38 - Harapan Palsu

1131 Words
“Apa lagi yang bisa kulakukan?!” Wanita tiga puluhan tahun itu menangis tersedu-sedu. “Coba dicek isi flashdisk ini, Bu. Mungkin ada petunjuk.” Farhan belum menyerah. Susah payah ia menemukan rumah ini, ia takkan menyerah begitu saja. “Petunjuk apa? Bahkan pengacara yang kami bayar mahal pun tidak bisa membela suamiku!” Wanita itu menepuk dadanya keras. Wajah lelahnya terlihat semakin menyedihkan oleh karena uraian air mata. Farhan terdiam di tempatnya duduk. Ia tahu, wanita di hadapannya itu sangat putus asa. Seolah berada di tepi jurang, bahkan tak ada rona kehidupan yang memancar dari sorot mata wanita itu. Farhan menelan ludah. Ia serba salah. Tadi, ia berangkat tanpa pikir panjang ke rumah ini. Setelah sebelumnya ia mencoba untuk mengakses isi flashdisk yang ia temukan namun gagal. Farhan akhirnya mencari alamat rumah Wirahadi untuk menyerahkan temuannya pada keluarga Wirahadi. Berharap keluarga mantan supervisornya itu bergembira karena mungkin mereka telah menemukan sebuah petunjuk baru. Sayangnya, apa yang Farhan hadapi begitu bertemu istri Wirahadi, sangat di luar dugaan. “Se-seorang…” Farhan meremas jemarinya. Ia memutuskan untuk memberitahu apa yang ia lihat. “Mencoba untuk membakar flashdisk itu. Saya yakin, ada sesuatu yang coba mereka hilangkan. Entah apa itu. Tapi firasat saya mengatakan mungkin ada kaitannya dengan kasus yang dihadapi Dokter Wira.” Istri Wirahadi itu membuang muka. Ia bahkan mendengus sebal. “Lalu, kamu menyerahkan ini padaku tanpa melihat dulu isinya?” Tanyanya sinis. “Saya sudah mencoba membukanya, tapi nggak bisa.” “Lalu buat apa kau berikan padaku, hah?!” Flashdisk kecil itu dilempar, melesat jauh hingga ke membentur pintu ruang tamu. Farhan terkejut, tapi ia berusaha mengerti wanita itu. Farhan berdiri, memungut benda mungil itu kemudian kembali meletakkannya di atas meja. “Saya… akan tinggalkan ini di sini. Semoga suatu saat hari Anda tergerak untuk coba membukanya atau meminta bantuan seseorang.” Farhan berdiri, kepalanya tertunduk. Wanita di hadapannya itu tak bereaksi. Tapi kekesalan masih belum hilang dari wajahnya. “Kalau begitu, saya pamit.” Masih tak ada jawaban. Farhan akhirnya balik badan. Melangkah pelan menuju pintu. Tiba-tiba, suara isak tangis terdengar pelan. Ia melirik ke arah wanita itu. Benar, bahunya berguncang. Wajahnya ditutupi oleh kedua tangan. Wanita itu pasti sangat bingung dan putus asa. Suami yang amat ia percaya, tiba-tiba mendekam di penjara. Istri Wirahadi itu masih menangis selama beberapa saat. Ia tak mengantar tamunya keluar. Tak juga melihat motor tamunya pergi hingga menghilang di kelokan jalan. Wanita itu lebih memilih menangis. Entah sudah berapa liter air mata yang ia keluarkan sejak suaminya dipaksa meninggalkan rumah oleh sekelompok polisi yang membawa surat penangkapan atas nama sang suami. Entah sudah berapa malam ia lalui tanpa tidur hingga kelelahan. Tulang-tulangnya terasa tercabut, otot-otot di tubuhnya lunglai, ia sudah melakukan segala cara untuk mengembalikan suaminya ke rumah. Tapi, seolah ada tembok besar yang menghalangi seluruh jalannya. Wanita itu ingin menyerah, tapi ia tak boleh menyerah. Wanita itu ingin pasrah, tapi ia yakin suaminya tak bersalah. Maka, dalam sunyinya malam yang kian pekat, wanita itu berteriak dalam diam. Hanya air matanya yang berderai, dan mulutnya yang menganga lebar. Sakit, dadanya terasa amat sakit. “Ibu…” Wanita itu tersentak, ia segera mengusap wajahnya kasar. Menghapus sisa-sisa air mata. Lalu menoleh ke arah asal suara dengan tersenyum lebar. “Kok bangun, Nak?” Tanyanya lembut. Kedua tangan wanita itu terentang, siap memeluk putra semata wayangnya. “Tadi Om siapa, Bu?” Aidan merengkuh tubuh ibunya, menyandarkan kepalanya di sana. Nyaman. “Hm? Tadi… murid ayah.” Aidan mengangguk pelan. “Ibu nggak tidur?” “Iya, sebentar lagi. Ayo balik ke kamar, ibu temani tidur.” Ujarnya sembari membelai rambut Aidan. Wanita itu berubah seratus delapan puluh derajat. Jika tadi ia menatap tajam Farhan dengan segenap kekesalan dan berteriak marah, kini ia berubah layaknya seorang ibu peri. Tersenyum manis dengan cara bicara yang lemah lembut. Sangat nyaman didengar. Aidan bangkit, melangkah lebih dulu kembali ke kamar. Wanita itu menyambar flashdisk di atas meja, kemudian berjalan menjajari putranya. Tanpa sadar, tangan kanannya mengusap kepala Aidan. Membuat anak laki-laki itu menoleh. “Ibu nangis lagi, ya?” “Hah?” Wanita itu terhenyak. Segara melebarkan senyumnya. “Enggak, kok.” “Jangan nangis, Bu…” Aidan merapatkan tubuhnya ke arah ibunya. Seolah ingin menghiburnya. “Ayah nggak mungkin bersalah, Bu. Ayah pasti akan segera kembali ke sini.” Wanita itu mengangguk, berkali-kali. Hatinya mengamikan putranya. Juga berkali-kali. Bahkan, dengan sedikit memaksa Tuhan. Sepasang ibu dan anak itu kembali ke kamar. Aidan berbaring di kasur, ditemani sang ibu. Mereka masih mengobrol sebentar, hingga kemudian Aidan terlelap kembali oleh karena usapan lembut di kepalanya. Usai memastikan putranya benar-benar tidur, istri Wirahadi itu beranjak dari kasur. Berjalan berjingkat keluar kamar. Kemudian ia gegas ke ruang kerja suaminya yang beberapa waktu lalu sempat digeledah polisi, menyalakan komputer. Ya, mau tak mau ia jadi penasaran dengan isi flashdisk yang diberikan Farhan tadi. Jika benar yang diceritakan murid suaminya itu, maka bisa saja ada sesuatu di dalam flashdisk ini yang bisa membebaskan Wirahadi. Wanita berambut sebahu itu menancapkan flashdisk ke port USB, menunggu beberapa saat hingga muncul kotak pemberitahuan di ujung kanan layar komputer. Bling! Kotak pemberitahuan itu muncul. Sayangnya, itu pemberituan yang menyebalkan. Katanya, komputer tak bisa membaca flashdisk itu. Wanita itu tak menyerah. Ia mencabut flashdisknya, menancapkannya lagi. Namun, pemberitahuan yang sama tetap muncul kembali. Begitu terus hingga berkali-kali. “Aaaarggh!” Istri Wirahadi berteriak parau. Suaranya menyiratkan putus asa dan kesal luar biasa. Bahkan, ia hampir memukul meja kerja Wirahadi saking kesalnya. Untung saja ia sadar diri. Wanita itu segera menenangkan diri. Menggenggam flashdisk mungil itu erat. Ia berencana mencoba membukanya di komputer lain. Misal, di warnet dekat rumahnya. Di sana ada beberapa komputer, seharusnya ada salah satu komputer yang berhasil membacanya. Namun, saat keesokan harinya ia menjalankan rencananya, pemberitahuan yang sama tetap muncul. Ya, flashdisk itu tak bisa dibaca di manapun. Dan selanjutnya, ya, saking kesal, marah, dan putus asa, ia melempar flashdisk itu sembarangan. Hingga mendarat di kolong lemari dan ditemukan putranya bertahun-tahun kemudian. *** Penilaian babak penyisihan Neomicin sudah selesai dilakukan. Hasilnya juga sudah diumumkan ke seluruh peserta. Ada dua puluh tim yang berhasil lolos ke babak selanjutnya. Dan hari ini, dua puluh tim itu akan tiba di kampus penyelenggara. Sejak pukul enam pagi tadi, Nera sudah tiba di kampus. Urusan dengan ayahnya memang belum selesai, tapi urusan tanggung jawabnya sebagai ketua pelaksana Neomicin harus ia selesaikan dengan baik. “Semua panitia sudah datang, Za?” Nera bertanya pada Izza yang membersamainya sejak tadi. “Sudah. Oh, Kak Aidan izin terlambat.” “Eh? Kenapa?” Nera mengernyit. “Nggak tahu. Tapi dia bilang sebisa mungkin untuk datang sebelum peserta datang.” Nera mengangguk. Dua gadis itu terus berjalan cepat menyusuri koridor kampus. Kurang dari satu jam lagi, acara pemyambutan peserta Neomicin akan dilangsungkan di aula utama kampus. Dan mereka sedang menuju ke sana.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD