“Apa-apaan ini?” tanya Gentala saat mengetahui buku yang Om berikan padanya, sembilan puluh persennya lengket. Hanya beberapa lembar bagian belakang saja yang bisa ia bolak balik halamannya dan juga dibaca.
Abid dari balik kemudi tersenyum geli. Semalaman tau ia bekerja dengan Shakka. Abid sampai membuka gallery pribadi milik Bang Shakka untuk meminjam kuas dan mengoleskan lem pada semua halaman buku terutama yang berisi adegan ciuman dan adegan ranjang. Kakak ipar memang benar-benar merepotkan. Kenapa pula dia bisa berakhir dengan pria yang ia abadikan dengan teman baiknya di dalam tulisan? Menggelikan sekali. Hampir empat ratus halaman yang Abid olesi dengan lem semalam. Pokoknya jika sudah ada tanda-tanda di mana Shakka memepet Bella baik di tempat umum atau di tempat sepi, Abid langsung beraksi sehingga sampai kapanpun dan dengan cara apapun, Gentala tidak akan pernah bisa membacanya. Beruntung juga Abang sudah menyelesaikan masalah PDF Shakka yang bertebaran di dunia maya sejak awal bahkan sebelum ia dan Kakak ipar memiliki Gentala.
“Om Nyebelin!”
“Tolong sampein kata itu untuk diri kamu sendiri, Gentala. Kalau bukan anaknya Bang Shakka, kamu sudah Om lempar ke jalanan.”
Pertama-tama, Abid memastikan ia dan ponakan keras kepalanya ini menjauh dari rumah. Perkara masuk atau tidaknya Gentala hari ini tidak terlalu penting karena tugas utamanya hari ini adalah memastikan Gentala berhenti berharap Bella adalah Mamanya.
“Kenapa nama aku ga ada disini?”
Abid memutar bola matanya bosan. Gentala sudah tidak bisa membedakan mana realita dan mana fiktif. Bang Shakka saja tidak bisa mengangkat wajahnya selama dua bulan di depan Papa dan Mama saat buku itu viral tapi anak Abang malah ingin berada di dalam buku tersebut.
“Lihat? Shakka menikah dengan Bella.”
“Kamu ga mau sekolah?”
“Ga, sampai Om jawab semua pertanyaanku.”
“Karena buku ini karangan manusia. Mengerti Gentala? Semua yang ada dibuku ini ga bener-”
“-Shakka dan Bella adalah manusia asli.”
Abid sudah membuka mulutnya namun kata-kata tersangkut di pangkal lidah karena ponselnya berdering. Panjang umur si biang kerok, ucapnya membatin. “Ya, Bang?”
“Sudah jam berapa ini Abid? Kenapa Gentala masih belum berada di sekolah? Apa yang kalian lakukan di pinggir jalan raya?”
“Ban mobil gue bocor. Sudah dulu, gue sibuk.” Saat kembali pada ponakannya, Abid mendapati Gentala sedang berpikir keras. Tidak cocok sekali dengan wajahnya yang menyebalkan itu. “Jangan berpikir untuk menemui Bella lagi, Gentala. Berapa orang lagi yang harus ngasih tau kamu kalau Bella bukan Mama?”
Oh, mata itu kembali melotot. Anak kebanggan Bang Shakka ternyata adalah anak nakal yang tidak ada hormatnya pada orang tua. “Oke, apa pertanyaan kamu yang lain?”
“Kenapa bukan Bella?”
“Kenapa pertanyaan kamu masih tentang Bella? Dengar, ini sudah seminggu berlalu sejak kamu meminjam buku dari Kakek Feri. Minjam buku ini ga gratis, Gentala. Kapan kamu akan menemui penulisnya untuk minta yang Kakek mau?”
“Aku ga akan kasih yang Kakek itu mau.”
“God! Kamu munafik juga ternyata.”
“Om! Ngatain aku munafik itu kasar banget tau,” ucap Gentala tidak terima.
Melemparkan punggungnya ke jok mobil, Abid benar-benar ingin mengibarkan bendera putih. Bukan kah anak ini ingin mencari Mamanya? Apa sekarang anak ini justru ingin mencarikan Papanya istri?
“Bella belum menikah, loh,” gumam Gentala yang sayangnya bisa didengar dengan jelas oleh Om nya.
“Urusannya sama kamu? Papa kamu ga suka sama Bella, asal kamu tau.”
“Aku suka.”
“Kamu aja yang nikah sama Bella.”
“Gila,” dengus Gentala dan memandang tajam adik Papanya.
>>>
“Baru kemaren Abi tanyain kamu sama Icin, Bel.”
Sejak istrinya meninggal, Malik hidup berdua saja dengan putranya. Lalu sejak mendapat surat panggilan di hari pertama Masa Orientasi Siswa, pelan-pelan rumahnya mulai ramai dengan teman-temannya Ilham. Memang banyak mahasiswa yang menginap tapi kebanyakan dari mereka menginap untuk urusan kampus. Tidak seperti teman-teman Ilham yang datang hanya untuk minta makan malam atau minta jajan. Tidak ada mahasiswanya yang berani mendatangi Malik hanya untuk minta jajan (Galih contohnya) apalagi yang datang mengungsi karena bertengkar dengan salah satu anggota keluarga (Shakka contohnya). Tapi bukan berati Malik membenarkan jika seseorang bertengkar dengan orang tuanya juga.
Beberapa tahun kemudian putranya yang masih berkuliah mengaku ingin menikahi seseorang. Seseorang yang sekarang adalah menantu kesayangannya. Siapa sangka Icin justru membawa lebih banyak anak untuk Malik dari pada Ilham. Bella salah satunya.
“Tumben Abi kangen,” kekeh Bella setelah menyalami mertuanya Icin.
“Bukan kangen,” kekeh Malik. Bisa gawat kalau ia mengaku kangen dan Icin dengar. Menantunya itu tipe yang posesif sekali. Bahkan jika Ilham lebih dulu mengetahui kondisi kesehatannya, Icin akan merajuk.
“Tapi takut dimarahin Icin ya,” ejek Bella. Bukan bermaksud kurang ajar. Tapi Abi Malik adalah satu-satunya mertua takut menantu yang Bella kenal. Padahal yang selama ini diketahui masyarakat Indonesia hanya tipe suami takut istri.
“Abi ketemu Owen bulan lalu.”
“Bella udah ga sama Owen kali, Bi,” ucap Icin yang baru pulang dari pasar. Jangan bandingkan penampilan Icin yang ibu rumah tangga dengan Bella yang super star. Tolong jangan. Tentu Bella kelihatan lebih cantik darinya. Beruntung bagi Ilham, Icin lah yang paling cantik meski dalam keadaan bagaimanapun.
Bella menjentikkan jari kemudian mengulurkan jempol dan telunjuknya yang membentuk simbol hati pada Icin sebelum kembali pada Abi Malik. “Abi yang update dong,” ucapnya kemudian mengikuti Icin ke arah dapur.
“Lo ga pernah mau angkat telfon gue ya, Cin,” ucap Bella setelah menyambar jeruk dari keranjang buah yang ada di meja makan.
“Lo tau laki gue, Bel.”
Oh tentu saja Bella tau. Jika Icin sibuk dengan Eswe maka jatah jajan temannya ini akan dipotong.
“Jadi apa yang ga bisa lo ceritain lewat chat itu?” cibir Icin.
“Gentala.”
Icin mematung.
“Duduk, Cin. Gue cerita.” Bella tau bahwa Icin sangat menyayangi Gentala layaknya putra sendiri. Temannya ini juga tidak bisa menyembunyikan raut gelisahnya saat untuk pertama kalinya Bella menyebut nama anaknya Shakka dengan mulutnya sendiri. Bukan berarti tidak pernah membahas Gentala, hanya saja Bella tidak pernah memulai membahas anaknya Shakka tersebut.
>>>
“Om lagi?” tanya Gentala melihat Om sudah berdiri bersandar pada mobilnya. Padahal Gentala sudah meminta agar yang menjemputnya hari ini supir saja.
“Tentu saja,” dengus Abid tak kalah ketus. “Dengar ya, Gentala. Om akan menikah. Om ga bisa diganggu-ganggu kalau nanti Tante Fira sudah jadi istri Om. Makanya ayo kita selesaikan urusan kamu. Terserah kapan kamu mau mengembalikan Shakka tapi hari ini kita harus meminta tanda tangan untuk Kakek Feri.” Abid mengelus dadanya karena Gentala masuk ke dalam mobil saat ia belum selesai bicara sama sekali.
“Aku ga tau siapa penulis Shakka.”
“Om sudah cari tau alamatnya.”
Begitu saja obrolan sepasang Om dan ponakan itu sampai mereka sampai di depan rumah yang tampak kosong. Lampu beranda rumah itu menyala padahal ini siang. “Om yakin ini rumahnya?”
“Yakin.”
Gentala meraih ranselnya yang tergeletak di dekat kaki, mengambil Shakka untuk kemudian diulurkan pada Om Abid.
“Kamu nyuruh Om yang minta? Kamu durhaka tau ga? Om ini adik kandung Papa kamu, yang artinya Om juga bapak kamu.”
Mendengar omelan Om barusan, Gentala turun dengan mulut yang dibuat monyong. Tidak bicara apapun pada adik Papanya itu dan berjalan takut-takut pada rumah yang Om tunjukkan.
Anak itu sudah mengetuk satu kali, dua kali bahkan sampai berkali-kali tapi tidak mendapat sahutan apapun dari dalam seolah rumah itu benar-benar tidak ada penghuninya. Makanya Gentala berbalik menuju Om Abid namun ia malah mendapat kalimat yang sama dengan yang sebelumnya. Om Sibuk, begitu ucap beliau dan Gentala tidak punya alasan untuk tidak kembali ke depan pintu tersebut. Kembali mengetuk tapi kali ini dengan menggunakan buku yang ada di tangannya.
“Rusak dooong bukunyaaa….” Ucap Abid dari dalam mobil. Kenyang pokoknya Abid menghadapi Gentala sejak anak itu bertemu dengan Bella.
“Cerewet,” gumam Gentala kemudian menggedor dengan bar-bar. Ia hampir saja menendang pintu tersebut tapi gerakannya berhenti begitu menyadari tuas pintu bergerak. Untuk pertama kalinya Gentala tidak ingin berkedip. Melihat wanita ini, Gentala merasa ia sedang melihat Papanya.
“Aku.. ga boleh masuk?” tanya Gentala setelah Tante di depannya ini hanya menatapnya lama. Meski begitu, bocah tersebut suka dengan bagaimana Tante ini menatapnya. Bukan jawaban yang anak kesayangan Shakka itu dapat melainkan hempasan pintu. Melihat ke belakang, ia sudah tidak menemukan Om Abidnya lagi.