Bab 2

1488 Words
Sudah hampir 4 jam Irina menunggu di ruangan Rayen. Dari mulai mondar-mandir sembari melihat seisi ruangan maskulin Rayen, mengelilingi ruangan yang sangat rapih dan indah seperti si pemilik, melihat-lihat ke luar gedung yang menampakkan keindahan kota Jakarta, bahkan Irina sempat tertidur di sofa empuk dengan warna abu hitamnya yang semakin membuat Irina tergoda untuk terlelap sempurna di sofa empuk itu. Sayup-sayup Irina mendengar suara pintu terbuka. “Irina.” suara lembut yang berasal dari Rayen. “Irina.” nada suaranya terdengar meninggi. “Irina.” bentakan yang cukup keras untuk membuat Irina benar-benar terbangun. Dalam hati sebenarnya Rayen sangat ingin menatap gadis di depannya dengan lama, tapi Rayen segera menepis pemikiran itu, dia adalah Irina. “Maaf, Pak.” Irina mengerjapkan matanya yang masih sedikit ngantuk. “Saya menyuruh kamu menunggu, bukan tidur di sofa saya.” “Maaf, Pak. Saya tidak sengaja tertidur.” “Cepat bangun.” Tidak mendengar komentar lagi dari Irina, Rayen segera keluar tanpa menunggu Irina sadar penuh dan mengikutinya dari belakang. Rayen benar-benar dingin terhadap Irina, tapi dia tidak peduli. Rayen bahkan merasa itu saja belum sepadan untuk membalas rasa sakit hatinya terhadap Irina atas penghianatan dan rasa sakit yang diberikannya dulu, ia masih saja merasakan pedih hingga sekarang. Kepergian Rayen ke London setelah semua penghianatan yang diberikan Irina membuat Rayen hancur. Bukan hanya hatinya saja yang hancur, tapi juga kepercayaannya kepada orang lain benar-benar sudah hancur terutama wanita. Setelah hati dan kepercayaannya hancur, Rayen tak pernah lagi mau mempercayakannya kepada orang lain. Keterpurukan atas penghianatan Irina membuatnya larut dalam dunia pendidikan dan fokus belajar bisnis keluarganya sebagai usaha untuk melupakan Irina dan semua kenangannya selama bersama dengan Irina. Usahanya hanya percuma saja, Rayen terlanjur menumpahkan segala cinta dan sayangnya hanya untuk Irina. Rayen masih saja mengingat Irina. Bukan masih. Selalu. Tapi Rayen masih ingat dengan jelas penghianatan Irina padanya. Gedung yang semula akan digunakan untuk pernikahan Tyas Mirano dan Hito Hardiwidjaya ditolak menta-mentah oleh Rayen. Rayen menganggap tidak sesuai dengan selera keluarganya yang berkelas dan bersikeras harus dipilih dan dilihat langsung oleh mata kepalanya sendiri. Tentu saja membuat Irina ekstra bekerja dengan keluhan yang dibuat Rayen. Untuk ke sekian kalinya, gedung yang didatangi mereka adalah hotel berbintang yang mewah di daerah Jakarta. Rayen tidak perduli berapapun waktunya habis untuk memilih-milih gedung mewah selama Rayen puas telah menyiksa Irina. Itu bahkan belum setimpal dengan rasa sakitnya. “Bagaimana Pak? Apakah gedung ini sudah sesuai dengan selera anda? Jika bapak setuju, hari ini juga saya akan booking tempatnya” Irina tetap bertanya meski sebenarnya dia tahu dari ekspresi tidak suka yang diperlihatkan Rayen. “Saya tidak suka.” “Saya rasa gedung ini sudah sesuai dengan selera bapak yang tadi Bapak jelaskan.” “Saya sudah bilang kan?! Saya mau tempat yang perfect dan itu juga mencakup area outdoor. Tamannya terlalu biasa.” “Tapi, pak. Pernikahannya kan indoor.” “Tapi saya tidak suka. Saya mau luar ataupun dalam harus perfect. Apa tamu-tamu saya langsung teleportasi ke dalam gedung? Coret gedung ini dari daftar.” Irina menghela nafas pelan agar tidak terdengar sebal dihadapan kliennya ini “Baik, pak” Ini adalah gedung keempat yang ditolak Rayen. Alasannya menolak gedung yang diusulkan Irina tidak jelas. Tempat parkir yang kurang nyamanlah. Penjaga parkirnya yang sudah tualah, yang sebenarnya normal-normal saja. Area gedung yang terlalu ramailah yang sebenarnya jauh dari hingar bingar kehidupan yang kejam ini. Dan sekarang tamannya yang terlalu biasa. Baiklah, Irina masih menahan tanduknya didalam. Waktu menunjukan jam 11 malam lewat 15 menit saat mereka tiba digedung yang kelima. Jika gedung yang kali ini masih juga ditolak, sepertinya Irina tidak bisa menahan lagi tanduknya untuk menyembul keluar. “Saya rasa, kali ini tamannya baguskan pak? Tempat parkirnya juga nyaman, dan penjaga parkirnya juga terlihat masih muda dari yang tadi. Dan area gedungnya saya rasa sudah cukup lengang.” “Irina, apa kamu tidak bisa lihat para pelayan disini? Mereka payah dan lihat, ruangannya kotor.” Keluh Rayen. Maaf, untuk kali ini kesabarannya sudah habis tak bersisa untuk melayani keinginan aneh dari Rayen. Irina tidak lagi bisa menahan amarah yang mencokol sejak ia bersama Rayen, dan ini sudah cukup keterlaluan. “Pak, sepertinya ada yang salah dengan selera anda.” Irina berucap dengan tenang, dia sudah pada batas sabarnya. “Maksud kamu?” tanya Rayen tanpa dosa. “Para pelayan disini sudah lelah karena sekarang sudah hampir tengah malam, dan ruangan disini juga masih kotor karena baru saja selesai acara. Bapak lihat kan para pegawai sedang membersihkan tempatnya?” meledak sudah amarah Irina, tanduknya pun bertengger sempurna di kepalanya. “Jadi maksud kamu selera saya yang payah?” Rayen mulai menyukai perdebatan ini. Kemarahan Irina menunjukkan rasa tersiksanya atas semua keinginan Rayen yang sebenarnya tidak masuk akal. Jika dipikirkan kembali, hotel-hotel sebesar ini masih mau menerima orang yang akan melihat-lihat untuk mem-booking gedung mereka. Ya, tentu saja. Rayen, seorang CEO muda dari sebuah perusahaan industri terbesar di Indonesia langsung yang menghubungi mereka. Dengan adanya Rayen yang mem-booking tempat mereka itu menunjukan kelas atas mereka. “Ya.” Jelas Irina sudah tidak perduli lagi dengan kliennya ini. “Huh, benar-benar amatir.” Sedikit mendengus dan tawa mengejek dari Rayen. “Maaf, Pak Rayen yang terhormat. Saya memang amatir tapi orang yang profesional sekalipun juga akan berfikir lagi jika semua klien seperti anda.” Irina memang amatir, tapi ia tidak terima jika harus menerima kata-kata itu dari orang yang memang sengaja membuatnya terlihat lebih buruk dari ini. “Oh, jadi kamu akan menyerah. Ternyata kamu masih belum berubah juga.” Sontak Irina mengerutkan dahinya dalam. “Maksud  anda?” Irina begitu terkejut dengan perkataan Rayen. “Ya, kamu belum berubah. Masih seperti Irina yang dulu. Irina yang selalu ingin mendapatkan segalanya dengan mudah. Dan Irina yang selalu mendapatkan apa yang sudah diinginkannya dengan cara apapun.” Tangan Irina bergetar, apa maksud Rayen tadi. Irina sangat terkejut dengan yang dikatakan Rayen terlebih saat mendengar bahwa Rayen ternyata memang benar-benar hanya mempermainkannya seperti dugaannya. Dan Rayen hanya menyunggingkan seyum liciknya. “Jadi kamu masih ingat. Kamu masih mengingat wanita yang belum berubah ini?” “Aku tidak mungkin lupa Irina. Aku tidak mungkin melupakan wanita yang sudah menghancurkan hidupku.” “Dan kamu juga dengan sengaja membuat pekerjaanku bertambah. Menyuruhku menunggu di Kantormu selama 4 jam. Dan membuat keluhan-keluhan tidak jelas tentang gedung-gedung yang sudah kita datangi.” Dengan suara rendah Irina menatap kosong lantai marmer yang ia pijak tanpa menatap wajah Rayen yang memang semula sangat ia benci itu. “Ya, dan aku sangat menikmatinya. Kenapa? Kamu kaget Sweety? Bukankah ini menyenangkan?” Sweety. Panggilan sayang Rayen kepada Irina yang sangat Irina kenal dan kini panggilan itu terasa menyakitkan dikuping Irina. “Rencana yang luar biasa Rayen. Kamu sudah semakin membuatku yakin kalau aku tidak pernah salah menilaimu. Terimakasih atas penjelasannya.” Amarah dan kekesalan yang sudah Irina tahan meledak dan segera membalikkan tubuhnya dan beranjak pergi dengan genangan air mata yang mulai membanjiri pipi lembutnya tanpa melihat lagi Rayen yang sekarang hanya memandangi kepergian Irina dengan kepuasan  karena amarahnya yang sudah dipendam selama bertahun-tahun kini tersalurkan dengan melihat wajah tersiksa Irina. Aneh, kenapa dadanya malah terasa pedih melihat buliran air mata di mata Irina yang menggenang.   ***   Entah apa yang akan dilakukan Irina besok. Irina sudah tidak perduli lagi. Jikapun ia dipecat, Ia sudah tidak perduli lagi. Pemecatannya malah akan bagus. Irina akan terbebas dari pria paling menyebalkan dan paling dia benci. “Ada apa sih Na? Lo telepon gue tengah malam buta kaya gini nangis sesenggukan lagi. Lo kenapa?” Suara Suci sahabat Irina terdengar jelas khawatri karena Irina meneleponnya malam-malam dan tanpa bicara langsung menangis yang membuat Suci semakin mengkhawatirkannya. “Gue baru aja hidup tenang dan menata hidup gue tapi sekarang hancur lagi gara-gara dia Ci. Gue harus gimana?” dengan suara terisak dan terbata Irina berbicara dengan sahabatnya Suci. “Dia? Dia siapa? Siapa yang udah bikin lo nangis sesenggukan kaya gini?” Suci yang masih bingung dengan Irina tak sabar mendengar siapa yang sudah membuat sahabatnya ini menangis seperti ini. Ia tahu, Irina bukanlah orang yang akan menangis tanpa sebab seperti ini. “Rayen, Ci.” Satu nama itu cukup membuat sahabatnya, Suci terbelalak, “Apa? Rayen? Gue gak salah denger Na?” Suara sahabatnya shock berat persis seperti yang akan Irina lakukan tadi jika saja tidak ada bosnya Lena disana. “Ngapain tuh anak balik lagi?” Masih dengan tangisannya Irina menjelaskan “Ternyata Rayen adalah adik dari Tyas Citra Mirano yang nikahannya gue yang handle.” Dengan terbata Irina menjelaskan kembali “Dan sekarang dia terlibat langsung dengan alasan sebagai perwakilan keluarga mempelai. Lo tahu, seharian ini dia nyiksa gue dan nguji kesabaran gue banget.” “Dulu dia ngilang gak jelas tanpa ngasih lo kabar apapun selama bertahun-tahun dan sekarang dia balik lagi dengan gak jelas dan bikin lo nangis bombai lagi. Tuh cowok maunya apa sih. Heran gue” dengan penuh emosi Suci mengumpat Rayen yang sudah membuat Irina hancur lagi. “Emang dasar kebangetan tuh cowok. Lo jauh-jauh deh dari dia gue gak mau lagi lo hancur. Cukup ya lo menderita gara-gara dia.” Malam itu, Irina menghabiskan malamnya dengan penuh kebingungan. Bingung karena pasti besok dia akan menerima surat pemecatan dari bosnya Lena tapi disisi lain dia juga tidak ingin dipecat mengingat adiknya yang baru masuk kuliah dan hanya Irinalah yang menjadi tulang punggung keluarga sekarang. Irina tidak bisa lagi berharap ada orang yang akan menolongnya. Ayahnya meninggal setahun lalu dan ibunya mulai sakit-sakitan. Rendi adalah adik Irina yang pintar dan tidak mungkin untuk membuat adiknya berhenti kuliah mengingat kegigihan adiknya yang semangat walau dengan kekurangan yang mereka alami sekarang. Irina hanya bisa pasrah dan menerima kenyataan kalaupun dia harus dipecat dan mencari pekerjaan lagi. Toh itu juga akan membuat Irina jauh dari orang yang paling Irina benci.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD