Bab 4. Dibawa Pulang

1500 Words
Gita tak bisa menarik lagi ucapannya. Pagi itu, ia langsung disodori beberapa lembar kertas berisi kontrak pernikahannya dengan Jeff. Ia juga telah melakukan pemeriksaan kesuburan secara singkat dengan dokter spesialis kandungan. Jeff telah menandatangani surat kontrak itu dan Gita yakin pria itu benar-benar membutuhkan bantuannya untuk menjadi istri sementara. Gita menatap mata penanya yang masih mengambang di atas kertas. Ia berdoa dalam hati agar ini bukanlah keputusan yang salah. "Silakan tanda tangan, Nona." Revi menungguinya sejak tadi. Pria itu menatap bosan ke arah Gita yang tak lekas membubuhkan tanda tangan. "Oke." Gita membuang napas panjang. Ia sudah membaca surat kontrak itu. Ada banyak poin yang harus ia perhatikan di sana. Salah satunya adalah ia harus berakting dengan baik sebagai istri Jeff ketika mereka berada di depan keluarga Jeff. "Tuan Jeff menunggu Anda," kata Revi lebih keras. "Di mana dia?" tanya Gita. Revi membuang napas berat. Ia mendekati tempat tidur Gita. "Ini udah siang, Nona. Tentu saja Tuan di kantor." Gita mengangguk. Ia jadi kepikiran sesuatu. "Apa aku bisa kerja di kantor lagi kalau aku jadi istri Pak Jeff?" "Untuk apa Anda bekerja di sana? Anda bisa mendapatkan uang tanpa harus mengeluarkan keringat," kata Revi. Ia tersenyum miring kemudian. "Simpan keringat Anda untuk aktivitas ranjang Anda dengan Tuan Jeff nanti, Nona." "m***m!" umpat Gita dengan wajah memerah. Ia harus melahirkan bayi. Tidak dengan cara inseminasi, tetapi harus sealami mungkin. Bisakah ia melakukan itu? Jeff adalah duda, pria itu pasti sudah berpengalaman. Mereka akan bercinta tanpa cinta. Ah, itu mengerikan. Gita menggeleng pelan. "Ayo, Nona. Tanda tangan saja," kata Revi lagi. Gita menatap ke kertas. Baiklah. Ini tidak sulit. Dengan d**a berdebar kencang, akhirnya ia pun menandatangani kertas demi kertas. Senyum Revi pun terkembang. Sebentar lagi, keinginan Jeff untuk memiliki anak akan terwujud. "Bagus, Nona. Saya pastikan Anda tidak menyesal." "Aku butuh ponsel ... Pak, Om. Aku harus panggil apa? Aku bukan lagi karyawan," kata Gita bingung. "Panggil Revi saja. Sekarang Anda adalah calon istri Tuan." Revi mengambil berkas kontrak dari atas meja lipat Gita. "Saya akan menyimpan ini demi keamanan dan kerahasiaan kalian berdua." "Oke." Gita semakin berdebar. Ia menatap Revi dengan gugup. Pria itu jelas sudah berusia 30 tahun lebih dan tak enak jika ia memanggil nama saja. "Aku panggil Om aja, ya. Atau Mas?" "Jangan. Anda harus panggil seperti itu ke Tuan Jeff." Gita merinding. Jeff sudah tua. Mungkin 35 tahun. Ia tak mau memanggilnya seperti itu. "Mas Jeff?" Revi mengangguk pelan. "Tadi Anda bilang ... Anda butuh apa?" "Ponsel. Aku harus hubungi Papa kalau aku mau nikah," kata Gita. Sebenarnya ia tak senang berhubungan dengan ayahnya yang keji. Namun, apa boleh buat. "Baik, Nona. Itu memang perlu. Saya akan belikan ponsel untuk Anda malam nanti kalau kita pulang ke rumah Tuan." "Malam nanti? Kenapa nggak sekarang? Om kan bisa keluar bentar buat beli," ujar Gita tak sabar. "Tuan berpesan agar saya menjaga Anda dan memastikan Anda tidak kabur atau malah melakukan hal konyol seperti semalam," kata Revi. Gita mengerutkan kening. "Hal konyol?" Revi menggumam seraya menganggukkan kepala. "Ya. Anda berniat bunuh diri di jembatan, kan?" Gita mendengkus. Ternyata Revi dan Jeff setali tiga uang. "Sebenarnya aku nggak mau bundir. Sumpah, aku masih pengen hidup walaupun hidup aku merana." "Apa? Jadi ... apa yang sebenarnya Anda lakukan?" tanya Revi tak mengerti. "Kenapa Anda melongok ke bawah jembatan dan naik ke pagar?" Gita menggaruk kepalanya yang tak gatal. "Ehm, yah ... semalam aku pergi dari rumah karena rumah disita. Aku nggak punya apa-apa lagi kecuali ponsel aku. Dan aku kepikiran buat nyari pinjaman online biar aku punya modal. Aku harus nyari kost-an dan kerjaan. Aku butuh duit. Jadi aku di situ berdiri sambil meratapi nasib. "Tapi ... ada orang lewat yang mungkin nggak sengaja nabrak punggung aku. Ponsel aku jatuh ke sungai dan ... aku nggak rela satu-satunya barang berharga aku jatuh. Aku pengen ambil ... tapi itu emang konyol." Revi ternganga. Ia tahu Jeff menolong Gita karena mengira gadis ini hendak bunuh diri. Ia menuding Gita dengan ujung jarinya. "Jangan katakan apa pun soal ini sama Tuan. Biar aja Tuan mikir kalau Anda memang punya niat untuk mengakhiri hidup Anda." "Tapi aku enggak! Aku punya jiwa pejuang," protes Gita. "Menurut saja sama saya. Sekarang, saya carikan ponsel baru untuk Anda." Revi merogoh ponselnya. Ia memilih membeli ponsel baru secara online agar ia hanya perlu turun ke lobi rumah sakit untuk mengambil pesanannya. *** Sore itu, Gita sudah diperbolehkan untuk pulang. Ia tak tahu hendak pulang ke mana karena ia tak memiliki rumah lagi. Namun, Revi bilang Jeff akan menjemputnya. Gita sudah dibuat takjub dengan ponsel baru yang diberikan oleh Revi. Jelas, itu adalah benda elit yang tak mampu ia beli sebelumnya. "Enak juga nikah sama konglomerat, aku bisa dapat ponsel mahal," ujar Gita dalam hati. "Semuanya terkendali?" Suara Jeff membuat Gita sedikit terlonjak. Ia langsung menurunkan ponselnya lalu duduk lebih tegak. "Ya, Tuan. Nona sudah diperbolehkan pulang sekarang juga." Jeff menatap Gita dari atas hingga bawah. Ada banyak hal yang harus ia ubah dari Gita agar gadis itu cocok bersanding dengannya. Ia tak ingin ayahnya curiga ia sembarang menikahi wanita. Beruntung, wajah Gita cantik, jadi ia punya alasan jika ayahnya tahu ia menikahi gadis biasa. "Kamu udah hubungi ayah kamu?" tanya Jeff. "Ehm, ya. Tapi nomornya nggak aktif. Mungkin takut dilacak orang yang nagih utang," kata Gita. "Hubungi terus. Kalau nggak bisa, nanti aku carikan ayah palsu untuk kamu," sahut Jeff. Gita menelan saliva. Sungguh gila. Istri palsu! Ayah palsu! Apakah Jeff hidup dengan kepalsuan selama ini? "Saya pulang ke mana sekarang?" tanya Gita. "Ke rumah saya," jawab Jeff. "Apa?" Gita hampir tersedak. "Tapi, Pak ... kita kan belum nikah." "Kita punya waktu beberapa hari sampai persiapan pernikahan kita beres. Sebelum itu, kamu harus belajar banyak hal," kata Jeff. Ia mencondongkan tubuhnya ke arah Gita hingga gadis itu mengerjap dan mencengkeram ponselnya erat. "Kita nggak saling kenal, jadi anggap aja waktu ini sebagai momen pedekate kita." Jeff mengeluarkan sesuatu dari saku jasnya. Ia meletakkan kotak berwarna merah di atas ranjang, tepat di mana Gita duduk. "Pakai cincin itu, kamu akan aku perkenalkan sebagai tunangan aku di rumah nanti." Gita membuang napas panjang begitu Jeff berdiri lebih tegak. Ia lalu meletakkan ponselnya. Ia mengambil kotak cincin dan dibuat terkesima dengan isinya. "Ini berlian? Wow!" "Pakai aja dan kita pulang," kata Jeff. Ia mengedikkan dagunya pada Gita agar bergegas. "Oke, Pak." Gita mendadak berdebar karena ia belum pernah ke rumah Jeff. Ia harus tinggal di sana mulai sekarang. Ah, ia tak bisa membayangkannya. "Ayo naik," ujar Jeff seraya membukakan pintu mobil untuk Gita. "Ehm, oke." Gita tak pernah diperlakukan seperti ini sebelumnya. Ia tahu Jeff hanya berpura-pura agar peran mereka sebagai suami-istri nantinya bisa terlihat lebih natural. Begitu mobil berjalan, keduanya saling terdiam. Gita sesekali menggaruk kepalanya yang tak gatal dan menoleh untuk mengecek apakah mobil Revi mengikuti mereka atau tidak. Entah bagaimana, ia merasa agak cemas jika harus berdua saja dengan Jeff di rumah nanti. "Karena kita mau nikah, kita nggak mungkin bicara formal terus apalagi di depan keluarga aku." Suara berat Jeff membelah keheningan. Gita mengangguk. "Jadi, saya harus panggil gimana? Tadi Om Revi bilang saya harus panggil Bapak mas. Apa perlu begitu?" "Ya." Jeff melirik Gita sekilas. "Bicara santai aja. Kita juga harus merancang skema palsu perjalanan cinta kita. Anggap aja kita mulai kenal sejak kamu bekerja di perusahaan keluarga aku. Dan kita semakin dekat." "Tapi kita sama sekali nggak dekat. Bapak ... ehm ... Mas tuh rival atasan sa—aku." Gita merasa bibirnya tidak sinkron dengan otaknya. Bicara saja susah di sebelah Jeff. Jeff melayangkan tatapan tajam pada Gita. "Karena itu aku bilang ... anggap aja. Paham?" "Oh, ya. Aku ngerti. Dan kita mulai pacaran sejak saat itu?" Jeff menimbang lalu mengangguk. "Anggap aja gitu." "Tapi itu baru tiga bulan yang lalu, Mas. Apa kita nggak butuh sesuatu yang lebih dramatis?" Gita menyarankan. "Mungkin kita bisa pura-pura udah pacaran selama setahun terakhir. Sejak aku kuliah! Itu lebih meyakinkan!" Jeff kembali menatap Gita. Gadis ini benar-benar moody. Mendadak menggebu-gebu dalam peran palsu mereka. "Oke, begitu juga nggak apa-apa. Kita pacaran diam-diam selama setahun karena orang tua aku nggak akan setuju kalau aku pacaran sama gadis biasa seperti kamu," kata Jeff. Gita menelan saliva. Ini adalah tantangan yang berat. "Apa mereka jahat? Aku emang miskin, tapi aku nggak mau dihina-hina." Jeff agak mencemaskan itu tentu saja. Latar belakang Gita akan menjadi kelemahannya. "Itu bisa aku atur. Makanya, aku mau kamu berpura-pura udah hamil di depan Papa." "Apa?" Gita membelalak seketika. "Hanya dengan begitu, aku bakal diperbolehkan menikah dengan gadis miskin seperti kamu," ujar Jeff. "Tapi, Mas! Itu bohong!" "Semua yang kita lakukan emang kebohongan. Kenapa kamu sewot?" sembur Jeff. Ia menghentikan mobilnya di halaman rumah. "Pokoknya aku bakal bilang kalau aku udah menghamili kamu dan kita harus menikah secepatnya." "Tapi ... gimana kalau nanti ... ketahuan?" "Tentu aja, kita harus benar-benar bikin kamu hamil secepatnya biar nggak ketahuan," jawab Jeff datar. Ia tersenyum melihat wajah kaget Gita. Namun, apa yang bisa ia lakukan? Ini demi mencapai apa yang ia inginkan. "Ayo turun. Kita udah sampai di rumah."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD