Bab 6. Melepaskan Kesucian

1503 Words
Andi memutar bola mata. Ia tak ingin terburu-buru karena masih belum terlalu yakin dengan permintaan Jeff. "Kamu nggak lagi bohong sama Papa, kan? Dia beneran hamil?" tanya Andi. Jeff mendengkus. "Kenapa Papa bilang gitu?" "Karena dia miskin. Banyak orang miskin ngaku-ngaku hamil biar bisa dipungut sama pria kaya," kata Andi. Gita mencoba untuk tidak mengamuk saat ini. Walaupun ia miskin, ia tidak serendah itu. Tidak, sebelum ia mengenal Jeff. Sialan! Ia memang murahan karena mau menjual diri demi uang. "Aku nggak mungkin bohong, Pa." Jeff mengusap bahu Gita dan membuat bulu kuduk gadis itu meremang. "Sayang, kamu tadi bilang udah laper, kan? Kita makan, ya. Kasihan dedek, dia pasti juga udah laper." Gita tertawa kecil ketika Jeff membelai perutnya dengan penuh kasih. Bukan janinnya yang kelaparan, tetapi cacing-cacing di perutnya yang mulai menggeliat. "Ayo duduk, hati-hati," ujar Jeff. Dengan lembut ia menarik kursi untuk Gita lalu membiarkan gadis itu duduk dengan nyaman. "Ehm, kalau kamu ketahuan berbohong dengan kehamilan kamu, saya pasti akan menuntut kamu, Gita," ujar Andi. Gita melebarkan matanya. Ia mendadak takut. Ia jadi ingin hamil secepatnya. "Papa jangan nakutin calon istri aku!" gertak Jeff. "Papa cuma bercanda," tukas Andi. Ia terus memperhatikan bagaimana Jeff mengambilkan makanan untuk Gita. Sungguh tidak biasa karena putranya itu jauh dari kata romantis. Namun, dengan Gita kenapa semua berbeda? "Apa benar mereka udah lama pacaran? Jeff kelihatannya emang suka dan perhatian sama Gita. Apa gadis itu beneran udah hamil? Kenapa terakhir kali aku minta Jeff nikah, dia malah marah-marah nggak jelas? Apa benar karena dia udah punya pacar?" Andi terus bertanya-tanya dalam hati. "Selamat makan, Sayang. Makan yang banyak," ujar Jeff pada Gita. "Mas juga harus makan," sahut Gita. Ia melempar senyum pada Andi. "Om, mari makan." Gita merasakan tatapan dingin Andi hingga ia semakin gentar. Ia mencoba tetap tersenyum lalu memikirkan cara agar Andi percaya padanya bahwa ia sedang hamil. Ia menatap makanannya. Gita tersenyum tipis. Ketika ia melihat Andi yang mulai makan, ia pun ikut menyendok. "Ueekk!" Gita menurunkan sendoknya lalu berpura-pura hendak muntah. Tatapan Andi dan Jeff kini tertuju pada Gita. "Sayang, kamu mual?" Gita mengangguk beberapa kali. "Lobsternya bikin aku pengen muntah, Mas." Padahal Gita sangat menyukai lobster. Ia ingin sekali menyantapnya. "Oh, ya?" Jeff menatap Gita dengan senyum tertahan. Beruntung Gita cukup bisa berakting. "Nggak usah dimakan kalau gitu. Ini ... Bibi!" "Ya, Tuan!" Salah satu pelayan langsung mendekati meja makan. "Tolong singkirkan lobsternya. Calon istri saya mual-mual," kata Jeff. "Baik, Tuan." Gita kembali berpura-pura hendak muntah saat menatap lobster lezat itu disingkirkan dari meja. Ah, seharusnya ia bilang lauk lain yang membuatnya mual. "Yang ini gimana? Sup seafood, kamu bisa makan?" tanya Jeff. Ia menyodorkan satu sendok kuahnya ke bibir Gita. Gita mengernyit lalu mengibaskan tangannya. "Nggak! Aroma bawangnya nggak enak, Mas." "Oh, Sayang. Besok aku minta pelayan masak sup ayam aja," kata Jeff dengan nada khawatir. "Ikan aku bisa makan," kata Gita seraya menunjuk ikan gurame besar di tengah meja. "Bagus, kamu makan ini yang banyak," tukas Jeff seraya mengambilkan ikan itu. Andi membuang napas panjang. Melihat interaksi Jeff dan Gita yang cukup manis membuatnya merasa cukup yakin bahwa Jeff memang memiliki hubungan dengan Gita. Ditambah, Gita sudah hamil. Astaga! Andi sebenarnya tak menyukai ini. Namun, jika Gita memang hamil cucunya apa boleh buat. "Bawa dia ke rumah sakit. Harus minum obat biar dia nggak mual-mual," ujar Andi. Jeff berhenti menyendok makanan, begitu juga dengan Gita. "Calon cucu Papa harus dapat asupan gizi yang sempurna." Andi melirik ke bawah tubuh Gita yang tertutup oleh tepi meja. "Jaga kandungan kamu baik-baik. Mengerti?" Gita tersenyum dan mengangguk. Ia lega aktingnya cukup berhasil. Ia makan dengan lambat malam itu, padahal ia sangat lapar. Ah, ia mungkin bisa makan lebih banyak setelah Andi pulang. Atau mungkin tidak. Mereka juga harus berakting di depan pelayan. *** Jeff membuka pintu kamar dan masuk terlebih dahulu. Ia menghembuskan napas panjang dari bibirnya karena semua berjalan lancar. "Om Andi percaya kalau aku hamil, kan?" Gita menyusul masuk ke kamar. Jeff melayangkan tatapan lega ke arah Gita. "Ya, untuk saat ini Papa percaya. Tapi kita nggak bisa menunda lebih lama. Kamu harus segera hamil anak aku. Paham?" Gita mengangguk. Ia tahu itu. Dan untuk hamil, ia harus berhubungan seks dengan Jeff. "Ke sini," titah Jeff seraya menepuk sisi ranjang yang ia duduki. Gita menelan saliva. Ia duduk di sebelah Jeff dan sama seperti tadi, pria itu langsung menyerangnya. Gita menahan napas, ia berada di bawah tubuh Jeff dengan kaki masih menjuntai di tepian ranjang. "Dengar, aku juga nggak suka sama kamu. Aku nggak ada hasrat untuk meniduri kamu, tapi demi kesepakatan kita, aku mau semua dipercepat," kata Jeff. Gita memejamkan mata saat Jeff mencium bibirnya dengan rakus. Ia kehabisan napas. Ia tahu Jeff tidak melakukannya karena cinta. Begitu juga dengan dirinya. "Ini terasa nggak bener," batin Jeff karena Gita begitu kaku membalas ciumannya. Jadi ia mencoba menyentuh bagian tubuh yang lain. Gita bereaksi dengan mengeluarkan desahan. Suara manis itu, posisi mereka yang tak memiliki jarak mampu membangkitkan pusakanya yang tadi tertidur. Jeff hanya butuh penyatuan agar ia bisa membuang benihnya ke rahim Gita. Itu saja. Ia terus merangsang Gita, menarik tubuhnya ke atas ranjang agar bisa berbaring dengan lebih nyaman. Keduanya kini hampir tak memakai apa pun. Jeff menatap Gita lalu membelai pipinya dengan bibir. "Kamu siap?" tanya Jeff di telinga Gita. Gita menggeleng, sebenarnya ia tidak siap. Ia mendorong d**a Jeff ketika pria itu membuka kedua kakinya dan mencoba masuk. "Ahh! Ahh! Ampun!" Gita memekik kesakitan. Jeff mendesis pelan agar Gita diam. Ia mencium bibir Gita lagi, tetapi itu adalah ciuman tanpa hasrat yang sangat kaku. Alih-alih rileks, Gita menjadi semakin takut. "Sakit! Sakiiit, Mas!" teriak Gita sembari mendorong Jeff lebih keras. Ia mendudukkan tubuh ketika Jeff terbaring di sebelahnya. "Bisa pelan-pelan nggak sih?" "Aku juga udah pelan," sahut Jeff tak terima. "Kamu harus rileks dan percaya sama aku." Gita menutupi tubuhnya dengan selimut. Ia mengambil pakaian miliknya satu persatu. Air mata sudah hampir meluruh, tetapi ia menahan diri. "Git! Kamu nggak lupa gimana ucapan Papa tadi?" gertak Jeff. "Kita harus lakukan ini sekarang! Kamu harus hamil!" "Aku bilang itu sakit!" protes Gita. "Sakit cuma sekali, setelah itu kamu bisa merasa enak. Aku nggak bohong," kata Jeff frustrasi. Sungguh sial, ia hampir bisa menikmati tubuh wanita lagi setelah sekian lama menduda, tetapi Gita malah menolaknya dan kembali berpakaian. Miliknya berdenyut nyeri karena tidak mendapatkan kepuasan. Gita memalingkan wajahnya dari Jeff. Ia tahu Jeff tak berbohong. Ia sudah pernah mendengar cerita teman-temannya yang telah menikah. Malam pertama mungkin akan sedikit menyakitkan, tetapi setelah itu akan membuat ketagihan. "Git! Ingat perjanjian kita!" Jeff menarik bahu Gita. Ia mendorong gadis itu kembali berbaring. Kali ini air mata lolos dari pelupuk Gita. Gadis itu menggeleng. Ia hampir menyesal sudah mau menjual diri seperti ini. "Nggak usah nangis! Kamu cuma perlu telentang di bawah tubuh aku," kata Jeff. "Kesepakatan itu ... bukannya harus menikah dulu?" protes Gita. Jeff tahu itu, tetapi ia juga terburu oleh waktu. Ia sudah terlanjur berbohong pada ayahnya. "Tapi, aku nggak bisa nunggu," kata Jeff. Ia menyingkirkan selimut dari tubuh Gita. Ponsel Gita tiba-tiba berdering dengan keras. Gita menoleh ke nakas di mana benda itu tergeletak. Ia baru menghubungi ayahnya dengan nomor baru itu dan pastilah itu adalah ayahnya. "Mas! Mas! Itu pasti papa aku," kata Gita. Jeff menggeram. Ia mengangguk. Ia juga membutuhkan kehadiran ayah Gita saat mereka menikah lagi. Ia juga harus membereskan utang piutang ayah Gita agar pria itu tak membuat malu nantinya. "Halo, Pa," ujar Gita. "Papa di mana?" "Git! Tolongin Papa! Papa abis dikeroyok orang!" rintih Bowo di seberang. "Apa? Papa ... Papa sakit?" "Ehm ... Papa di rumah sakit, tapi Papa nggak punya uang dan ... Papa takut ketahuan para penagih utang itu. Papa sekarat ini, hampir mati," kata Bowo. "Papa di rumah sakit mana?" tanya Gita. Seharusnya ia tak peduli pada pria mengerikan itu, kan? Namun, apalah daya. Hanya Bowo satu-satunya keluarga yang ia miliki sekarang. "Rumah Sakit Teratai," jawab Bowo. "Oke, aku kesana nanti." Jeff mengambil ponsel Gita. "Ada apa?" "Aku harus tolongin Papa aku, Mas. Dia dihajar orang, pasti luka-luka dan ... Papa butuh uang." Jeff tersenyum miring. "Aku kasih uangnya. Tapi, kita lakukan dulu apa yang seharusnya kita lakukan." Gita menelan saliva. Ia hendak menolak Jeff, tetapi ia juga harus membantu ayahnya. Jadi, ia mengangguk. "Anterin aku ke rumah sakit abis ini," ujar Gita. Jeff mengangguk pelan. Ia membaringkan Gita lagi dan mulai menciuminya. Keduanya tidak melakukan aksi itu tanpa gairah dan semuanya terasa tidak nyaman. Gita menahan sakit yang tak terperi ketika Jeff mulai memasuki tubuhnya. Ia menahan jeritannya keluar dengan menggigit bahu Jeff dan menenggelamkan cakarnya di punggung pria itu. Napas Gita berlomba dengan napas Jeff hingga akhirnya Jeff menuntaskan permainan dengan mengeluarkan cairannya di rahim Gita. Keduanya terengah-engah di atas seprai yang bernoda kemerahan. Jeff menatap Gita yang sedang menangis, mungkin karena malu atau sakit. Ia tak ingin peduli, toh, keduanya sama-sama mau. Ia tak memaksa Gita, tetapi keadaan yang memaksa Gita untuk bersepakat. "Kamu jadi mau menemui papa kamu?" tanya Jeff. Gita mengangguk sambil mengusap pipinya yang basah. "Ayo, sekarang aja kalau gitu."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD