Jadi guru bukanlah hal yang memalukan. Bintang terus-menerus mengulang kata-kata itu di dalam pikirannya sejak semalam. Bagaimana kata-kata itu berubah layaknya doa yang mengantarnya pergi ke alam mimpi. Walau ia tahu percuma, karena kata-kata itu belumlah cukup jika Bintang menghadapi kenyataan yang terjadi di hidupnya.
JADI GURU? Ayolah, dalam mimpi terburuk sekalipun Bintang tidak pernah memikirkannya. Karena, kenyataannya ia memang tidak kuliah di jurusan pendidikan dan tidak akan pernah. Ia sudah lulus di Management Bussines dengan baik, masa iya dia harus mengambil kuliah lagi hanya untuk melanjutkan profesi barunya ini. Jadi guru?
Laki-laki itu menghela napas sebelum ikut bergabung ke meja makan di mana keluarganya sudah berkumpul. Alex yang sudah siap dengan pakaian kantornya. Fisha juga sudah siap dengan dandanan rapinya, dan adiknya yang masih menggunakan seragam SMA-nya.
Semuanya akan pergi untuk melakukan aktifitas mereka masing-masing. Hanya dirinya yang tersisa di sana. Di rumah sendirian dan jadi pengangguran. "Pagi Sayang, mau ikut Bunda ke butik nggak?"
Fisha bertanya yang langsung Bintang balas dengan gelengan. Mana mau dia ikut ke butik? Bertemu dengan cewek-cewek atau wanita yang udah tua dan tiba-tiba mengedip genit kepadanya?
Amit-amit udah!
"Terus mau ngapain hari ini, di rumah terus?" Alex bertanya, nada suaranya masih terdengar mengejek. Sama seperti saat pembicaraan mereka yang terakhir kali.
"Mau ngurus surat-surat mungkin, aku udah dapet tempat kerja." Bintang mengambil lauk-pauknya sebelum matanya melirik sang adik yang langsung membuang muka ketika bertemu tatap dengannya.
"Lumayan cepet juga kamu, ya?"
Bintang hanya mengangguk menjawabnya, ia tak acuh saja. Meladeni ayahnya di pagi hari bukanlah suatu pilihan yang tepat. "Viola sekolahnya gimana?"
"Baik-baik aja Yah, belum bentar lagi UAS. Semoga aja nilai Vio nggak ada yang turun!"
"Belajar yang bener makanya, jangan pacaran mulu!"
Viola yang mendengar kata-kata kakaknya langsung tersedak minuman yang tengah diteguknya. Fisha langsung berdehem, sedangkan Alex memelototi putra sulungnya.
"Kenapa deh, bukannya wajar aja kalau cewek SMA kelas tiga punya pacar?" tanya Bintang kebingungan.
Fisha mendesah. "Jangan samain Viola sama kamu, kalian berdua itu beda jauh. Viola anak baik-baik, lah kamu? Dari lulus SMP sampai sekarang pacarnya gonta-ganti melulu. Nggak bosen kayak gitu, terus sampai kapan,Varo!"
Bintang menatap ibunya malas. "Lagi jomblo aja dibilang pacarnya gonta-ganti mulu, dasar si Bunda!"
"Itu kenyataan." Alex menimpali yang membuat Fisha menggerutu.
"Kalian berdua sama aja, jadi diem aja kamu!"
Alex bungkam, Viola tersenyum mendengarnya. Beginilah keluarganya, pikirnya. Bundanya yang cerewet, Ayahnya yang sok galak padahal enggak, dan kakaknya yang seperti plagiat dari ayahnya. Rasanya lengkap dan sempurna. Viola hanya melihatnya dengan senyum sebelum matanya menatap Bintang yang juga melihat ke arahnya. Walau hanya sekilas, karena detik berikutnya Bintang membuang muka seraya berkata, "Sekolah yang rajin lo!"
Viola mengangguk, tanpa menjawab ia berdiri dan pamit kepada kedua orang tuanya sebelum pergi dari sana. Bintang hanya melihat punggung kecil adiknya yang menjauhinya sebelum ia menyadarinya.
Sejak kapan Viola SMA? Sejak kapan adiknya tampak cantik dan dewasa seperti sekarang? Rasanya terlalu lama ... Bintang seperti tidak tahu pertumbuhan adiknya sama sekali selama ini. Apakah ia se-tak acuh itu pada Viola selama ini?
"Bunda!"
"Hm?'
"Viola sekolah di mana sih?"
"Mantan sekolahan kamu, SMA Galaxy."
"Oh...."
"Kenapa nanya kayak gitu? Mau ngelihat gimana adiknya sekolah gitu?" tanya Alex tiba-tiba yang membuat Bintang menggeleng cepat.
"Bukan, tapi kayaknya Viola bakal jadi murid Bintang."
Tek....
Sendok Fisha terjatuh begitu saja ke atas piringnya, sedang matanya membelalak menatap ke arah anaknya. Alex sendiri menganga sebelum mulutnya bersuara, "Jangan bilang kamu jadi GURU!"
Bintang mengagguk-angguk bak anak polos. "Emangnya apa yang salah, jadi guru bukan pekerjaan haram juga, kan?" Fisha dan Alex saling tatap sebelum mengangguk bersamaan.
Alvaro positif kesurupan!
***
Viola terus tersenyum sejak meninggalkan rumahnya. Bagaimana sifat kakaknya yang hari ini terlihat lebih peduli padanya. Padahal biasanya mah, boro-boro Bintang mau menyapa dirinya atau bahkan berbicara dengannya.
Sedikit perubahan, tapi bagi Viola hal ini adalah kemajuan yang sangat pesat. Sejak Bintang kuliah mereka memang tidak banyak bertemu lagi dengan Viola, apalagi mereka berada di kota yang berbeda. Sedang sewaktu Bintang SMA ... Bintang berubah sejak hari itu.
Gadis itu menghela napasnya sebelum kembali tersenyum layaknya tadi. Bagaimanapun juga, perubahan kakaknya adalah sesuatu yang membuat hati Viola menghangat seperti ini.
Ketika Kania—sahabat baik Viola selama dua tahun belakangan ini—menyapanya. Viola hanya membalasnya dengan lambaian tangan sebelum mendekat ke arah Kania yang berjalan dengan Maxel di belakangnya.
Maxel, cowok tinggi dengan kulit putih sedikit kecokelatan yang sedari tadi memilih membuang muka dan tampak menghindari Viola.
"Pagi, Kan, Xel!"
"Pagi juga Viola sayang!" balas Kania sebelum tangannya menarik Viola untuk mendekat ke tubuhnya, sedang bibir gadis itu bergerak mendekati telinga Viola dan berbisik di sana. "Maxel udah kangen elo katanya, lo kenapa berangkat agak telat hari ini?'
Viola menyunggingkan senyumannya sebelum membalas, "Lagi seneng aja."
Kania mengernyit, tapi Viola sudah berbalik guna menatap Maxel yang masih membuang muka untuk menghindarinya. Ada satu kemungkinan, Maxel mendengar kata-kata Kania tadi lalu memalingkan muka karena malu. Viola sudah tahu perasaan Maxel padanya yaitu cinta. Namun Viola tidak bisa memiliki rasa yang sama, bisa dibilang Viola hanya menganggap Maxel sebagai sahabatnya saja.
"Pagi Maxel!" sapanya, mengulangi sapaan yang pertama tadi, karena sapaan itu belum dibalas sama sekali oleh laki-laki itu.
"Pagi juga," jawab laki-laki itu dingin.
Viola hanya tersenyum, Maxel memang seperti itu, tapi coba saja Viola berkelakuan manis kepadanya. Maxel pasti akan luluh, terlihat gelagapan—salah tingkah—sebelum membuang muka untuk menghindari bertatapan dengan Viola.
"Ada ulangan nggak sih, gue belum belajar?"
Maxel menggelengkan kepalanya sembari berkata, "Enggak."
"Ada PR?"
"Ada ekonomi sama matematika, lo udah buat?" Viola hanya nyengir sebelum menggeleng untuk memberikan jawaban.
Maxel tersenyum, hal seperti itu—tidak mengerjakan PR—sudah menjadi kebiasaan Viola di setiap harinya. Laki-laki itu mendekati Viola dan merangkul pundak gadis itu untuk berjalan bersama. "Kalau gitu, yuk ke kelas!"
Viola mengangguk. Membiarkan Maxel merangkulnya dan membawanya pergi meninggalkan Kania yang sekarang menghentakkan kakinya dengan kesal. Tak lupa gerutuan keluar dari mulutnya yang malah membuat Viola dan Maxel tertawa guna menanggapinya.
"Gitu ya? Udah ketemu gebetannya aja gue dianggurin. Awas aja lo ntar, gue cuekin mampus!"
Inilah persahabatan mereka, terlihat sederhana dan sangat rawan akan kata cinta. Namun di antara mereka tidak ada ungkapan cinta tersebut, walau ketiganya tahu pasti ... ada rasa yang tumbuh di hati dengan pelan-pelan dan hati-hati.
***
Ternyata mengurus surat-surat yang diminta tantenya tidak memakan waktu yang sangat lama. Bahkan Bintang sudah diizinkan menggantikan guru cuti itu mulai senin depan. Bintang tersenyum, bagaimana harinya kali ini terlihat lebih mudah daripada hari-harinya yang biasa.
Dia baru saja mengisi bensinnya dan berniat meninggalkan tempat itu, ketika ponselnya berbunyi. Ia menepikan mobilnya di tempat peristirahatan sebelum mengecek ponselnya. Sebuah panggilan, dari sahabatnya.
Bintang mengangkat panggilan itu dan mulai mendengarkan suara berat milik laki-laki yang ada di seberang sana.
"Then, di mana lo sekarang?"
"Pom bensin, kenapa? Mau ikut lo?"
"Pom bensin mana, gue susulin apa lo yang nyusulin gue sekarang?"
"Eh anjir, jangan bilang lo lagi—"
"Hooh. Makanya sini deh, gue lagi di klub malam dan males karena sendirian. Bisa ke sini kagak, nemenin gue mabuk kek apa gimana gitu?"
Bintang mendengus, meneamani Galang mabuk adalah pilihan paling t***l yang pernah ada. Laki-laki itu tidak akan mabuk. Tubuhnya sudah terbiasa dengan minuman beralkohol apa pun."Oke tunggu aja, gue jalan ke sana!"
"Sip, jangan lama-lama ya! Ntar gue udah masuk hotel, lo baru dateng lagi!"
"Anjir lu, kalau niat lo mau cari cewek jangan ajak gue juga bisa kalik!"
Hanya terdengar suara tawa yang menggelegar di seberang sana dan helaan napas Bintang yang menyusul selanjutnya. Sambungan telepon sudah terputus, dan itu pertanda jawaban Bintang yang akan menyusul Galang-lah yang diterima oleh sahabatnya satu itu.
"Nggak masalahlah, lagian jarang-jarang juga dia ke sini!" ujarnya sebelum menjalankan mobil menuju tempat yang ia yakini tengah menjadi tempat pemberhentian Galang kali ini.