Dua jam telah berlalu. Jingga keluar dari kamar mandi setelah menenggelamkan diri pada genangan air bathtub yang dingin. Ia tak menemukan Ditto, mungkin saja laki-laki itu telah pergi.
Benar saja. Ditto meninggalkan sebuah note yang mengatakan dia ada urusan dengan teman-teman laki-laki itu. Jingga mengabaikan pesan dan kepergian Ditto yang tiba-tiba saja terbang tempat entah berantah. Mengabaikan pesan Ditto, Jingga lantas mengganti pakaian.
Jingga meraih ponsel, membuka puluhan bahkan mungkin ratusan pesan yang Ray kirimkan. Lelaki itu memberondong Jingga dengan pertanyaan terkait pernikahannya dengan Ditto. Jingga yakin jika Melia pasti sudah memberi tahu Ray.
'Kenapa nggak gue bales aja pesan, Rayi?!,' tanya-nya pada diri sendiri. Meski begitu, tak pernah ada balasan apapun yang Jingga kirimkan.
Mulai bosan, Jingga membuka i********:. Bibirnya mengulas senyum saat melihat beberapa postingan Ray. Ada fotonya yang tengah tertidur di apartemen laki-laki itu. Dia yang memakan es krim. Sungguh menghibur sedikit hatinya yang terluka. Hingga sebuah postingan seseorang membuat senyum Jingga kembali luntur.
ravenawijoyo
[Foto Ditto memberi sebuket bunga pada Vena dengan posisi berlutut]
Belum lagi caption yang ditulis oleh putri dosennya itu
ravenawijoyo gemesin kan?? Makasih, Hon. Kenalin pacar gue yang barusan nembak gue di depan anggota dance..
Senyum kembali terpatri di bibir Jingga. Tanpa sadar jemarinya meremas ponsel. Baru tadi pagi, ya bahkan belum ada dua puluh empat jam mereka membuat perjanjian secara lisan. Sepertinya Jingga memang harus mengabulkan ucapan Ditto semalam.
"Aku membencimu." Lirih Jingga pelan, lalu memilih mematikan daya ponsel.
Jingga menghela nafas. "Gue bisa!," Ia lalu memilih keluar dari kamar dan turun. Ck! Seluruh keluarga bahkan masih berkumpul. Belum lagi Papah dan Mamah mertuanya, mereka masih asik bercanda dengan orang tuanya.
"Sayang sini." Kata Mama Ditto memanggilnya.
Jingga berjalan mendekati sang mama mertua dengan senyum manis, mencoba menyembunyikan sakit hatinya. Jingga duduk ditengah-tengah antara Melia dan wanita yang telah melahirkan Ditto itu.
Mellia jelas tahu betapa sakitnya hati sahabatnya ini. Di hari pernikahan, suaminya menyatakan cinta pada orang lain. Wanita mana yang tidak akan terluka hatinya?! Melia meremas jemari sahabatnya itu, membuat Jingga menoleh padanya dan tersenyum hangat.
"Sayang, nanti tinggal di apartemen yang sudah Papa dan Ayah kamu belikkan ya?. Berkasnya sudah hampir beres kok. Besok udah bisa ditempatin." Ujar sang Mama mertua. Jingga hanya mengangguk.
Semakin cepat dia pindah dari rumah orang tuanya semakin cepat pula ia dapat terbebas dari rasa sakitnya yang harus sekamar dengan orang yang dia benci.
"Bagus nggak Bun?" tanya Jingga pada sang Bunda yang dibalas senyuman. "Bagus dong, Bunda sama Mama lo yang pilihin. Kalian pasti suka deh. Ada tiga kamar. Jadi yang satu kamar kalian yang dua nanti buat anak-anak kalian deh." Ujar sang Bunda membuat hatinya tertohok.
Ada rasa bersalah tercipta di hati kecil Jingga karena pada akhirnya kelak sampai pernikahan mereka berakhir, Jingga sama sekali tidak bisa memberikan apa yang Bunda dan Mama Ditto inginkan.
**
Ditto yang tadi pulang ke rumah- Orang Tuanya, mendadak diingatkan dengan status yang sudah berubah. Kini ia memiliki seorang istri. Dengan setengah keceriaan yang ia bawa karena cintanya diterima oleh Vena, ia membuka gerbang rumah keluarga Sukmana. Kediaman orang tua Jingga yang memang sudah dari dulu ia anggap sebagai kedua orang tuanya.
"Assalamu'alaikum." Ujar Ditto mengucapkan salam setelah membuka dan menutup kembali pintu rumah keluarga Sukmana. Ketika ia berjalan masuk, Ditto melihat Jingga yang membaca sebuah majalah dan kedua orang tua Jingga yang tengah mengobrol.
"Eh Ditto udah pulang, gimana pembukaan caffe punya temannya, lancar Dit?" tanya sang Ayah, membuat Ditto menganggukkan kepala. Sedangkan Jingga terlihat tak mau perduli dengan tetap fokus pada apa yang wanita itu baca.
"Jingga, dicium dong tangan suaminya kalau suaminya dateng." Tegur sang Bunda, membuat Jingga mau tidak mau berdiri dan mencium telapak tangan Ditto.
"Bun, Jingga udah ngantuk tidur dulu ya Bun." Pamit Jingga lalu berjalan menuju kamarnya yang berada di lantai dua.
Ditto yang melihat itu juga akhirnya dengan sopan pamit pada kedua mertuanya untuk beristrirahat.
Ditto melihat Jingga yang sudah bersiap-siap untuk tidur. Namun ketika melihat Jingga bangun lagi, Ditto berjalan ke arah Jingga. "Lo kenapa Ngga?" tanyanya lembut.
"Besok kita pindah ke apart."
"Hah, apart siapa? Ngapain pindah sih." tanya Ditto lagi.
"Lebih baik gitu, lo jadi bisa bebas sama pacar lo. Itu bukan ide yang buruk To. Gue nggak mau orang tua kita tahu hubungan kita yang sebenarnya." Ujar sang istri dingin.
Jingga lantas mengambil bantal dan selimut yang ada di atas ranjang, membuat Ditto menyerngitkan alisnya heran. Mau kemana Jingga, batin lelaki itu.
"Lo mau kemana?" tanya Ditto mencekal tangan Jingga.
"Sofa, gue mau tidur di sofa."
Ditto menghela nafasnya kasar karena jawaban Jingga ini.
"Buat apa? Lo kenapa sih?!" Heran Ditto dengan perubahan sikap Jingga yang terlihat anti pati padanya.
"Gue lagi pengen tidur di sofa, lo tidur aja di kasur gue." Ucapnya datar lalu menghempaskan tangan Ditto.
Jingga berjalan menuju sofa di kamarnya. Ia merebahkan diri di sana. Masa bodoh pada tatapan nyalang yang Ditto berikan padanya.
"Bangun gue aja yang tidur di sofa, kalau lo nggak mau tidur sama gue." Kata Ditto yang saat ini sudah berdiri di samping sofa yang ditiduri oleh Jingga.
"Kalau gue bilang gue pengen tidur di sini,i ya disini?" Bentak Jingga pada akhirnya, gadis itu lalu menutup seluruh tubuh dengan selimut. Membuat Ditto berjalan kesal ke arah ranjang dan menghempaskan tubuhnya begitu saja.
Di dalam selimut, sekuat tenaga Jingga meredam tangisannya agar tak sampai di telinga Ditto. Hingga akhirnya ia lelah sendiri dan mulai terbawa ke alam mimpi.
Sedangkan Ditto diranjang masih memperhatikan Jingga sedari tadi. Sahabatnya itu berubah tiga ratus enam puluh derajat. Sangat drastis. Jingga yang ada di depannya sana, bukanlah Jingga yang dulu selalu bersamanya. Jingga berubah, ya gadis yang saat ini menjadi istrinya itu berubah.
Ditto turun dari ranjang menghampiri Jingga yang tertidur di sofa. Ia berjongkok untuk membuka selimut yang istrinya pakai untuk menutupi seluruh tubuhnya itu.
Deg
Ditto melihat bekas air mata yang mengering di wajah cantik Jingga. Membuat hatinya sedikit merasa teriris. Diangkatnya tubuh Jingga dari sofa, lalu merebahkan gadis itu ke atas anjang. Ditto dengan perhatiannya menyelimuti Jingga. Pelan sekali gerakannya agar Jingga tidak terbangun. Ditto membungkuk lalu mengecup kening sahabat yang telah berubah statusnya itu.
Cup...
"Maafin gue Ngga, Maafin Gue."