Embun Savier Hanafi

944 Words
Waktu berjalan begitu cepat. Tanpa terasa, sudah dua tahun belahan jiwaku pergi untuk selamanya. Ia adalah sosok yang selalu memberi kehidupan dan kebahagiaan dalam hidupku. Senyum hangat yang dulu selalu kutunggu tiap kepulangannya, kini tak lagi kulihat. Pundak ternyaman tempatku bersandar melepas lelah pun telah tiada. “Buk... bukk... aem buk...” Suara cadel putri kecilku terdengar. Ia menarik-narik tanganku sambil membawa piring berbentuk kepala kelinci. Aku tersenyum, mengangkatnya ke pangkuanku. Seperti biasa, ia menangkup pipiku dengan tangan mungilnya, lalu menciumku sebagai tanda terima kasih. “Anak cantiknya Ibuk lapar, ya?” “Bun aem buk... aem...” jawabnya dengan pelafalan belum jelas. Ia menyusul ke ruang keluarga saat aku tengah menyelesaikan bahan presentasi untuk rapat siang ini. Ya, dia putriku. Permata hatiku. Hadiah terindah dari Mas Agam. Embun Savier Hanafi—nama yang sudah kami siapkan jika anak kami perempuan. “Iya sayang, Embun mau disuapin Ibuk? Pinter banget, ini tadi diambilkan makan sama Mbak Ika?” Embun mengangguk. “Nak nak buk, bun uka,” ucapnya sambil mengacungkan jempol. Mbak Ika, asisten rumah tanggaku, selalu membantuku menjaga Embun saat aku harus ke toko kue. Meski Tante Dean sudah menyiapkan ruang khusus untuk Embun, aku masih belum tega membawanya bekerja. Embun anak yang ceria dan aktif. Setiap hari dia bermain kejar-kejaran dengan kucing kesayangannya, naik sepeda roda tiga setiap sore, dan seolah tak pernah kelelahan. Namun akhir-akhir ini, aku mulai membatasi kegiatannya. Kondisinya kini mudah lelah dan sakit. Aku jadi sangat protektif terhadapnya. “Embun sayang, kenapa, Nak?” tanyaku ketika mendapati Embun menangis di kamar. Hari ini dia ikut aku bekerja. “Yut bun atit... hiks... hiks...” jawabnya sambil memegangi perutnya. Wajahnya pucat dan penuh keringat. “Kenapa cucu Oma tiba-tiba nangis?” tanya Tante Dean yang sejak pagi menemani Embun bermain. “Embun bilang perutnya sakit, Tan. Wajahnya pucat banget. Padahal tadi dia masih aktif main.” “Kita langsung ke rumah sakit sekarang, ya! Tante takut Embun kenapa-kenapa.” Kami pun segera membawa Embun ke rumah sakit. Hatiku kalut. Embun tak pernah sakit separah ini. Biasanya kalau capek main, dia cuma pegal-pegal atau batuk karena kebanyakan makan es krim. “Atit yut bun, atit!” rengeknya sepanjang perjalanan. “Iya, Sayang—Kita ke rumah sakit ya, biar perutnya diobati Pak Dokter,” jawabku sambil mengusap perutnya dengan minyak telon. Aku mendekapnya erat, menahan tangis yang hampir pecah. Sesampainya di IGD, Embun segera ditangani. Ia tertidur setelah diberi obat dan dipasang infus. “Aku urus administrasi dulu ya, Tan. Biar Embun bisa segera dipindah ke ruang rawat,” kataku. “Iya, biar Tante jaga. Sedih banget lihat dia begini.” Malam harinya, Grizelle dan Bunda Aisyah menjenguk Embun. Dia sudah tampak ceria lagi, hanya menunggu hasil pemeriksaan terakhir. “Bun ndak uka angan mbun da ni!” Ia terus mengeluh ingin infusnya dilepas karena tak bisa lari-larian, bahkan minta dibawakan sepeda. “Nanti kalau sudah sembuh, infusnya dilepas kok. Bisa sepedaan lagi,” hibur Bunda Aisyah. “Una wa sini Ante! Bun angen una—” Kali ini dia merengek ingin ditemani Luna, kucing kesayangannya. “Siap, cantik. Kalau Embun sembuh, Aunty bawa Luna ke sini,” sahut Grizelle sambil mengupas buah. “Aunty janji deh, kalau kamu sembuh Aunty kasih hadiah.” Memang, Grizelle selalu memanjakan Embun. Tapi aku selalu mengajarkan untuk bersyukur dan menghargai yang sudah dia miliki. “Acikkk! Nel ya, Ante... gak oleh oong!” jawabnya semangat sambil menyantap anggur kupasan Grizelle. Pagi harinya… Dokter membacakan hasil pemeriksaan. Seketika aku terduduk lemas, air mataku jatuh tanpa bisa kutahan. “Tolong, Dok—Beri pengobatan terbaik untuk anak saya. Dia masih sangat kecil. Kenapa harus gagal ginjal?” “Kami akan lakukan yang terbaik, Bu Hani,” jawab Dokter Faisal. Perasaan ini persis seperti dua tahun lalu—takut kehilangan, takut ditinggal, takut sendirian. “Kamu harus kuat, Han. Jangan tunjukkan kesedihanmu di depan Embun. Aku tahu ini berat, tapi kamu harus kuat demi dia,” ujar Grizelle. “Aku bingung—Kenapa Embun bisa sampai sakit seperti ini? Padahal aku sudah menjaga semua asupannya,” ujarku sambil terisak pelan. “Biarkan aku menangis kali ini saja, Zelle. Nanti kalau Embun bangun, aku janji nggak akan menangis lagi.” Grizelle terus mengusap punggungku dan memberikan kekuatan. “Ingat, Han! Kamu nggak sendiri. Kamu punya aku, Mami, dan Bunda. Jangan ragu minta bantuan. Janji ya?” Aku mengangguk. “Iya. Hanya kalian yang aku dan Embun punya.” *** Sementara itu, di tempat lain— Seorang pria duduk di ruang keluarga, wajahnya lelah, memijat pelipis. “Kakek tidak mau tahu! Tiga bulan dari sekarang kamu harus menikah! Kalau tidak, Kakek jodohkan kamu!” Hanan Al-Fathan, pemilik rumah sakit besar di Yogyakarta, tengah memarahi cucunya—Reiga Malik Al-Fathan, CEO perusahaan digital sukses, 32 tahun, mandiri sejak remaja. “Aku tidak akan menikah, Kek. Dan Kakek tidak perlu menjodohkanku.” “Kamu mau Kakek mati cepat?! Sekali saja, turuti permintaan Kakekmu ini!” “Setiap ngomong pasti soal mati. Nggak baik, Kek.” “Makanya cepet nikah, biar Kakek bisa lihat cucu sebelum mati!” “Nikah bukan perkara sepele, Kek. Mana sempat aku cari istri dalam tiga bulan?” “Kalau bingung, Kakek kenalin sama anak temen Kakek. Cantik, sopan, baik. Bahkan ada bonusnya!” “Apa-apaan sih, Kek?! Emangnya beli makanan pakai promo!” “Haha! Ya kamu memang nggak laku! Umur 32 belum juga nikah. Katanya CEO sukses? Mana buktinya?” Reiga hanya mendengus. Di tengah kepalanya yang sudah dipenuhi urusan kantor, kini dia harus menghadapi desakan perjodohan. Apakah dia harus mulai mencari calon istri? Padahal, sepanjang hidupnya, dia tidak pernah sekalipun menjalin hubungan—Bahkan sempat memutuskan untuk tidak menikah. Namun, kini semuanya berubah.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD