Z-3

2256 Words
“Aku tak pernah membenci, hanya merasa enggan untuk bicara atau memulai percakapan antara kita. Itu saja.” John dan Annie, berjalan cepat, menyusuri jalan setapak, setelah berhasil menghindari jalan utama komplek. Mereka tidak ingin menarik perhatian zombie ataupun manusia lain yang masih hidup dan berusaha untuk melarikan diri, sama seperti yang mereka lakukan saat ini. Bagaimanapun, kebisingan, hanya akan mengundang zombie untuk datang dan John, belum siap bertarung. Meskipun sudah melengkapi diri dengan samurai, terikat dengan kuat, di ikat pinggangnya, lengkap dengan sarungnya, hanya tinggal ditarik untuk menebas kepala zombie, tetap saja, John, tidak bisa secepat itu beradaptasi. Dia butuh banyak waktu untuk sekadar menghentikan kegugupan dan rasa takutnya saat melihat zombie. Bagaimanapun, dia nyaris tak selamat, kalau Annie tidak datang menolongnya. Tidak pernah terbayangkan, bagaimana dia sekarang—tanpa jasa Annie—membuatnya merasa berhutang budi sekaligus merasa bersalah karena dirinya, sebagai kakak, tidak bisa diandalkan di situasi darurat seperti sekarang. Mungkin, itu sebabnya, dia membantu Annie, membawakan panah cadangan di punggungnya. Meskipun kurus, dia terbiasa membawa benda-benda yang lebih berat dari tubuhnya, kuli pabrik, yang cukup atletis, sehingga membawa sekotak busur panah dan tas ransel berisi makanan serta minuman, bukan masalah besar untuknya. Dia masih bisa berlari cepat dengan barang-barang itu di tubuhnya. Kekuatan John tidak bisa diremehkan, dalam hal fisik, bukan mental. John dan Annie akan pergi menuju ke jembatan besar, dekat sungai, yang akan membantu mereka untuk masuk ke perbukitan. Di mana, setelah berhasil melewatinya, mereka akan semakin dekat dengan tujuan mereka selanjutnya, kota Yupiter. Ini terdengar sederhana, tetapi setelah perbukitan, ada sebuah desa, yang akan menyambut kedatangan mereka. Annie tidak bisa mengambil resiko. Dia lebih baik memilih mengambil jalan memutar, meskipun membutuhkan waktu lama, sebelum sampai ke tujuan berikutnya. Dia akan menghindari desa, atau tempat yang berpotensi terdapat manusia di dalamnya. Menurutnya, hal itu jauh lebih aman untuknya dan John. Mereka hanya berdua, tidak akan bisa menang, kalau harus melawan segerombolan zombie. Apalagi, zombie yang mereka hadapi, bergerak cukup cepat, tidak selambat yang biasa ditontonnya di film atau series selama ini. Ini bukanlah hal yang bisa dipercaya, tetapi mengalami sendiri, tentu adalah bukti tak terbantahkan untuk mata, hati dan logikanya. Tidak ada yang bisa dilakukan, selain bertarung dan berusaha untuk tetap hidup. Annie, tidak sudi menjadi zombie. Dia merinding, melihat bagaimana zombie yang dilihatnya tadi, saat berjalan sembunyi-sembunyi, sedang berpesta, menyantap mayat manusia, yang bentukannya, sudah tak bisa dijabarkan lagi. Daging manusia itu telah berhamburan, menjadi santapan zombie, berserakan, sebagai sampah sisa, seolah dia hanya seonggok daging, yang siap disantap hingga yang tertinggal hanya tulang. Sungguh seram, membuat bulu kuduk meremang. Beruntung, John dan Annie, bisa bersembunyi, cukup jauh, sehingga tidak menarik perhatian. Sejauh yang Annie amati, zombie-zombie itu, tidak bisa melihat. Mereka hanya terus mengendus udara dan mengandalkan suara untuk melacak keberadaan mangsa. Selama, tidak berisik ataupun tercium keberadaannya, Annie yakin kalau mereka akan baik-baik saja. Meskipun ada banyak hal, yang mesti dilalui, selain berhati-hati. Bagaimanapun, informasi mereka tentang zombie atau makluk apapun namanya, yang sedang mereka hadapi, sangat minim sekali. Mereka juga tidak bertemu dengan manusia lain, yang masih hidup dan sedang mencoba untuk kabur, sama seperti mereka saat ini. Annie, tidak bisa mengambil resiko, harus mencari solusi secepat yang dia bisa. Gadis itu memang masih muda, 19 tahun, tetapi soal pemikiran dan ketenangan dalam membaca situasi dan mengambil keputusan, tak perlu diragukan lagi. John, bahkan, mengakui sisi baik dari Annie tersebut. Walau kadang, John, menjadi sangat iri dengan sikap dan sifat adik perempuannya tersebut. Sebagai anak tertua, sekaligus lelaki, kadang, dia merasa tidak berguna dan tak bisa diandalkan. Namun, dia bertekad mengubah hal itu suatu saat nanti, sampai kiamat ini terjadi dan membuatnya merutuki diri sendiri karena bertingkah seperti seorang pengecut. "John!" Annie menarik tangan John, membawanya bersembunyi, saat seorang wanita, berusia sekitar 30 tahun, berjalan dengan terseok-seok. Wajahnya setengah hancur, seolah separuh wajahnya, sudah kehilangan daging karena dimakan. Pakaiannya penuh darah, sementara kaki kirinya, terlihat pincang. John dan Annie, bersembunyi, setengah menahan napas, meskipun jarak di antara mereka dengan wanita yang sudah berubah menjadi zombie itu, cukup jauh. Selama mereka diam, wanita itu, tidak akan sadar dengan keberadaan mereka. "Ada apa, Annie?" John penasaran. Annie tidak menjawab, hanya meletakkan jari telunjuknya di bibir, membuat John semakin penasaran. Sepertinya, dia tidak menyadari keberadaan zombie wanita itu. "Annie, apa yang..." "Diamlah, John." Annie menatap lekat John, membuat lelaki itu hanya berjongkok, dengan menelan ludah pahit. Kata-katanya tak bisa diselesaikan, seolah apa yang ingin diucapkannya tertelan kembali ke dalam kerongkongannya. Mereka pun saling terdiam, duduk mematung dalam beberapa saat, sampai wanita itu lewat. Dia terus berjalan lurus, seolah apapun, yang menghadang di depan, tak dihiraukan. Layaknya binatang, zombie itu seperti hanya mengandalkan insting. Saat mendengar suara dari kejauhan, kecepatannya bertambah, membuatnya yang awalnya berjalan terseok-seok, menjadi lebih cepat dari waktu ke waktu, membuat Annie berkeringat dingin. Musuhnya, sama sekali tidak bisa diremehkan. Kecepatan mereka bisa bertambah saat memburu mangsa, itu catatan penting bagi Annie. Setidaknya, dia harus berlari dua kali lebih cepat dibandingkan para zombie, jika suatu saat, dia berada di posisi sebagai mangsa. Meskipun, tentu saja, dia tak mengharapkan berada di posisi tersebut. Amit-amit. Annie mengamati wanita zombie yang semakin menjauh dari mereka. Setelah memastikan krisis sudah berlalu, mereka melanjutkan perjalanan. Sekarang, mereka sudah sampai di tepi sungai, hanya tinggal menyusuri jalan tepi sungai sepanjang satu kilometer, sampai mereka sampai di jembatan, menyeberang dan mereka akan sampai di perbukitan yang akan membawa mereka jauh dari keramaian dan para zombie. Setelahnya, mereka hanya tinggal berjalan memutar, menembus persawahan panjang, menuju ke kota Yupiter, kota selanjutnya. Semua akan baik-baik saja, pikir Annie. Namun, sebelum meneruskan perjalanan, mereka harus mencari tempat aman untuk berlindung. Malam tak menguntungkan bagi mereka. Selain karena tidak ada penerangan, mereka hanya berdua. Annie jelas bisa diandalkan, tetapi soal John, tentu masih diragukan. Bukannya John, tidak mau bersikap berani. Hanya saja, dia enggan untuk tampil, menampilkan kemampuan dan kelebihan, yang sebenarnya, tak pernah dipunya. Dia terlalu rendah diri, menurut Annie, demikian pula dengan John sendiri. John mengamati sekitarnya, angin berembus sepoi-sepoi, membuat kulit tipisnya, menggigil kedinginan. Akan tetapi, dia tentu, tidak bisa berbuat apa-apa. Pakaian yang dikenakannya tidak cukup membuatnya bertahan akan dingin, tetapi mengenakan jaket, tentu bukan pilihan. Tidak ada waktu untuk memilih pakaian, selain waktu yang sangat sedikit, mereka juga tidak akan memerdulikan soal fashion dan lain-lain mulai saat ini. Lihat saja Annie, adik John. Gadis modis itu, bahkan tidak mengenakan riasan atau pakaian bermerek atau bergaya lagi, hanya celana jeans simple dengan kaos berwarna kuning, berlengan pendek. "Kamu kedinginan Annie?" John bertanya, khawatir Annie akan masuk angin atau semacamnya. "Tidak," jawab Annie singkat. "Jika kamu memiliki waktu untuk mengkhawatirkan tentu itu, sebaiknya, kamu mengamati sekitar kita, John. Kita sedang di jalanan kecil sekarang, tidak ada jalan untuk melarikan diri jika tiba-tiba ada segerombolan zombie menyerang kita di sini." John bukannya tidak ingat kalau mereka bukan sedang berjalan-jalan santai, melainkan sedang berusaha melarikan diri dari keganasan zombie, karena tak mau menjadi salah satu dari pemakan daging manusia tersebut. Akan tetapi, jika dipikir-pikir lagi, selama ini, mereka bahkan, tak pernah berjalan bersebelahan sama sekali. Entah sejak kapan, hubungan mereka menjadi dingin, beku dan canggung. Mereka berhenti saling bicara, peduli dan akhirnya, semua menjadi lebih baik, meskipun penyebabnya adalah situasi seperti saat ini, mencekam dan menegangkan. "Aku senang kita bisa berjalan bersama, Annie." Sentimental, John merasa matanya panas, berkaca-kaca. Annie tidak menyahut, sibuk menghela napas dan mengamati lingkungan sekitar, berjaga-jaga, tetap waspada, tidak mau lengah meskipun hanya sedetik saja. "Kita juga sudah lama tidak bicara," imbuh John lagi. Lelaki jangkung itu mendesah kasar, "Apa kamu membenciku?" Annie menghentikan langkahnya, membuat John juga melakukan hal yang sama. Mata mereka bersitatap sebentar. Annie yang berada di depan John, mengamati kakaknya dengan lekat. "Aku hanya tidak tahu harus bicara apa denganmu. Kita terbiasa tidak bicara, jadi, apa yang bisa kita bicarakan? Kita tak pernah meluangkan waktu ataupun memiliki kesempatan untuk itu, kan?" Annie mengungkapkan perasaannya. John hanya mengangguk, setuju, setelah berpikir sejenak dan baik-baik. "Ya, dan saat waktu dan kesempatan ada, situasinya menjadi seperti sekarang," ungkap John dengan perasaan sesak. Annie berpaling dari John, mengamati sekitar, sepertinya dia mendengar sesuatu. "Kamu dengar itu, John?" tanyanya, membuat John memasang telinganya baik-baik/ Ada sebuah teriakan, minta tolong, tepat, di depan mereka. "Kamu akan ke sana?" John bertanya, "Apa sebaiknya, kita melarikan diri saja?" John takut. Annie tidak menjawab, hanya menyiapkan senjatanya, busur dan anak panahnya. "Tunggulah di sini, aku akan melihat situasinya." Annie bergerak maju, bahkan sebelum John menjawab, membuat lelaki itu mau tak mau, juga melangkah maju. Dia tak mau ditinggal sendiri. Annie tertegun saat melihat seorang anak lelaki, berusia 13 tahun dan seorang kakek, cukup tua, meskipun tidak terlalu tua, berusia sekitar 50 tahun, mungkin, sedang sibuk mengurus empat orang zombie yang mencoba menangkap mereka. Anak lelaki itu terus berteriak meminta tolong, sembari mengayunkan tongkat bisbol miliknya, cukup lincah dan tepat sasaran. Gerakannya juga cukup gesit, membuat para zombie itu, terlihat marah dan semakin agresif. Sedangkan si kakek, terlihat memukul zombie dengan gagang senapan laras panjang miliknya. Sepertinya, mereka berhasil membunuh beberapa zombie, mengingat selain empat zombie yang berusaha menyerang saat ini, ada beberapa tubuh zombie lain, mati, dengan kepala hancur tak jauh dari tempat mereka berada. Annie segera mengambil posisi, melesatkan anak panahnya, tepat di kepala zombie pertama, beralih ke zombie kedua, ketiga dan keempat. Kakek dan anak lelaki itu terlihat terkejut, saat anak panah itu, dengan cepat, seolah tanpa jeda, membereskan para zombie yang sempat menyerang mereka. Setelahnya, Annie menghampiri kakek dan cucu itu, disusul dengan John, yang tak melakukan apapun, hanya berusaha mengejar Annie, tidak mau ditinggal sendiri. "Kalian tergigit?" Annie tidak mau berbasa-basi. Kakek dan cucunya itu menggeleng, "Kami beruntung," ucapnya dengan rendah hati. "Syukurlah," ucap Annie dengan senyuman tipis. Kakek dan cucu itu kompak menoleh pada John. "Ah, saya Annie, ini John, kakakku." Annie memperkenalkan dirinya dan John. "Aku Mikhael, ini Daniel, cucuku." Kakek itu memperkenalkan diri. John menyambut uluran tangan Mikhael dan keduanya bersalaman. Sementara Daniel, hanya berusaha untuk menenangkan napasnya, bahkan, dia sudah duduk di rerumputan, mencoba untuk melemaskan otot-otot tangan dan kakinya, yang digunakan untuk bisa bertahan sekaligus menyerang zombie barusan. "Gerakanmu cukup bagus, apa kamu atlet?" Annie mencoba mengobrol. Daniel mengangguk, "Atlet bisbol," jawabnya. Annie mengangkat satu jempolnya, "Bagus sekali," pujinya membuat John tertegun. Sejujurnya, dia tak pernah melihat adik perempuannya tersenyum dan memuji seseorang setulus itu. "Bagaimana kalian bisa di sini?" John ikut bertanya, penasaran. "Kami memancing dari semalam," terang Mikhael. Saat semua kekacauan itu terjadi, kami masih di sini, berusaha bersembunyi, tak berani keluar, sampai pagi datang dan kami berusaha untuk keluar, tetapi beberapa zombie memergoki kami dan kami hampir kewalahan melawan mereka, seandainya kalian tidak datang membantu," jelas Mikhael. "Kami hanya kebetulan lewat," sanggah Annie.' "Tetap saja, terima kasih," ucap Mikhael. Annie hanya mengangguk kecil. "Jadi, apa yang akan kalian lakukan?" Annie bertanya, "Kita tidak bisa membuang waktu di sini." Mikhael menoleh pada Daniel. Kakek dan cucu itu berpandangan, seolah sedang berkomunikasi tanpa kata-kata, hanya dari mimik muka saja. "Kami akan pulang, memastikan keluarga kami ada yang selamat atau tidak." Mikhael menjawab. "Kamu yakin? Di sana berbahaya," celetuk John. "Bahkan, di sini, pun, juga berbahaya, jadi..." Mikhael menatap Annie, seolah dia ingin menegaskan kalau mereka tak akan bergabung dengan Annie dan John. "Kalau begitu, kita akan berpisah di sini." Annie memutuskan. "Kamu tidak mengajak mereka bersama kita?" John bertanya, bukan penasaran, tetapi semakin banyak orang, dia merasa akan jauh lebih aman dan presentase untuk selamat akan semakin besar. "Kita tidak bisa memaksa mereka, John." Annie menasehati. "Baiklah." John mengalah. Bukan saatnya menjadi sok pahlawan. "Kalian akan pergi ke mana?" Mikhael kali ini yang bertanya. "Kami akan menuju kota Fier, presiden mengumumkan bahwa warga yang tidak dan belum infeksi menuju ke sana, mungkin, di sana jauh lebih aman daripada di sini. Mungkin juga, akan ada brikade, stongman, yang akan membantu kita di perbatasan, membantu melenyapkan zombie dan membuat kehidupan kita akan kembali normal seperti dulu," ungkap Annie setengah menjelaskan perihal isi hatinya. "Kamu yakin? Kami tidak mendengar soal itu." "Kalian sibuk bertarung, bagaimana mungkin mendengarnya? Lagipula, listrik sudah padam, demikian pula dengan internet, hanya informasi itu yang berhasil kami dapat. Jadi, kami akan pergi ke kota Fier." Annie menjelaskan. "Good luck," ucap Mikhael dengan tulus. Annie hanya mengangguk. "Jaga diri kalian," pesan Annie. Mikhael dan Daniel hanya mengangguk. "Tolong! Tolong!" Suara itu membuat keempat itu terdiam, menoleh kiri-kanan, untuk mencari sumber suara. Seorang waniat berlari ketakutan, dengan rombongan zombie mengejar di belakangnya. "Tidak ada jalan lain di sini." John panik. "Sebaiknya kita lari." Annie menyarankan. "Tapi..." Mikhael terlihat ragu. "Dia datang!" Annie terpekik. Wanita itu berlari sekuat tenaga, menuju ke arah mereka, karena memang tidak ada jalan lain. Hati John menjadi tidak tega. "Annie, mari berpencar. Setelah melewati jembatan ini, kamu ke kiri, aku ke kanan. Setelah aman, kita akan berkumpul lagi di sini." John mengambil keputusan cepat, sedikit gegabah. "Apa yang..." Annie tak bisa menyelesaikan ucapannya. "Lari!!!" John memberikan aba-aba, membuat Annie terpaksa, menyeberang lebih dulu, melewati jembatan bersama Mikhael dan Daniel, berlari menuju ke arah kiri. Ada tiga cabang jalan, lurus, kiri dan kanan. Dua puluh detik kemudian, John ikut berlari, mengikuti wanita yang memInta tolong itu, memegang tangannya dan membawanya menyeberang jembatan, menuju ke kanan. Rombongan zombie itu pun terpecah, mengikuti Annie dan John. Sempat, Annie menoleh ke belakang, mengamati punggung kakaknya yang terus menjauh dan tak terlihat lagi. "Kamu harus selamat, John." "Kamu harus selamat, Annie." Mereka saling berharap dan mendoakan di waktu nyaris bersamaaan. Meskipun jalan yang diambil berbeda, mereka memiliki satu tujuan : menyelamatkan orang-orang itu, juga diri mereka sendiri. John, cukup keren tadi, dia tak lagi bersikap pengecut dan membuat Annie merasa bangga terhadap keberanian  dan keputusan nekad yang diambil kakaknya tersebut.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD