Pintu kamar itu ditutup dengan keras di belakangnya, dan Zahra merasa semakin hancur oleh perlakuan Attar. Ia merasakan kesedihan dan frustasi yang mendalam, bertanya-tanya mengapa semuanya bisa berubah secepat ini. Dalam hati, ia berharap agar segalanya bisa kembali seperti sebelumnya, ketika persahabatannya dengan Sandra dan perasaannya terhadap Attar tidak rumit dan menyakitkan seperti sekarang
Dalam kegelapan kamar, Zahra merasakan cipratan air yang membuat wajahnya basah. Dia refleks mengerjapkan matanya, dan ia menemukan Attar di dekatnya. Saat Attar meminta Zahra untuk berdiri, dia patuh mengikuti perintahnya.
Zahra mendongak dan menatap Attar dengan wajah datar. "Siapa suruh kamu tidur di kamarku?" tanya Attar dengan nada sedikit tajam.
Attar berkata dengan nada tinggi, "Ibu yang menyuruhmu tidur di kamar ini."
Zahra merasa tatapan tajam Attar menusuknya, membuatnya merasa seolah-olah dia adalah orang yang salah.
"Sepertinya memang kamu tidak akan bisa keluar dari kamar ini, apalagi dengan ibu," ujar Attar dengan nada sinis.
Attar menatap Zahra kembali. "Ya sudah, kalau begitu. Kamu boleh sekamar denganku, dengan catatan kamu tetap tidur di sofa. Dan aku tidak mau kamu menuntut apapun dariku. Kamu mengerti?"
Zahra menganggukkan kepala, menerima syarat-syarat yang diajukan Attar. Sejujurnya, dia tidak punya pilihan lain selain menerima. Perasaannya campur aduk, antara rasa lega karena tidak perlu tidur di luar, namun juga merasa canggung karena situasinya yang rumit.
"Oh iya, satu lagi," kata Attar tiba-tiba. "Kita tidak boleh saling jatuh cinta, dan aku akan menggugat cerai kamu secepatnya."
Zahra merasa seperti dia baru saja menerima tamparan emosional. Permintaan Attar itu membuat hatinya semakin terluka, dan dia menyadari bahwa situasi ini semakin kompleks daripada yang dia kira. Dengan perasaan bercampur aduk, dia menganggukkan kepala tanpa sepatah kata lagi.
Sementara itu, Attar telah mengenakan pakaian dan bersiap-siap untuk pergi. Tanpa melirik bahkan sekalipun pada Zahra, dia meninggalkan kamar dengan langkah tegapnya.
Setelah Attar keluar dari kamar, Zahra melihat jendela yang terbuka dan sinar matahari yang terang benderang, dia menghela nafasnya. "Ya ampun, aku bangun kesiangan. Sepertinya alarm di ponselku tak menyala."
Zahra segera mencari ponselnya, dan ketika dia menemukannya di dalam tas, dia menyadari bahwa ponselnya kehabisan daya. "Pantas saja alarmnya tidak menyala, sepertinya ponselku memang kehabisan daya sejak malam."
Dengan perasaan tergesa-gesa, Zahra memutuskan untuk segera membersihkan diri. Dia berjalan menuju kamar mandi, mencoba melupakan keadaan rumit yang harus dia hadapi. Di tengah-tengah sibuknya mempersiapkan diri, dia berusaha merangkai pikirannya agar lebih tenang, berharap bahwa setidaknya hari ini akan berjalan lebih baik daripada kemarin.
Di sisi lain Attar memasuki ruang makan sendirian, di mana Liliana dan ibunya sudah duduk di meja makan. Liliana segera bertanya tentang Zahra, "Mana Zahra, istrimu?"
Attar menjawab dengan nada tajam, "Panggil saja namanya, tidak usah mengakhiri dengan kata 'istrimu'."
Liliana tidak berhenti bertanya, "Mengapa? Memang Zahra sekarang istri bukan? Kamu tidak bisa mengelak dengan statusmu saat ini."
Attar merasa kesal dengan pertanyaan dan ucapan Liliana, "Ini kan keinginan ibu."
Liliana menghela nafas, "kamu tahu, jika kamu tak menikah kemarin, maka kesialan akan terus menghantui hidupmu. Seharusnya kamu berterima kasih kepada ibu dan Zahra."
Zahra, yang baru saja masuk ke ruang makan, mendengar percakapan mereka. Dia merasa bingung dan terjebak dalam situasi yang semakin rumit. Attar memandang Liliana dengan wajah penuh ketidaksetujuan, "Aku sangat bingung dengan ibu. Kenapa ibu percaya pada hal-hal mitos seperti ini? Sekarang aku terjebak dengan status ini."
Liliana hanya mengangkat bahu, "Kamu lihat saja nanti. Kamu pasti akan mencintai Zahra, atau setidaknya tolong jangan melukai hatinya."
Attar dengan tegas menyatakan, "Tidak. Aku tidak akan pernah mencintai perempuan itu. Cintaku hanya untuk Sandra." Dengan kata-kata tegas itu, suasana ruang makan menjadi tegang, dan Zahra merasa semakin terpojok dalam keadaan yang rumit ini.
Liliana melihat Zahra dan ia meminta menantunya itu duduk di sampingnya.
Liliana mencoba menenangkan Zahra yang duduk di sampingnya, "Zahra, kamu tidak perlu terlalu memikirkan kata-kata Attar. Cinta bisa datang karena terbiasa, kamu perlu bersabar saja."
Sementara itu, Attar yang berada di meja yang sama tidak terlalu memperhatikan apa yang dikatakan oleh ibunya.
Setelah makan sarapan pagi selesai, Attar berdiri dan melangkah pergi. Namun Liliana memanggilnya, "Attar, kamu pergilah bersama Zahra. Zahra juga akan pergi bekerja."
Attar menjawab dengan nada sinis, "Tidak, aku tidak ingin satu mobil dengan perempuan itu."
Attar melihat Zahra dengan tatapan sinis sebelum akhirnya meninggalkan ruang makan.
Zahra merasa semakin tak nyaman dengan situasi ini, dan ketidakpedulian Attar semakin membuatnya merasa tersingkir.
Zahra memberi salam kepada Liliana saat akan pergi bekerja, dan Liliana memperhatikan dengan cermat.
"Jika kamu merasa lelah bekerja, lebih baik kamu berhenti saja," ujar Liliana dengan khawatir. "Zahra, jika kamu merasa lelah, lebih baik kamu beristirahat di rumah. Biar Attar yang bekerja."
Zahra tersenyum dan menjawab, "Iya, Bu. Terima kasih atas perhatiannya. Tapi sepertinya aku yang sudah terbiasa bekerja akan merasa bosan jika harus tetap berada di rumah."
Liliana mengangguk dan mengerti, "Baiklah, kalau begitu. Aku tidak bisa memaksa. Hanya mengingatkan kamu, jika kamu merasa terlalu lelah, lebih baik berhenti sejenak. Tapi aku tidak bisa memutuskan untukmu."
Zahra tersenyum dan mengangguk, "Iya, Bu. Terima kasih atas perhatiannya."
Setelah itu, Zahra meninggalkan Liliana dan Liliana melihatnya pergi dengan senyuman. Dalam hati, Liliana merasa bahwa keputusannya untuk mengatur pernikahan antara Attar dan Zahra mungkin tidak salah.
Zahra memilih untuk pergi ke tempat kerjanya dengan angkutan kota, sengaja memilih opsi yang lebih hemat. Saat berada di dalam angkutan kota, Zahra merasakan getaran dari ponselnya. Ia mengambil ponsel dari tas selempangnya dan melihat pesan baru yang masuk. Ternyata itu adalah pesan dari Sandra.
Zahra membuka pesan tersebut dan melihat foto Sandra bersama Attar. Pada foto itu, mereka berdua terlihat di rumah sakit. Zahra membaca pesan yang dikirimkan oleh Sandra.
[Sandra: Ara, apa kamu tahu? Attar telah datang ke rumah sakit dan menyuapiku untuk sarapan. Dia semakin perhatian padaku.]
Zahra merasa hatinya terasa hangat melihat foto dan pesan tersebut. Meskipun ia sedang menjalani kehidupan yang rumit, melihat perhatian dari sahabatnya membuatnya merasa lebih merasa bersalah. Namun ia tersenyum sendiri menutupi perasaannya yang kompleks dan membalas pesan Sandra dengan ucapan selamat.
[Zahra: Selamat ya, kamu berhak mendapatkan perlakuan seperti itu. Attar memang lelaki yang baik untukmu.]
Kemudian, Zahra kembali menyimpan ponselnya dan melanjutkan perjalanan dengan angkutan kota menuju tempat kerjanya, sambil membawa senyuman palsu di wajahnya.
Sementara di rumah sakit, Attar bertanya pada Sandra, "kamu sedang bertukar pesan dengan siapa?"