai kepala zombie itu. Mereka semakin agresif. Marie menjadi ketakutan, peluru yang tersisa, hanya tinggal satu. Dia berlari, menjauh, dan zombie-zombie itu mengejarnya.
Marie terus berlari, sekuat yang dia bisa. Nahas, kakinya tersandung. Zombie itu mendapatkannya, meraih dan menggigit kakinya. Marie berteriak saat kulit dan daging betisnya dirobek paksa. Ia meringis, menangis dan menjerit saat zombie yang lain mulai menggigit bagian tubuhnya yang lain. Air mata bercucuran, rasa sakit yang melebih kematian, dirasakannya.
"John!!!!" Dia berteriak, terakhir kalinya, sebelum isi perutnya ditarik keluar.
John terbangun dari mimpinya, menatap Marie yang memandangnya dengan heran.
"Kamu baik-baik saja?" John mendekat dan memeriksa Marie dengan seksama membuat wanita itu keheranan.
"Ya, aku baik-baik saja. Kenapa?" Marie khawatir saat melihat John berkeringat dingin.
"Aku bermimpi buruk," terangnya membuat Marie tertegun.
"Aku mati dalam mimpimu?" tebak Marie.
John hanya mengangguk pelan, "Maafkan aku."
"Bukan masalah. Itu hanya mimpi, John. Jangan khawatir," ujar Marie mencoba menerangkan.
"Kita harus pergi, tidak akan di sini." John berdiri dan bersiap. Marie pun mengikuti.
Setelahnya memastikan keadaaan aman, John dan Marie keluar dari gudang padi. Keduanya pun melanjutkan perjalanan kembali.
"Kita akan ke mana, John?" tanya Marie sembari berjalan mengikuti John yang berjalan dengan terburu.
"Kita akan pergi, melewati perbukitan untuk bisa ke perbatasan kota Yupiter. Jika tidak bisa terus diam di satu tempat, Marie. Semakin dekat kita dengan kota Fier, maka kesempatan kita untuk hidup akan jauh lebih besar," terangnya.
Marie pun hanya mengangguk, lantas tidak berbicara lagi. Dia sudah memutuskan mengikuti John, sehingga dia akan ikut ke mana pun tujuan John. Apalagi, sekarang, dia tidak memiliki siapapun. Hanya John, orang asing, yang bahkan 4 tahun lebih muda darinya, satu-satunya harapan untuknya bisa bertahan di dunia yang sudah mirip game bertahan hidup ini.