Viola keluar dari kamarnya seraya memegangi d**a. Degup jantung yang bergemuruh ketika gadis itu mengingat kembali kejadian semalam. Viola menggelengkan kepalanya sebelum turun ke lantai bawah dengan tergesa-gesa. Tepat ketika ia akan memijak anak tangga, di saat itulah kepalanya menoleh., melihat koridor kamar kakaknya yang sepi, seperti tidak berpenghuni.
"Apa dia sudah bangun, ya?"
Lagi-lagi ia menggeleng. Mencoba mengabaikan keberadaan laki-laki itu dan langsung turun ke bawah, ke meja makan di mana ayah dan ibunya telah berkumpul.
"Pagi sayang, apa tidurmu nyenyak?"
Viola duduk di tempatnya seraya tersenyum menghadap ibunya. "Iya Bunda."
"Apa kamu yang membuka pintu tadi malam, Vio?" tanya Alex tiba-tiba yang membuat Viola menoleh ke arahnya dengan ekspresi terkejut sebelum mengangguk.
Apa membukakan pintu untuk kakaknya di malam hari adalah sebuah kesalahan? Viola rasa tidak.
"Lain kali jangan lupa mengunci pintunya lagi." Alex mulai memakan makanannya disaksikan Fisha yang kini tersenyum menghadap suaminya.
"Viola juga cepetan sarapan!"
Viola menatap ibunya dengan anggukkan sebelum bertanya, "Kakak nggak ikut sarapan Bunda?"
"Varo ya ... dia bilang makannya nanti aja."
"Abaikan kakakmu, makan saja yang banyak, jangan sisakan buat laki-laki semacam dia!" Alex menambahi dan malah membuat Viola murung di tempat duduknya.
Apa itu karena dia? Apa itu ada hubungannya dengannya? Kalau memang iya—
"Viola, cepetan makan Nak!"
"Eh iya Bunda!"
Apa Bintang menghindarinya? Karena kejadian semalam yang bahkan Viola tidak paham apa maksudnya. Sama seperti dulu. Ketika kakaknya berjanji padanya untuk mengajarinya saat malam, tapi nyatanya kakaknya tidak pernah datang. Bintang berubah, janjinya terlupakan dan Bintang terlihat suram dan menakutkan. Sama seperti tadi malam.
***
"Kakak! Ajarin Viola PR!"
Bintang menoleh, mengangkat tangan kirinya untuk melirik jam tangan sebelum menghadap adiknya dengan senyuman. "Maaf ya sayang, kakak ada janji sama temen nih sekarang. Kamu belajar sendiri aja dulu, nanti malam belajar sama kakak."
Bintang menggulingkan tubuhnya ke samping, berulang-ulang mengubah posisi tidurnya guna mengenyahkan sepenggal kenangan yang kini menyiksanya dalam kesendirian. Kenangan lama tentang dirinya dan Viola. Adiknya.
Bagaimana ia yang dulu adalah seorang kakak penyayang dan selalu perhatian, sebelum ia berubah menjadi seperti sekarang. Menjauhkan diri dari Viola tanpa alasan. Membangun tembok tinggi, sebuah batas di mana tak ada seorang pun yang diizinkannya untuk mendekat. Mengenal dirinya lebih dekat, bahkan hanya sebagai seorang sahabat.
Bintang menjauhi semua orang dari masa lalunya, walau tak semuanya berhasil. Karena nyatanya, masih ada tantenya, kakek dan neneknya, dan Akasa. Orang tuanya pun ia jauhi selama beberapa tahun terakhir, tapi kini tidak lagi. Karena kini sudah saatnya Bintang kembali.
Ke jalan yang sebenarnya dan bukannya bermain-main lagi.
Laki-laki itu kembali mencoba memejamkan mata, menikmati pagi di atas ranjang dengan bermandikan sinar mentari yang terus mengusiknya. Dia mencoba kembali terlelap juga berharap, bahwa apa yang dilaluinya akan kembali lebih baik lagi seperti hari sebelumnya. Jauh sebelum hari itu ia lalui dan ia rasakan bagaimana pahitnya yang tidak pernah habis hingga sekarang.
***
"Mau libur aja ngasih PR segudang, kenapa semua guru kayaknya suka banget nyiksa muridnya di hari libur sih!" jerit Kania sewaktu guru mereka keluar dari kelas terlebih dahulu.
Maxel yang duduk di belakang Kania dan Viola mendongak. Menatap sinis sahabatnya sebelum berkata, "Berhentilah mengeluh, itu semua udah jadi tanggungan wajib buat pelajar!"
Kania menatapnya sinis. "Yang anak rajin mah bilangnya gitu. Pemalas kayak gue apalah, cuma sebutir debu yang numpang lewat karena ketiup angin."
"Kalau lo aja sebutir debu, nah gue apaan dong, Kan?" Viola bertanya pada gadis yang kini menoleh ke arahnya.
Kania bingung, kalau ia mengumpamakan dirinya yang pemalas sebagai sebutir debu yang tertiup angin. Lalu bagaimana dengan Viola? Dia memang cantik, baik, pemalas? Bisa dibilang begitu juga, soalnya Viola jarang mengerjakan PR. Tapi bukannya malas sih, kayaknya Viola nggak ngerjain PR itu karena nggak bisa. Nggak bisa sama artinya dengan bodoh. Lalu apa perumpamaannya?
"Kagak tahu deh, coba tanyain Maxel!" Kania menoleh. "Xel—huwaaaa!"
Maxel memasang pose berpikirnya yang membuat Kania kaget. Viola meliriknya dengan menahan tawa. "Mau keluar nih petuahnya," ujarnya yang membuat Maxel menatapnya.
"Apa ya, kalau bagi gue Viola itu—"
"Viola itu—uhuk-uhuk, keselek katak nih gua kayaknya!" ujar Kania dengan nada menggoda yang membuat Maxel membuang mukanya ke samping.
"Dia mirip kelopaknya bunga dandelion, putih, cantik, dan bersih. Walaupun cantik dan terlihat kuat, ketika angin berembus dia pun akan terbang dan terpisah dari tangkainya. Yah... miriplah, dikit."
"Gue ngerasa kayak digombalin deh?" tanya Viola tiba-tiba ke arah Kania yang nyengir ke arahnya.
"Petuah busuknya keluar." Gadis itu berdiri dengan tas yang terpasang rapi di punggungnya. "Pulang-pulang, sebelum telinga lo makin busuk gara-gara ocehannya seorang Maxel Ardinanta!"
"Sialan lo Kan!"
"Nyata, busuk semua omongan lo!"
"Berisik aja lu. Lagian, sebusuk-busuknya omongan gue, masih busukan juga omongan elo!"
"Anjir!'
"Balik."
"Bangke lu!"
"Kembali."
Perasaan tadi kayak ngegombalin gue, tapi secepet kilat bisa ngilang dan adu bacotan sama Kania. Dasar lo Xel! Batin Viola sambil menggelengkan kepala dan tertawa ketika menyimak pertengkaran dua sahabat dekatnya itu. Gaje!
***
Viola memutuskan mengerjakan PR-nya malam ini. Berharap hari minggu esok, ia bisa menghabiskan harinya bersama sang kakak. Ia sangat ingin bersama laki-laki itu, tapi selama dua bulan ini ia tidak pernah bisa melakukannya, karena ada PR yang mengganggu hidupnya.
Walau Viola belum tentu bisa menjawab PR-nya, nyatanya dia selalu mengurung diri bersama kertas-kertas soal itu hingga mungkin separonya bisa ia jawab. Yah begitu, dia harus berusaha sekuatnya dulu, kan? Bukannya menyerah dan menunggu Tuhan mengatur jalan hidupnya.
Pintu kamarnya diketuk dari luar yang membuat Viola menoleh dan melihat sang Bunda yang masuk dengan gerakan pelan dan hati-hati. "Bunda!" panggilnya terkejut.
Fisha tersenyum, melihat anak yang dibesarkannya nyaris delapan belas tahun itu sebelum mendekat dan bertanya, "Kamu sedang apa?"
"Ngerjain PR Bunda, Bunda sendiri kenapa kemari?"
"Hm... kamu bisa gantiin Bunda sama Ayah ke sebuah reunian nggak?"
"Hah?"
Viola tampak bingung dan tidak percaya. Reunian? Nah loh, kok Viola yang disuruh dateng, bukan orangnya langsung?
"Iya, bukan reunian sekolah gitu, tapi reunian mantan model satu agensi Ayah kamu dulu. Mungkin nanti ada tante Cia atau Akasa juga, karena Om-mu kemungkinan juga ikut ke rumah sakit."
"Siapa yang sakit?" tanya Viola cepat-cepat.
"Kakek, penyakit jantungnya kambuh tadi sore. Ini Bunda sama Ayah mau ke rumah sakit, nah kamu sama Varo pergi ke pertemuan itu!"
"Kakak juga?" Fisha menganggukkan kepalanya.
"Varo juga, nanti abis dari sana kalian langsung ke rumah sakit aja. Gimana?"
"Tapi nanti, Viola harus ngapain aja di sana?"
Viola bingung, ia bahkan tidak kenal satu pun teman Ayahnya yang akan dia temui nanti. Lalu, ia harus bagaimana nanti? "Kamu cukup nurut aja sama Varo, dia udah Bunda kasih nasihat panjang lebar. Bisa kan ya?"
Akhirnya Viola mengangguk, lagi pula memangnya pertemuan itu semenyeramkan itu yah? Rasanya enggak deh, pastinya enggak menyeramkan. Hanya bertemu mantan rekan satu agensi model ayahnya dulu. Agensi? Model?
Ayahnya mantan model?
Mata Viola membelalak sebelum menoleh ke arah pintu yang baru saja ditutup ibunya dari luar.