25

1624 Words
“Astaga, Nak!” Hari itu setelah bertemu Wyne untuk pertama kalinya, Gentala tidak bisa mengalihkan pikirannya. Meski menutup mata sekalipun, ia masih bisa melihat wanita yang tanpa pikir panjang ia akui kecantikannya itu pada Om Abid. Namun bukan kecantikan yang membuat Gentala tidak bisa tidur. Ia butuh Om Abid untuk memastikan ini karena hanya Om Abid seorang saja yang mengetahui semua rahasianya sampai sekarang. Itulah alasan kenapa ia duduk di atas ranjang Om meskipun lampu kamar tersebut padam. Namun saat adik Papa itu pulang, Gentala kehilangan minatnya untuk bertanya. Bagaimana jika ia kembali kecewa? “Bukan kah ini sudah waktunya kamu tidur?” tanya Abid setelah pulih dari keterkejutan. Pria yang baru pulang dari acara kumpul dengan teman-teman lamanya itu mendekati putra Abangnya dan mengelus puncak kepala Gentala sayang. Sesuai dengan janjinya pada Mama pagi ini, Gentala tidak hanya memakan apapun yang Mama masak namun anak itu jauh lebih tenang dan kadar menyebalkannya juga sudah berkurang. Hanya dengan bertemu sekali dengan Kak Wyne. Om terus bicara tapi Gentala masih belum memutuskan untuk menyahut atau tidak. Yang ia lakukan selama lima belas menit adalah melihat Om mengganti baju dan juga mengikuti semua gerak-gerik Om melalui ekor matanya. Gentala sudah pernah kecewa karena dirinya yang terlalu cepat dalam menyimpulkan makanya kali ini ia tidak mau melakukan kesalahan yang sama. Hanya saja, Wyne memang tidak mau hilang dari kepalanya. Om Begitu menjengkelkan selama dua hari terakhir. Ratusan kata ‘bukan’ sudah Om katakan padanya tapi hari ini, sejak pulang dari rumah Om June dan Wyne, Om Abid tidak menjengkelkan sama sekali. Tadi sore Om juga bicara sesuatu yang aneh. “Wyne?? Kamu panggil orang tuamu- maksud Om, kamu panggil orang tua pakai namanya aja?” Apakah kamu bisa memikirkan sesuatu yang sama dengan Gentala? Kamu tau, ‘kan maksudnya apa? Bahkan sekedar mencurigai bahwa Wyne adalah Mamanya saja dan berkata di dalam hati, Gentala tidak berani. “Apa yang ingin kamu tanyakan, Nak??” Gentala menggeleng pelan kemudian turun dari ranjang. Ia akan kembali ke kamarnya dan tidur. Besok Gentala akan main ke rumah Om June dan Wyne lagi. Namun sebelum pintu kamar Om Abid tertutup sepenuhnya, Gentala memandang adik Papanya itu dan berujar. “Mamaku bukan, Bella, ‘kan. Om?” “Bukan. Untuk yang satu ini Om ga akan berani becanda sama kamu.” “Selamat malam, Om.” Anak itu tidak menunggu Om nya menyahut. Di benaknya ia sudah mengetahui apa yang harus ia lakukan. Jika Wyne adalah orang yang menulis buku tentang Papa dan Tante Bella maka Wyne juga pastinya orang yang paling mengetahui apa yang sebenarnya terjadi. Kemudian setiap harinya Gentala selalu berada di rumah tersebut. Menghabiskan hari bersama Om June tapi matanya tidak pernah lepas dari Wyne. Kadang Wyne hanya keluar dari kamar saat ia lapar atau saat dia pikir Gentala tidak ada disana. Beberapa kali Wyne terpaksa duduk bersama mereka meskipun tidak bicara banyak. Om June selalu berpesan pada Gentala untuk tidak mengajak Wyne bicara kecuali dia yang memulai. Om June bilang, jika Gentala masih ingin bermain disini dengannya dan meminta tanda tangan maka sebaiknya Gentala menuruti saran tersebut. Hari itu hujan baru saja reda dan ternyata baik Gentala atau Wyne yang tinggal berdua saja di rumah sama-sama kelaparan. Om June keluar untuk suatu urusan dan masih belum pulang sehingga yang bisa Gentala lakukan hanya duduk diam si atas sofa. Untuk pertama kalinya Wyne mengajaknya bicara. “Aku mau jajan bakso, kamu boleh makan bakso ga?” Maksud Wyne bertanya adalah untuk mengetahui apakah Shakka memberlakukan semacam makanan larangan para Gentala. “Boleh.” “Ya udah, ikut aku aja.” Jalanan basah bahkan di beberapa tempat terdapat genangan air. Sisa hujan juga masih terasa di kulit Gentala hari itu. Ia dan Wyne berjalan beberapa meter ke kedai bakso dalam diam sampai Gentala merasakan sesuatu pada kepalanya. Wyne memasangkan topi pada kepalanya kemudian membuang muka. Seolah-olah barusan ia tidak melakukan apa-pun. “Wyn,” ucap Gentala membuat wanita yang seumuran dengan Papanya itu berhenti berjalan dan menoleh. “Aku boleh pegangan?” “Lain kali ga boleh Wan Wyn Wan Wyn. Namaku Wyne,” ucap Wyne setelah meraih tangan Gentala ke dalam genggamannya. Meskipun Wyne berkata ketus padanya, tapi Gentala tidak bisa menyembunyikan senyum lebarnya. Beruntung Wyne kembali fokus pada jalanan. Jari kakinya basah karena ia memakai sendal jepit yang Om June belikan beberapa hari yang lalu dan satu tangannya yang tidak dipegang Wyne merasakan percikan air setiap kali ia berjalan. Begitu menoleh ke belakang. “Wyn.. celanaku kotor,” ucap Gentala melihat celana bagian belakangnya yang terkena percikan air yang naik akibat ia berjalan. Ini pasti karena gaya berjalannya yang berpadu dengan sendal jepit. Jejak-jejak kecoklatan itu bahkan sampai pada bagian pantatnya. “Astaga,” ujar Wyne saat mengetahui celana bagian belakang bocah itu kotor. “Makanya kalau jalan itu sendalnya juga diangkat dong.” “Aku angkat kok,” “Angkatnya samaan sama kamu ngangkat tumit jadi airnya ga kemana-mana.” “Ya kamu ga ngajarin.” “Jalan doang kamu masih perlu diajarin?” Gentala cemberut dan menarik Wyne untuk kembali berjalan. Tapi sesungguhnya ia tidak merasa kesal sama sekali karena Wyne jadi banyak bicara padanya. “Wyn..” ucapnya setelah beberapa menit tidak ada suara di antara mereka. “Apa lagi?” “Nanti baksonya tiupin ya..” “Kamu betul-betul anak manja ya, Gentala! Iya! Nanti aku tiupin dan jangan panggil aku begitu.” “Kamu jangan sama kaya Tavi dong, yang manja itu Tavi, bukan aku.” “Gentala?” tanya Shakka pada putranya yang sepanjang hari melamun. Bahkan saat Shakka sendiri yang menjemputnya ke sekolah, anak ini tetap tampak kecewa. “Kita ngapain ke rumah Tavi, Pa?” tanya Gentala menyadari kemana Papa membawa mobilnya. “Tante Icin kangen kamu katanya.” Tapi aku kangen Wyne. Ucap Gentala membatin. Di hari ulang tahunnya ia memakan masakan Tante Icin, bertemu dengan Tavi, Om Ilham dan yang lainnya. Keluarga mereka memang sudah seperti saudara bagi Gentala dan Papa. Hanya saja ia tidak begitu menikmatinya. Tidak lagi. >>>  “Kamu yakin ga mau baca?” tanya Tavi pada Jeje yang melamun. “Engga.” Keduanya sedang duduk di pojok yang jauh dari jangkauan orang tua. Tavi melanjutkan membaca cerita sedangkan Gentala berharap Papa kembali sibuk saja. Ia tidak bisa kemana-mana kalau ada Papa di sini. Menoleh pada Tavisha, Gentala mendengus. “Cepat dong bacanya.. aku terlalu sibuk untuk pulang ke rumah kamu setiap hari supaya kamu bisa baca. Kamu bisa baca ga sih?” “Bisa lah!” “Kamu udah cari tau soal Wyne belum?” tanya Gentala berbaring dengan ranselnya dijadikan bantal sedang kakinya disandarkan pada dinding di samping kepala Tavi. “Tante Wyne teman Ibu tapi kami cuma pernah ketemu di mall. Jarang banget pokoknya. Tante Wyne punya anak perempuan seumuran kamu tapi udah meninggal.” “Itu aku tau, yang lain? Siapa pacarnya atau sesuatu seperti itu?” “Mana aku tau.” Sedang di tempat yang lain, Shakka merasa tubuh bahkan tulangnya lemas seketika mendengar bahwa putranya mendatangi Bella dan bertanya apakah wanita itu adalah mamanya. Shakka tidak punya cara untuk membuat Gentala mengetahui siapa Mamanya karena apapun cara yang mungkin pasti akan membuat dirinya terlibat sedang dia sudah berjanji untuk tidak masuk ke dalam hidup wanita itu lagi. “Lo tega, Kka?” “Gentala sudah baik-baik saja, Cin. Lo bisa lihat sendiri, ‘kan? Mama memang cerita kalau anak gue jadi murung selama dua hari tapi sejak Abid selalu mengajaknya kemana pun si bungsu itu pergi, Gentala menjadi baik-baik saja.” Sebut Shakka pengecut, sebut dia tidak punya perasaan tapi semua ini demi perasaan wanita itu yang ingin ia jaga. Selama mengenal Wyne, Shakka tidak pernah peduli pada perasaan wanita itu. Dan jika kesempatan yang Wyne berikan padanya untuk peduli hanya dengan keluar dari hidup wanita itu, Shakka akan melakukannya. Walaupun itu artinya ia harus membuat darah dagingnya sendiri tidak pernah mengenal wanita itu. >>>  “Sepi, ya, Wyn.” “Ngga ah biasa aja.” “Gue pengen beliin anak itu hadiah ulang tahun,” ucap June lagi meskipun ia tau bahwa tiap respon yang akan keluar dari mulut adiknya pasti akan bernada ketus. “Udah cukup kali main-mainnya, anak itu udah ga bakal kemari lagi karena gue udah kasih tanda tangan yang dia mau. Selain itu Bapaknya udah pulang dan elo, lebih baik lo cari duit aja.” June merebahkan tubuhnya ke samping sehingga tubuh bagian kirinya berada di atas sofa. “Iya sih, besok gue mulai kerja lagi.” Wanita itu meninggalkan Abangnya yang sedang dalam mode melow begitu saja kemudian masuk ke dalam kamar. Ia tidak bisa berlama-lama di dekat June atau si bodoh itu akan mengetahui apa yang ia sembunyikan. Jujur, Wyne juga merasa sedikit sepi. Beberapa minggu terakhir selalu ada suara bocah itu di rumah ini. Baru sehari Gentala tidak mengunjungi mereka rasanya sudah berat. Membayangkan hari-hari berikutnya tanpa anak itu rasanya membuat dadanya sesak. Kemaren saat membawa Gentala pada Amel, Wyne sudah melakukan kesalahan besar. Perasaannya begitu kacau antara menyesalkan kenapa Amel tidak bisa memiliki waktu selama Gentala di dunia ini; mengapa ia membiarkan Gentala mengetahui banyak hal tentangnya; atau menyesalkan kenapa diam-diam ia menginginkan Gentala untuk terus bersamanya. Saat Gentala memeluknya dengan kedua tangan kecil bocah itu ketika Wyne menangis di depan makam putrinya, saat itulah Wyne merasa ia tidak akan bisa bertahan tanpa bocah itu. Namun Wyne sadar Gentala bukan miliknya. Mungkin Gentala singgah sebentar untuk membuat Wyne merasa hidup kembali. Sekedar mengingatkannya bagaimana rasanya menghadapi bocah yang begitu cerewet. Sama seperti Amel yang beberapa menit sekali pasti selalu mengajaknya bicara meski kalimatnya tidak semuanya bisa Wyne pahami. “Wyn..” Wyne masih ingat bagaimana cara Amel menyita perhatiannya. Gentala mengingatkan Wyne pada gadis kesayangannya itu. “Selamat ulang tahun, Sayang,” bisik Wyne dalam ruangan tanpa penerangan itu.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD