Irna mendengar pintu terbuka, gadis itu langsung terjaga dari tidurnya. Dia melihat bayangan pria masuk ke dalam ruangan.
"Fred?" Panggilnya seraya mengusap kedua matanya untuk memperjelas pandangan matanya, melihat siapa yang berdiri di depan daun pintu.
"Kamu dari mana saja? Baru pulang selarut ini?" Tanyanya lagi seraya turun dari atas sofa, melangkah mendekat ke arah suaminya.
"Kamu juga baru pulang beberapa jam tadi kan?" Tanyanya balik sambil mengusap pipi Irna.
Irna seakan lupa ingin menanyakan padanya perihal Karin. Wanita yang tadi mengangkat telepon darinya. Fredian sendiri juga tidak melihat ponselnya ketika bersiap pulang dia tidak tahu Irna telah menghubunginya berkali-kali.
"Mobilku mogok di tengah padang di sekitar hutan. Mereka datang Fred, aku harus bagaimana? Kondisiku belum pulih sepenuhnya. Aku hanya bisa menghindar tapi tidak bisa melawan, juga tenagaku begitu terbatas saat ini."
Ucap Irna sambil mendongakkan wajahnya menatap wajah Fredian yang masih berdiri di depannya.
Fredian mengendorkan dasinya, melepas jas dan meletakkan di gantungan yang ada di sana.
Fredian mencium parfum pria melekat di baju Irna, parfum Rian. Parfum Evan juga melekat di sana saat menyelamatkan Irna ketika perjalanan pulang dan saat menahan pinggangnya di dalam lift.
"Kamu punya selir baru? Selain Rian?" Tanya Fredian padanya sambil menyeringai, Irna tahu ada semburat kemarahan di balik senyum manis suaminya itu.
"Aku memeluk Rian hari ini." Ucapnya jujur sambil memeluk pinggang Fredian dari belakang punggungnya.
"Bukan Rian! Tapi pria lainnya!" Sergahnya sambil melepaskan pelukan Irna dari pinggangnya.
"Itu aku hampir terjatuh di dalam lift, dan Evan menahan tubuhku." Ucapnya lagi, dia berharap Fredian tidak marah dan mau memaafkan dirinya. Tapi tatapan mata pria yang sudah acap kali mencemburuinya itu kian dingin.
Fredian mendengus kesal sambil berkacak pinggang. Tatapan matanya begitu dingin, melihat Irna dari ujung kepala sampai ujung kaki.
"Fred aku sungguh-sungguh, aku tidak berbohong. Aku dan Evan hanya sebatas rekan kerja." Ucap Irna sambil melangkah mundur menjauh darinya.
Irna melihat tatapan liar Fredian, lain dari biasanya. Terakhir kali dia melihat itu adalah saat pria itu kehilangan ingatannya di masa lalu. Tapi mendadak dia menampakkan lagi tatapan mata seperti itu.
"Kenapa? Kamu takut padaku?" Tanya Fredian padanya, pria itu terus melangkah maju mendorong tubuh Irna hingga tidak bisa melangkah mundur lagi.
"Duk!" Punggung gadis itu membentur dinding. Bibir Irna bergetar dia ingin bicara tapi tertahan, dia memilih menunggu pria itu bicara sesuatu kepadanya.
Dada bidang Fredian sudah menempel di depan wajahnya, perlahan pria itu menundukkan badannya menatap wajah Irna. Hembusan nafasnya terasa hangat pada wajah Irna membuat gadis itu mengerjapkan matanya berkali-kali.
"Pria ini tampan sekali! Tapi kenapa begitu menakutkan saat marah seperti sekarang ini!" Gumam Irna sambil memegangi d**a bidangnya.
Mereka sudah menikah, dan bercerai, lalu menikah lagi sudah kesekian kalinya. Tapi tetap saja d**a Irna masih berdebar ketika dia mendekatkan wajahnya, saat menatap dirinya lekat-lekat.
"Fred?"
"Hem?" Menghembuskan nafasnya di wajah Irna, menyusuri pipinya dengan ujung hidungnya.
Beberapa saat kemudian..
Irna masih memikirkan bagaimana wanita lain bisa memegang ponsel milik Fredian.
"Bagaimana Karin bisa mengangkat telepon dariku?" Tanya Irna lagi padanya.
"Aku sempat ke toilet dan lupa membawa ponselku. Itu aku tinggalkan di atas meja." Ucapnya lagi pada Irna.
"Jika begitu, bukankah ada Alexander di sana? Bagaimana wanita itu bisa mengambil ponselmu begitu saja?" Tanya Irna lagi masih tidak mengerti.
"Astaga aku lupa, Karin adalah sepupu Alex!" Kini pria itu tersenyum, dia tahu kenapa tiba-tiba Alexander memaksanya untuk mengajak bertemu dan mengikat hubungan kerja saat itu juga.
Setelah mereka mengetahui kalau itu adalah ulah Karin, Fredian lebih berhati-hati menghadapi Alexander. Dia tidak mau jika tiba-tiba terjadi masalah lagi.
Keesokan harinya Alexander kembali mengajaknya untuk bertemu, tapi Fredian mencari alasan lain. Dia tidak ingin hubungan dirinya dengan Irna kembali bermasalah gara-gara Karin.
"Ah, begitu ya? Bagaimana jika sore ini?" Tanya Alexander lagi, pria itu sepertinya tidak mau untuk menyerah segera. Di sebelahnya ada Karin yang terus memberikan instruksi pada Alexander untuk terus memaksa Fredian agar mau bertemu dengan dirinya.
"Sore ini aku ada acara makan bersama dengan klienku." Sahut Fredian seraya membuka berkasnya di meja lobi. Pria itu berniat untuk mengantarkan Irna ke rumah sakit. Dia tidak ingin istrinya kenapa-kenapa di perjalanan menuju ke sana. Irna menggamit lengan suaminya menuju ke mobil.
Gadis itu tersenyum menatap wajah Fredian, dia merasa sangat bahagia bisa terus bersama-sama dengannya. Fredian menggenggam erat jemari tangannya di sepanjang jalan menuju ke rumah sakit.
"Apa kamu tidak menghubungi Rian lagi? Menanyakan ramuan?" Fredian mengingatkan tentang ramuan untuk pemilihan tubuh Irna.
"Tidak, kemarin kami baru bertemu." Ujar Irna padanya.
Irna melihat padang berpohon lebat yang kemarin dia lalui, mobil miliknya masih tetap berada di sana. Di tengah hutan yang hampir tak tertembus sinar matahari. Fredian melihatnya, kini dia percaya Irna tidak berbohong soal kemarin.
"Aneh kan?" Ucapnya seraya menoleh ke samping, menatap wajah Fredian. Pria itu menganggukkan kepalanya, sambil mengisyaratkan dengan jari telunjuknya pada bibirnya agar tidak bicara lagi.
Fredian turun dari mobilnya, dia ingin memeriksa mobil Irna. Tapi Irna menahan lengannya, dia tidak ingin terjadi sesuatu pada suaminya.
Tapi Fredian bilang akan baik-baik saja, dia tetap melompat turun dari dalam mobilnya. Pria itu segera melangkah menuju ke arah mobil Irna membuka kab mobilnya. Selang lima menit terdengar suara berisik dari kejauhan.
Irna merasakan firasat buruk, dia segera turun dari dalam mobilnya untuk menyeret Fredian agar cepat naik kembali ke dalam mobil. Tapi terlambat, mahluk yang kemarin dia temui sudah mengepung mereka berdua.
Kini jumlahnya tak hanya satu, tapi lima mahluk sekaligus. Jika Evan Herlands melawan satu saja masih bisa, tapi Irna ragu jika empat lima sekaligus. Mengingat kondisi dirinya sekarang pasif dan tidak bisa berbuat banyak untuk melindungi suami tercintanya.
"Kita harus pergi Fred! Sekarang!" Teriak Irna sambil menarik lengan suaminya menuju ke mobil. Fredian berhasil masuk ke dalam mobilnya. Tapi salah satu dari mahluk tersebut berhasil menangkap kaki Irna menyeretnya masuk ke tengah hutan!
Dan setelah mendapatkan Irna satu persatu dari mereka hilang menjadi asap! Fredian berteriak mencarinya kesana kemari tapi istrinya tetap tidak kembali. Irna menghilang begitu saja.
Evan Herlands dari kejauhan melihat kejadian itu semua dari tempat persembunyiannya. Dia tahu Irna diculik oleh mahluk yang kemarin berhasil dihabisi olehnya.
Dia tahu jenis mahluk tersebut, bukan vampir seperti Irna atau Fredian. Vampir tersebut tidak bisa merasakan naluri manusia, tapi hanya menggunakan naluri hawa pemangsa.
Evan segera mencari jejak-jejak Irna. Dia tahu dimana posisi makhluk-makhluk itu berkumpul. Melihat tubuh mereka yang hitam lembab, mereka mendiami gua di sebuah lembah dasar jurang.
Fredian sudah menghubungi Rian, dia meminta Rian untuk lebih cepat menyelesaikan ramuannya. Dan hasilnya tetap sama, ramuannya tidak akan bisa berfungsi jika harus dipaksakan selesei sekarang juga.
Fredian termenung di dalam hutan, dia mencium aroma parfum yang sama seperti pada baju Irna kemarin. Karena indera penciumannya begitu tajam. Dia tahu pria rekan kerja istrinya itu juga berada di sana.
Satu detik kemudian Fredian sudah berdiri di belakang punggung Evan Herlands. Evan tidak terkejut dia malah tersenyum karena Fredian berhasil menemukan keberadaan dirinya.
"Kamu ingin segera menemukannya?" Tanyanya santai pada Fredian.
"Tentu saja! Aku harus secepatnya menemukan istriku!" Ujarnya sambil meremas bahu Evan.
Evan menyeringai lebar, lalu melangkah santai menuju ke tepi tebing hutan. " Lompatlah, Kaila ada di bawah sana! Di sisi lembah, tapi ingat. Kamu bisa saja kehilangan nyawamu, mereka ada ratusan bahkan lebih." Jelas Evan pada Fredian.
Evan tahu Fredian adalah vampir berdarah murni, kemungkinan akan bisa melawan mereka yang berjumlah sebanyak itu. Tapi dirinya sendiri kurang yakin akan menang jika dia yang melawannya, karena dia bukan vampir yang setiap terluka bisa sembuh kembali.
"Kenapa? Kamu ragu-ragu?" Tanya Evan lalu berbalik arah, pria itu melangkah santai menuju ke tempat mobilnya sendiri terparkir.
"Kamu tidak mau membantuku?" Tanya Fredian padanya.
"Untuk apa? Untuk melihat kamu bersama-sama dengan Kaila Elzana kembali? Dan melihat kemesraan kalian berdua lagi?" Seringai Evan Herlands. Lalu melompat masuk kembali ke dalam mobilnya. Meninggalkan Fredian sendirian di tengah hutan.
Fredian sudah menghubungi Rian, tapi pria itu tak kunjung muncul di sana. Jadi dia hanya bisa berjalan mondar-mandir menunggu kedatangan Rian.
Jauh di bawah sana, di tepi lembah Irna perlahan-lahan membuka kelopak matanya. Dia melihat banyak mahluk buas tersebut berada di sekitarnya. Dia tidak dimangsa seperti dugaannya kemarin.
Irna bangkit dari posisinya berbaring.
"Aneh sekali kenapa aku baik-baik saja?" Gadis itu bangkit berdiri dan berjalan menuju ke pintu gua. Dia melihat para mahluk itu sedang terpekur duduk-duduk di sekitarnya.
"Apakah kalian bisa berbicara padaku?" Tanyanya pada mahluk tersebut, tapi ucapanya hanya dijawab dengan tatapan mata nyalang dan merah.
Irna melangkah tertatih-tatih lalu duduk di pintu gua, salah satu dari mereka terbang melesat berhenti tepat di depan wajahnya.
"Kekuatan dalam tubuhmu menghilang, ini adalah ramuan pelemah! Ada yang sengaja melemahkan kekuatanmu." Bisiknya dengan gigi runcingnya di telinga Irna.
"Kamu siapa?" Irna menggeser duduknya lebih sedikit menjauh, walaupun tak ada gunanya. Mahluk tersebut terus mendekat ke arahnya. Bahkan kini malah mengusap pipi halus Irna dengan punggung tangannya.
"Kamu tetap cantik Angelina." Desisnya sambil tersenyum memamerkan gigi taringnya.
"Apa kamu tidak ingin memulihkan kekuatanmu?" Tanyanya lagi sambil mengangkat dagu Irna, wajah vampir mengerikan itu sangat dekat dengan wajah Irna. Aroma anyir darah menyeruak masuk ke lubang hidungnya. Untung saja Irna sudah terbiasa dengan aroma tersebut.
"Jika aku mau, memangnya kamu bisa mengembalikan kekuatanku?" Irna memberanikan diri menarik krah jubah vampir tersebut lebih mendekat lagi. Kini Irna bisa melihat dengan jelas, sinar mata di balik wajah hitam itu.
"Rian?" Bisik Irna sambil melotot ke arahnya. Wanita itu tidak percaya bagaimana Rian bisa tiba-tiba berada di sana, bersama para mahluk buas tersebut.
Angannya berputar-putar, begitu banyak tanda tanya yang ingin segera dia temukan jawabannya.
Dia melihat sunggingan senyumnya, Irna mendengus melihat tingkah pria di depannya itu.
"Beraninya kamu main kucing-kucingan dengan diriku! Awas kamu Rian!" Teriak Irna kesal sekali.
Suara teriakannya membuat seluruh mahluk di sana menoleh ke arahnya.
"Sekarang! Whush!" Rian meraih pinggangnya dan terbang naik ke atas tebing. Dia melihat Fredian masih berdiri menunggu tak jauh dari lokasi tebing tersebut.
Melihat kedatangan mereka berdua, Fredian segera berlari menuju ke arahnya. " Apa yang terjadi? Kenapa kamu tidak mengajakku turun?" Tanya Fredian pada sahabatnya itu.
"Mereka ingin sedikit darah bunga kristal es." Ucap Rian santai menyeringai lebar melemparkan senyuman ke arah Irna yang masih bingung dengan ucapan mantan suaminya itu.
Rian melepaskan jubah dan juga penutup wajahnya, desain sama persis dengan mahluk yang ada di bawah sana.
Irna masih termenung dengan segudang tanya, ramuan pelemah juga yang lainnya. Dia masih tidak bisa mencerna ucapan Rian.