8

1787 Words
Kamar Nera tetap terlihat terang meski ia hanya menyalakan lampu belajar. Sinar rembulan yang sedang purnama di luar kamar menerobos masuk lewat jendela yang terbuka. Mengenai perabotan yang ada di dalam kamarnya, membuat perabotan itu terlihat berkilau. Nera termenung. Laptopnya menyala, tapi tak tersentuh. Pikirannya sedang sibuk memutar memori masa lalu. Sekitar empat tahun lalu. Saat itu, Nera masih duduk di bangku SMA. Kelas dua. Dan Fatih sudah menjadi mahasiswa tingkat pertama di fakultas kedokteran gigi. Sekolah mereka berdekatan. Hanya butuh lima belas menit jalan kaki. Hari itu, saat matahari sudah condong ke arah barat, Nera dibonceng Fatih dengan motor menuju kedai es krim favorit mereka. Begitulah mereka, sejak dulu sudah terbiasa bersama. Sampai rasanya sudah menjadi bagian dari hidup masing-masing. Dan kedai es krim itu menjadi saksi bisu kebersamaan keduanya. Fatih memarkir motornya di halaman depan kedai. Berbaris rapih bersama motor lainnya. Ya, saat itu ia belum boleh membawa mobil ke kampus. Di kampusnya, ada aturan hanya mahasiswa tingkat tiga ke atas yang boleh menjadikan mobil sebagai kendaraan ke kampus. Hal itu karena terbatasnya lahan parkir. Maka, saat tingkat satu dan dua, Fatih terbiasa membawa motor ke kampus. “Gimana rasanya jadi mahasiswa, Tih?” Nera lebih dulu membuka obrolan. Mereka sudah duduk di salah satu kursi kosong. Di teras samping kedai. Pemandangan jalanan sedikit terhalangi oleh tumbuhan yang tumbuh terawat di halaman kedai. Semilir angin yang membelai wajah mereka berdua membuat keduanya merasa tepat memilih duduk di sana. Setelah penat seharian berada di dalam ruangan, menikmati sore yang segar adalah pilihan yang tepat. “Seru, Ra. Jauh berbeda dengan sekolah SMA.” Fatih mulai bercerita. Wajahnya terlihat sumringah. Nera tertawa pelan. “Iya, terlihat jelas dari wajahmu.” “Hahaha. Tetap saja yang dimaksud jauh berbeda itu bukan hanya sisi positifnya, tapi sisi negatifnya juga.” Mereka terus mengobrol sembari memilih menu. “Hm? Maksudmu?” “Kehidupan SMA itu bukan apa-apa. Kamu masih bisa main, masih banyak waktu bersantai, sangat berbeda dengan kehidupan mahasiswa. Tugas, tugas, tugas terus!” Fatih jadi bersungut-sungut. “Dan satu hal lagi, sebelum kuliah dimulai, kamu harus belajar lebih dulu materi hari itu. Bukan lagi dicekoki seperti saat SMA.” Nera mengangguk-angguk. Sepertinya ia takkan terlalu terbebani dengan kehidupan seperti itu. Selama ini, hidupnya sudah seperti itu. Tak banyak waktu bermain, lebih banyak waktu untuk belajar dan mengerjakan tugas dari sekolah sekaligus tempat les. “Kehidupanku seperti nggak akan jauh berbeda dengan kehidupanku sekarang, Tih.” Nera tersenyum getir. Teringat semua rangkaian hari yang ia lewati dengan kesepian. Dan Fatih menyadari itu. “Ra, mau aku beritahu sesuatu?” “Hm? Apa?” Mereka sudah selesai menentukan menu yang hendak dipesan. Fatih memanggil seorang pelayan, memberitahu pesanan mereka. Pelayan itu membungkuk sopan, meminta mereka menunggu kemudian berlalu kembali ke dalam kedai. “Kamu belum pernah main i********:, ‘kan?” Fatih mengeluarkan ponselnya. Menyentuh-nyentuh layar ponselnya cepat. “Belum.” Nera menggeleng. Ia memajukan duduknya, penasaran dengan apa yang dilakukan Fatih dengan ponselnya. “Tadinya, aku nggak tertarik dengan media sosial yang satu ini. Aku pikir tidak ada gunanya punya banyak media sosial. Toh, fungsinya sama saja. Tapi ternyata i********: ini sangat bermanfaat buat promosi loh, Ra.” Jelas Fatih penuh semangat. Ia jadi terdengar seperti marketing i********:. “Promosi?” Nera mengernyit. Merasa tak ada korelasi apapun antara dirinya dengan kata ‘promosi’. “Baru-baru ini aku ‘kan ikut lomba antologi cerpen, eh, cerpenku menang loh, Ra. Kamu nggak mau ngasih selamat?” “Wah, beneran? Selamat, ya, Tih!” Mata Nera membulat. Benar-benar terkejut sekaligus bangga dengan pencapaian sahabatnya itu. “Terus terus?” Mendadak ia jadi antusias. “Nah, penerbit yang nerbitin buku kami itu meminta para kontributor untuk membantu mempromosikan buku antologi kami. Aku yang anak bawang ini ‘kan bingung gimana caranya promosi, lalu ada salah satu penulis senior yang nyaranin bikin akun i********: dan promosi di sana. Kebetulan penerbit juga punya akun. Jadi, bisa saling menguntungkan.” Fatih menjelaskan panjang lebar. Ia mulai menunjukkan akun instagramnya pada Nera. Nera memperhatikan dengan seksama apa yang ada di layar ponsel Fatih. “Wah, kayaknya temen-temenku banyak yang punya akun ini. Beberapa kali aku lihat tampilan kayak gini di hp mereka.” “Iya, pasti banyak temen-temenmu yang pakai. Kamu aja kayaknya yang ketinggalan.” Fatih berseloroh. Nera segera melempar tatapan tajam. Yang justru membuat Fatih tergelak. “Tapi, apa hubungannya denganku?” Akhirnya ia mengutarakan kebingungannya sejak tadi. Fatih diam sesaat. Menatap Nera lamat-lamat. “Kalau kamu punya waktu, kamu bisa coba buat akun i********:. Kamu ‘kan suka foto-foto, hasilnya juga bagus. Media sosial ini bisa jadi sarana kamu menyalurkan hobi atau sekedar menjalin pertemanan dengan orang lain.” Fatih terdengar bersungguh-sungguh dengan kaliamtnya. Nera tertegun. Ia tak pernah tahu bahwa Fatih memperhatikan dirinya sedemikian rupa. Mengetahui hobinya memotret. Dan yang paling jelas dari seluruh kalimat sahabat masa kecilnya itu adalah Fatih mengetahui bahwa selama ini dirinya kesepian. Nera tersenyum. Merasa beruntung memiliki orang seperti Fatih di sisinya. Yang tak pernah memandangnya remeh seperti orang lain. Yang selalu menganggapnya utuh sebagai seorang Nera. “Oke, kapan-kapan aku coba. Tapi, kamu harus mau aku recokin, ya?” “Beres, Bos!” Pungkas Fatih. Seketika, mereka berdua tertawa lepas. Tawa keduanya baru berhenti ketika seorang pramusaji datang membawa pesanan mereka. Obrolan Fatih dan Nera masih terus berlanjut. Seputar ‘pekerjaan sampingan’ Fatih sebagai penulis, soal kehidupannya sebagai mahasiswa, soal hal-hal sepele lainnya yang terlintas begitu saja di benak mereka berdua. “Fatih…” Panggil Nera pelan. “Hm?” Fatih sedang sibuk menyuap es krim dingin. Mulutnya mengecap-ngecap. “Kapan-kapan ajakin aku keliling kampusmu, boleh?” Alis Fatih terangkat, matanya membulat. “Boleh aja. Kenapa memangnya kamu tiba-tiba tertarik?” Ia mengaduk es krimnya yang mulai mencair. “Aku… tertarik buat masuk fakultas kedokteran.” “Wah, serius?” Lagi-lagi, mata Fatih membulat. “Yah, baru tertarik. Entah diizinin atau enggak.” Nera terlihat putus asa. Teringat ucapan ayahnya yang selalu menyuruhnya mengikuti jejak karir sang ayah. “Hm… Cari beasiswa aja.” Ucap Fatih tiba-tiba. “Maksudnya?” Nera mengerutkan kening. “Kalau Om Bambang nggak mau ngizinin, pasti nggak mau ngeluarin biaya, ‘kan? Cari beasiswa aja. Banyak banget sekarang beasiswa asal mau ngurus aja. Apalagi kamu cukup berprestasi, Ra.” Nera menatap Fatih terharu. Ternyata ada untungnya ia memberanikan diri bicara pada Fatih tentang keinginannya. “Kenapa?” Fatih risih ditatap begitu lekat oleh Nera. “Wah, aku ngerasa beruntung banget punya sahabat dekat seperti kamu, Tih.” Nera melebih-lebihkan ekspresinya. “Hahaha!” Fatih justru tertawa lepas. “Eh…” Tiba-tiba tawanya terhenti. “Hm?” Kali ini giliran Nera yang sibuk mengecap-ngecap es krim di dalam mulutnya. “Kamu tahu lomba Neomicin, nggak?” “Oh, lomba yang diadain FK kampusmu itu? Iya, tahu tahu.” Nera mengangguk-angguk, seperti burung kutilang dalam lagu anak-anak. “Denger-denger, hadiah utamanya free pass masuk FK. Kalau kamu bisa ikut lomba itu dan menang juara pertama, Om Bambang nggak bakal bisa nolak kalau kamu masuk FK, ‘kan? Udah dapat free pass masa mau dilepas?” “Wah…” Mulut Nera menganga, untung saja es krimnya sudah ia telan. “Ide bagus tuh!” Pekiknya gembira. Fatih tersenyum. “Sekolahmu juga selalu ikut tiap tahun. Coba aja siapin diri, tahun depan ikut. Siapa tahu ada jalan buat kamu, Ra.” “Makasih banyak, Tih.” Ucap Nera tulus. Bahkan matanya terlihat berkaca-kaca saking terharunya. “Jangan nangis!” Fatih pura-pura menghardik. “Hahaha!” Tapi Nera sudah meneteskan air mata, punggung tangannya mengusap ujung matanya yang berair. Ia menutupi hal itu dengan tertawa lepas. Sayangnya, Nera selalu kalah cepat. Fatih sudah menyadarinya. *** Nera benar-benar mencoba apa yang Fatih katakan. Membuat akun i********:. “Ra, kamu bikin i********:, ya?” Teman sebangkunya bertanya keesokan harinya. “Iya.” Jawab Nera singkat. “Wah, tumben kamu tertarik begituan?” Wanita berambut sebahu itu menghempaskan tas punggungnya, duduk di sebelah Nera. Ia baru saja tiba. “Hm, diajarin temen, sih.” Nera malas menjelaskan. Maka ia menjawab ala kadarnya. “Temen? Oh… Kak Fatih yang kuliah dokter gigi itu?” Nera mengangguk. Sepertinya semua orang di sekolahnya tahu betapa dekatnya mereka. Tentu saja. Dulu, Fatih juga bersekolah di sekolah yang sama dengannya. Meski hanya setahun mereka berada di sekolah yang sama, kedekatan mereka menjadi buah bibir satu sekolah. Selain karena kepopuleran Fatih juga karena sifat mereka yang terlihat sangat bertolak belakang. Fatih yang supel, pandai bicara, ceria dan Nera yang terlihat datar, dingin, penyendiri. Karena itu juga, di tahun pertama masa putih abu-abunya, Nera sering dikira berpacaran dengan Fatih. Karena sama-sama tak menggubris rumor itu, akhirnya rumor itu menghilang dengan sendirinya. “Apa nama i********:-mu? Sini biar aku follow, nanti aku follow balik.” Gadis itu mengeluarkan ponsel. Nera ikut mengeluarkan ponsel. Membuka akun i********: yang baru semalam ia buat. “Hm?” Tiba-tiba Nera terkejut. “Kenapa?” Mau tak mau, teman sebangku Nera ikut mendekat. Mengintip ke layar ponsel milik Nera. “Wah!” Ia berseru. Sontak Nera menoleh. “Kenapa?” “Kapan kamu buat akun i********: itu?” “Semalam. Kenapa?” “Wah, hebat! Calon-calon selebgram, nih!” Gadis ceria itu menggoda Nera. Ia terkekeh pelan. Nera tak menggubris. Ia memilih melihat layar ponselnya sesaat, kemudian memberi tahu akun instagramnya pada teman sebangkunya. “Sudah aku follow. Follow balik, ya?” “Oke.” Nera mengangguk. Mulai sibuk dengan ponselnya. Semalam, setelah membuat akun i********:, Nera mengunggah satu foto yang diambil oleh Fatih saat keluarga mereka liburan di Ancol. Foto dirinya saat berada di tepi pantai. Ia berdiri di dermaga, menatap jauh ke cakrawala. Foto itu diambil kala senja, saat matahari siap terbenam. Pesona senja yang menawan menjadi latar dari foto itu secara keseluruhan. Cahaya jingga kekuningan menyorot terang di belakang Nera, membuat tubuhnya terlihat seperti siluet. Namun, wajah cantiknya yang itu samar-samar terlihat. Hembusan angin yang cukup kencang saat itu mempermainkan rambutnya, membuatnya sedikit acak-acakan. Mau tak mau, sebelah tangannya menyingkirkan rambut yang nakal menutupi wajahnya. Foto itu, foto pertama yang diunggah Nera di akun instagramnya itu, dalam waktu semalam sudah berhasil menarik puluhan pengguna i********: untuk menyukainya. Beberapa bahkan sampai mengikuti akunnya. Meski sebagian besar dari mereka memang teman-teman SMP atau SMA-nya. Sepulang sekolah hari itu, Nera mengunggah satu foto lagi. Foto saat dirinya berada di kedai es krim bersama Fatih. Ya, lagi-lagi ia mengunggah foto yang diambil oleh Fatih. Foto saat dirinya sibuk menatap rimbun tanaman di halaman kedai sembari mengaduk es krim yang hampir mencair. Kali ini wajahnya terlihat jelas. Hidungnya yang mancung, bibirnya yang merah karena dingin sehabis makan es krim, matanya yang bulat jernih namun menyorot kosong, pipinya yang putih bersih,  dan rambut hitam legamnya itu terekspose dengan lebih jelas. Dan siapa sangka, foto kedua yang ia unggah menarik lebih banyak lagi pengguna akun i********:.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD