Mungkin hanya Rena tempatku mengadu dan mencurahkan isi hati sejak kemunculan Rabian di hidupku lagi. Kali ini Rena menyuruhku untuk tetap tenang dan tidak menunjukkan kebencian di depan Rabian.
"Semakin kakak kesal di depan dia, semakin dia merasa kakak itu belum move on dari dia. Masih cinta dan kekesalan itu hanya kedok, ya nggak?"
Iya sih, tapi siapa juga yang nggak kesal bertemu mantan sialan dan sialnya lagi si mantan itu bos baruku. Hidup memang tidak adil kepadaku.
Seandainya dulu dia memberikan alasan saat kami putus mungkin hati ini tidak akan sesakit itu. Bayangkan, dua tahun pacaran hubungan kami bisa dibilang lumayan mesra, bahkan kami jarang bertengkar dan tepat di hari itu ...
Flashback tujuh tahun yang lalu.
To : my love
"Happy anniversary ke dua tahun sayangku, semoga kamu makin cinta sama aku."
Aku menghapus kembali sms yang hendak kukirim ke Rabian. Terlalu kekanakan dan bisa-bisa dia besar kepala.
Drttt drttt
Nama Rabian muncul di layar ponselku, rasa rindu kian membuncah setelah satu minggu ini kami tidak bertemu. Kali ini tanpa menunggu lama, aku langsung mengangkat teleponnya.
"Hai sayang."
Biasanya dia selalu menjawab 'hai juga sayang." Tapi kali ini tidak, aku hanya mendengar helaan napasnya. Mungkinkah urusannya di luar kota belum selesai. Baiklah, seharusnya aku lebih pengertian.
"Kita jalan ya."
"Ke mana?"
"Aku di depan rumah kamu, ayo turun."
Aku bergegas turun dan melihat Rabian sedang berdiri di samping mobilnya. Entah kenapa kali ini aku langsung berlari menghampirinya dan memeluknya penuh rindu. Aku menyingkirkan ego yang tadi sempat muncul karena aku sangat merindukannya. Tidak pernah serindu ini sejak kami pacaran dua tahun yang lalu.
"I miss you so much," bisikku pelan. Rabian membalas pelukanku dan mencium pucuk kepalaku pelan.
Oh romantisnya, dia selalu tahu kesukaanku dan dia berhasil membuatku semakin tergila-gila.
Aku melepaskan pelukanku dan menatapnya, kali ini ada perubahan di dirinya. Wajah bersihnya kini penuh dengan bulu-bulu halus, wajahnya semakin mengecil dan aura mukanya sedikit gelap.
"Kamu merindukan aku?" tanyaku. Dia mengangguk dan menyentuh pipiku dengan tangan hangatnya.
"Kamu baik-baik sajakan? Kenapa wajah kamu terlihat suram?" tanyaku. Dia mencoba tersenyum meski jelas itu senyum terpaksa, setelah melepaskan rasa rindu dan sedikit berbincang tentang kondisiku dan kondisinya barulah dia membawaku pergi.
Sepanjang perjalanan dia tak berhenti menggenggam tanganku dengan erat, seolah tidak ingin melepaskanku.
"Kita ke mana?" tanyaku penasaran saat mobilnya melaju keluar kota. Kali ini dia diam dan fokus mengemudikan mobil, beberapa kali aku melihat keningnya berkerut seakan dia sedang berpikir dengan keras.
"Kamu serius banget nyetirnya," aku coba membuka percakapan agar rasa tegang di wajahnya hilang. Dia menoleh dan mengangkat tanganku lalu menciumnya dengan hangat.
Wanita mana yang tidak luluh dan rela memberikan seluruh cintanya ke laki-laki yang memperlakukan dirinya seperti tadi, begitu pun aku. Aku memberikan seluruh cintaku kepadanya, hanya kepadanya.
"Boleh aku tahu kamu ke mana satu minggu ini?" tanyaku pelan.
"Sebaiknya hari ini kita lupakan tentang masalah itu, hari ini aku ingin menghabiskan waktu bersama kamu. Hanya aku dan kamu, tanpa masalah di belakangnya," ujarnya.
Aku akhirnya memilih untuk tidak membahas masalah itu lagi, mungkin ini ada hubungan dengan pekerjaannya.
"Baiklah, arghhh aku nggak sabar pengen tau kamu akan bawa aku ke mana." Kali ini di tersenyum dan kembali memegang tanganku.
Mobil akhirnya berhenti di depan villa milik Rabian, biasanya kami ke sini saat liburan. Aku sangat suka di sini karena udaranya masih bersih dan ada danau di belakang Villa. Aku turun dan menghirup udara lalu berlari menuju tepian danau di belakang Villa. Aku tertawa sambil melepaskan sepatuku untuk bermain air.
"Yank, ayo sini!" teriakku memanggil Rabian. Rabian masih berdiri sedikit jauh dan hanya memperhatikanku yang mulai basah, rasanya aku ingin menghabiskan hidupku di villa ini bersama Rabian dan anak-anak kami kelak.
Ya Tuhan, kenapa aku berpikir tentang anak. Wajahku mulai memerah menahan rasa malu, Rabian tidak boleh tahu kalau aku mulai berpikir yang tidak-tidak.
Cukup lama aku bermain sendiri di tepi danau dan kakiku sepertinya mulai mengkerut karena terlalu lama di dalam air. Aku melambaikan tangan sekali lagi dan menyuruh Rabian mendekatiku.
"Sayang sini deh, airnya enak banget," panggilku dan sesekali aku melemparkan air ke kakinya. Kali ini dia mendekatiku lalu memegang bahuku sambil menatap mataku.
Suasana sangat mendukung untuk menyatakan cinta atau lamaran, mungkinkah dia akan melamarku? Apakah dia akan bertanya 'maukah aku menjadi istrinya' lalu dia akan menyematkan cincin di jariku? Ya ampun, kenapa aku semakin melantur. Aku menunduk malu agar dia tidak melihat raut mukaku yang semakin memerah. Tangannya mengangkat daguku agar kami kembali saling bertatapan. Aku menatap matanya dan berharap impianku tadi menjadi kenyataan. Tepat di hari jadi kami ke dua tahun dia melamarku, mungkin aku tidak akan memintanya memberiku kado lagi. Itu saja sudah cukup bagiku.
"Kita putus," ucapnya dengan mimik santai. Senyum yang tadinya mengambang di wajahku langsung sirna. Dia mengucapkan 'kita putus' seolah dua kata itu tidak berarti baginya. Aku terdiam dan lidahku terasa kelu, bahkan aku tidak tau apakah ini semua hanya mimpi atau kisah nyata. Aku mencubit tanganku dan rasanya sangat sakit. Impianku hancur berantakan setelah dia mengucapkan 'kita putus' begitu saja.
"Kamu bercanda kan? Ini nggak lucu." Aku mencoba berpikir positif dan merasa dia sedang mengujiku. Aku memukul pelan tangannya dan tertawa pelan.
"Aku serius, kita putus dan lupakan aku dan semua tentang hubungan ini," ucapnya lagi dengan nada dingin dan tanpa perasaan.
Kali ini aku sadar kalau dia benar-benar serius dan rasanya hatiku tak pernah sesakit inu, bahkan rasanya sangat menyedihkan dibandingkan saat aku tahu Bunda membenciku karena aku anak korban p*******n.
Aku masih diam di tempatku berdiri tadi, sedangkan dia mulai melangkah pergi meninggalkan aku di tepi danau yang sama saat dia menyatakan cinta dua tahun yang lalu. Aku pikir dia membawaku ke sini untuk merayakan dua tahun kami bersama tapi nyatanya dia membawaku ke sini untuk dicampakkan seperti sampah. Bahkan dia tidak mengantarku kembali ke rumah dan meninggalkanku tanpa uang sepersenpun.
Flash back end
"Mbak Ayu! Yah malah bengong dia," lambaian tangan Wida di wajahku membuyarkan lamunan tentang kejadian tujuh tahun yang lalu. Sial! Kenapa aku teringat kisah kelam percintaanku di masa lalu.
"Apaan sih, siapa juga yang bengong." Aku merapikan berkas design yang berantakan di atas meja.
"Ooo Pak Rabian nyuruh Mbak ke ruangannya," ujarnya lagi. Aku mendengus kesal saat Wida menyebut nama laki-laki itu lagi.
"Males, yang butuh siapa? Ya suruh dia ke sini dong. Aku sih ogah nyamperin dia," balasku masa bodoh dan melanjutkan merevisi design.
"Yah nggak bisa gitu dong Mbak. Pak Rabian itu atasan kita dan Mbak wajib datang ke ruangannya kalau dipanggil, nggak bosen apa berantem terus sama cowok sekece Pak Rabian?" tanya Wida kepo. Anak ini punya daya kepo lebih tinggi dibandingkan daya kerjanya.
"Kayaknya kamu lebih pas jadi tukang gosip daripada kerja di sini. Makan gaji buta Mbak?" Sindirku tajam.
"Ah gosip dan kerja itu harus seimbang Mbak, lagian ya Pak Rabian itu emang kece badai kok. Sayang aja kalau dimusuhi," jawabnya tanpa malu.
"Makan tuh ganteng, nggak doyan aku laki-laki kayak dia," balasku senewen.
Siapa juga yang nggak senewen, selama ini hidupku baik-baik saja. Karirku lancar dan hidupku tenang tapi semua berubah saat si Rabian muncul di kantor dengan wajah lugunya dan memperkenalkan diri sebagai atasan baru di kantorku.
Ya, laki-laki jahat yang dulu seenaknya mutusin tanpa sebab tiba-tiba muncul lagi setelah tujuh tahun menghilang dan menjadi mimpi burukku di kantor.
"Kenapa sih Mbak benci banget sama Pak Rabian?" tanya Wida semakin kepo. Rasanya aku pengen teriak kalau laki-laki itu penyebab sampai saat ini aku menutup rapat hati dari laki-laki lain. Aku benci patah hati dan berjanji tidak akan pernah jatuh cinta lagi.
"Nggak suka aja, udah ah kamu kok jadi nyebelin gini!" Aku mengambil tas serta blazer pink muda yang tadi aku gantung di kursi. Rasanya moodku menghilang sejak Wida membahas dia dan malam ini aku mau refreshing di club sambil menikmati si bungsu dengan hobi barunya di meja DJ.
Seandainya aku tidak teringat kisah tujuh tahun yang lalu, mungkin aku tidak akan sesedih ini. Sial! Kenapa juga dia muncul saat aku perlahan-lahan mulai melupakannya.
"Mbak, ada yang nyari tuh," teriak Wida lagi, sepertinya dia mengangkat telepon yang berdering tadi.
"Bilang aja aku sudah pulang, nggak enak badan!" balasku.
"Bukan Pak Rabian, tapi ... tunggu siapa ya tadi namanya. Ah iya, namanya Danish Bimo Anugrah, dia nunggu Mbak di lobby," ujar Wida lagi.
Danish?
Wah dalam rangka apa dia datang ke sini, sebaiknya aku mengajak dia menonton Restu. Ya, berdua lebih baik daripada sendiri.
Aku bergegas turun dan melihat Danish menungguku di lobby. Aku menghampirinya dan menyapanya dengan hangat.
"Hai, tumben ke sini lagi?" tanyaku.
"Mau ajak kamu dinner, bisa?" tanyanya.
"Hmmm, gimana ya. Bukannya aku mau menolak ajakan kamu, tapi hari ini aku janji mau nonton perform Restu di clubnya," ujarku pelan, "tapi kalau kamu mau ikut juga boleh, aku punya dua tiket. Sebenarnya mau ajak Wida tapi dia rese dan nyebelin, jadi lebih baik aku ajak kamu," sambungku. Danish sepertinya tertarik dan akhirnya mengangguk pelan.
"Let's go," ajaknya. Aku mengikutinya dan kali ini kami berpapasan denga Rabian, sesuai perintah Rena aku harus bersikap biasa dan aku pun bersikap acuh seolah tidak melihatnya.
"Kayaknya seru ya," ujar Danish mengajakku bicara tapi sayangnya mataku lebih memilih melihat Rabian yang bersikap acuh juga.
****
Kekesalan aku lampiaskan dengan meminum bir lumayan banyak, Danish berusaha menahanku untuk tidak larut dalam emosi tapi aku menolak dan tetap meminum bir dengan hati masih kesal. Danish angkat tangan dan memanggil Restu untuk membujukku, aku sempat melihat Danish meminta Restu membawaku pulang.
"Kamu pulang duluan saja, aku pulang dengan bayiku," ujarku sambil menghabiskan sisa bir yang ada dibotol.
"Aku bukan bayi kak," oceh Restu.
"Yakin?" tanya Danish. Aku mengangguk dan begitu pun Restu. Danish akhirnya meninggalkan aku dan Restu berdua di room yang kami pesan.
"Kakak mabuk parah." Restu memungut barang-barangku dan hendak membantuku berdiri.
"Kakak nggak mabuk kok!" teriakku.
"Nanti bunda ngamuk kak," teriaknya lagi.
"Ishhh bawel, kakak nggak pulang malam ini dan tidur di apartemen kamu saja. Minta kuncinya!" teriakku sambil tersenyum dan mencubit pipinya. Awalnya dia menolak tapi aku selalu menang darinya, aku merogoh saku celananya dan berhasil menemukan kunci apartemennya.
"Kakak."
"Sttttsss jangan bilang Bunda ya bayiku, bye!" Langkahku semakin sempoyongan saat meninggalkan room dan beberapa kali aku hampir jatuh. Untungnya apartemen Restu berada satu gedung dengn club ini, jadi aku nggak perlu hangover di jalanan.
Aku menyenandungkan lagu yang dulu sering dinyanyikan Rabian saat kami masih pacaran.
"Rabian brengrek!" teriakku di depan lift dan setelah itu aku tertawa dan akhrinya menangis disaat bersamaan. Pintu lift akhirnya terbuka dan masih dengan tubuh sempoyongan aku masuk dan melihat ada orang di dalam lift.
"Permisi, boleh masuk?" tanyaku ke orang yang wajahnya datar itu. Bahkan aku tidak melihat mata dan hidungnya. Ah, mungkin dia setan penghuni lift. Aku melangkah dan saat lift hendak bergerak tubuhku semakin oleng. Aku jatuh tapi untungnya orang berwajah datar itu menahanku dengan tangannya.
"Awwww," teriakku. Aku ingin berterima kadih tapi aku batalkan saat melihat wajah datar itu berubah menjadi wajah Restu.
"Aih, adikku ternyata. Ayo bantu kakak ke kamar," aku menyerahkan kunci apartemen dan tas tanganku ke tangannya. Aku semakin ngantuk dan tanpa sadar memejamkan mata di dadanya yang nyaman.
Sejak kapan d**a Restu jadi bidang kayak gini ya, dia kan masih ABG. Kayaknya aku sudah terlalu lama mengacuhkan adikku ini.
****