“Hai Jagoan,” ucap Shakka pada putranya dan putri Icin yang baru pulang setelah empat puluh lima menit menghilang dengan alasan membeli ice cream. Shakka sengaja tidak mencari Gentala karena ia mengetahi bahwa Gentala memang berada di tempat yang anak-anak ini janjikan sejak awal. Shakka mengetahuinya dari smart watch yang selalu bersama putranya. Sama seperti ia yang butuh bicara berdua saja dengan Ilham atau terkadang Icin, Shakka pikir Gentala juga butuh waktu berdua saja dengan teman terdekatnya. Teman yang paling bisa mengerti dirinya.
“Halo, Papa.” Gentala mendekati sang Papa kemudian menempatkan telapak tangan kecilnya di dalam telapak tangan Papa. Menatap Tante Icin dengan senyum lebar, anak itu mengucapkan pamit. “Makasih untuk hari ini Tavi. Jumpa lagi lusa.”
“Jeje kenapa murung begitu?” tuntut Icin pada putrinya. “Jeje ga hampir ketabrak mobil gara-gara kamu, ‘kan, Tavisha?”
“Engga lah, Ibu. Jeje emang ga boleh sedih?” tanya Tavi yang bisa merasakan kenapa temannya sedih. Tavi tidak pernah menyembunyikan apapun dari Ibu tapi kali ini ia harus. Jeje jarang sekali meminta sesuatu padanya makanya Tavi tidak akan ingkar janji.
Icin memungut foto Bella yang putrinya curi darinya kemudian tersenyum geli. Apa anak-anak ini pikir mereka bisa mengerjakan sesuatu tanpa sepengetahuan orang tua?
Istri sah dan satu-satunya dari Ilham Bentrand menatap tamunya dengan kedua mata memicing dan kedua tangan menunjuk sang tamu curiga. Sudah beberapa hari sejak Shakka pulang tapi dia tidak menunjukkan tampangnya sama sekali pada Icin. Sedang Shakka yang tau apa arti tatapann juga telunjuk yang terancung padanya itu mengendikkan bahu acuh tak acuh. “Lo bukan istri gue,” ucapnya sebelum Icin sempat mengeluarkan sepatah katapun.
“Hari ini lo masak apa, Cin? Anak gue mana ya, Cin?”
“Lo bukan suami gue jadi ga ada tuh ya lo yang makan masakan gue,” ucap Icin ketus. Namun begitu tangannya tanpa sadar meraih piring dan mengambilkan teman Ilham yang juga teman baiknya sepiring makan siang.
“Thanks, tapi kenapa ngeliatnya gitu banget ya?” tanya Shakka saat istri sahabatnya ini menarik kursi untuk duduk dan menatapnya dengan cara tidak biasa.
“Makan dulu, nanti kita bicara,” ucap Icin sebelum mengetuk-ngetukkan meja, menunggu Shakka selesai dengan makan siang gratisnya. Andai orang di luar sana tau bahwa pewaris tahta Padmaja justru sering minta makan pada keluarganya, mereka pasti akan meragukan kekayaan Shakka seperti Icin.
“Lo tau kalo Gentala sedang nyelidikin Bella? Anak lo sedang nyari tau siapa Mamanya, Shakkampret!”
Dada Shakka panas karena makanan yang salah masuk. Pria itu terbatuk keras dan segera mengambil gelas serta menuangkan air. “Tadi lo bilang makan dulu baru lo mau ngomong, Cin!” keluh Shakka setelah menandaskan segelas air putih.
“Oke, makan dulu aja.”
“Lo pikir sekarang gue masih bisa makan?” decaknya kesal. Mendorong piringnya ke depan, Shakka kini paham apa arti tawa Abid beberapa hari belakangan. Adiknya itu tertawa seperti orang gila bukan karena ia akan menikah tapi karena dia mengetahui apa yang tidak Shakka ketahui. “Kenapa anak gue bisa tau soal Bella?”
“Anak lo sama anak gue baca novelnya-”
“-Lo gila lo ya,” sentak Shakka. Bagaimana mungkin Icin membiarkan anak-anak mereka membaca sesuaru yang belum pantas untuk umur mereka? Istrinya Ilham ini memang keterlaluan kalau soal novel. “Abinya Ilham udah bilangin berkali-kali supaya lo buang buku-buku bodoh lo itu, ‘kan, Cin?”
“Bukan Shakka yang itu, oke? Lo yang tenang dong. Lagian bukunya juga tinggal separoh yang ada sama gue. Masa lo pikir gue diam saat tau anak gue baca apa aja yang udah lo lakuin sama Bella?” cibir Icin.
“Apa lo bilang?” tanya Shakka tidak suka.
“Kenapa?” tanya Icin mengulum senyumnya. “Lo mau diingetin apa aja yang udah lo lakuin sama Bella sampai lo punya-”
“Punya apa?” tanya Shakka denga nada penuh peringatan.
Icin berdeham. Pokoknya ia sudah memberitahu apa yang pastinya tidak diketahui oleh Shakka si Papa sempurnya nya Gentala. Dari pada mereka kembali membahas novel, kenapa mereka, sebagai dua orang dewasa dan terlebih sebagai orang tua tidak membahas soal Gentala yang ingin menemukan mamanya? Tanya Icin. Hanya saja ia tidak mendapat jawaban sampai Gentala dan Tavisha muncul dan pada akhirnya sepasang ayah dan anak itu pulang.
“Tavi! Makin hari kamu makin ga jelas ya mainannya. Ini foto Tante Bella kenapa bisa digunting-gunting begini? Sempat dia tau kamu ga dapat angpau lagi tau!” teriak Icin menggelegar. Berpura-pura marah pada putrinya. tapi dalam hati Icin justru berkata lain. Memangnya apa yang bisa Shakka lakukan untuk menghentikan Gentala? Kalau ada satu orang saja yang benar-benar pria itu cintai dan sayangi ya putranya itu. Jadi, ya, selamat Shakka. Gentala membantumu membuka pintu untuk bertemu dengan Mamanya lagi. Urusan yang belum selesai, pasti akan menuntut penyelesaikan walaupun bertahun-tahun telah berlalu. Icin hanya berharap penyelesaiannya berupa pernikahan sehingga pada akhirnya Bella juga bisa bahagia.
“A- apa, Bu?” tanya Tavisha denga napas memburu karena ia berlari dengan sekuat tenaga pada Ibunya. Suara ibu bisa terdengar sampai ke rumah tetangga sebetulnya dan itu berarti Tavi bisa mendengar semua perkataan beliau. Tavi hanya butuh konfirmasi bahwa ia menjatuhkan barang bukti.
“Ini!”
Glek. Pantas saja Tavi merasa ada foto juga sobekan majalah yang hilang. Ia pikir jatuh di jalan tidak taunya jatuh di tangan Ibu.
“Simpan,” ucap Icin kemudian menyempatkan mengomel bahwa Bella tidak akan senang jika mengetahi wajahnya yang sudah dirias itu dipotong kemudian dilipat-lipat. Sedang di balik punggung putrinya itu, Icin justru tersenyum lebar.
>>>
Bayinya Shakka, bayi sembilan tahun maksudnya, bergelantung di leher sang Papa sedang kedua kakinya melingkari tubuhnya dari belakang. Ayah dan anak itu sedang menatap wajah satu sama lain di cermin wastafel dan keduanya sedang menggosok gigi sebelum tidur. Setelah selesai menggosok gigi dan berkumur-kumur, Shakka menunduk di depan wastafel untuk mencuci wajahnya sesuai perintah Gentala karena anak ini katanya tidak mau Mama marah-marah saat tau Papa kembali berjerawat. Kata Mama, Papa jelek kalau berjerawat dan Gentala setuju dengannya.
“Belum tuh, Pa. Masih ada sabunnya,” ucap Gentala sambil mengeratkan pegangan di leher Papa. Tadi selama gosok gigi Papa memegangi pantatnya dengan sebelah tangan tapi sekarang ia harus bergelantungan. Bocah itu kemudian tertawa saat Papa mengarahkan tangann sehingga air yang ada di telapak tangan beliau mengenai wajahnya. Gentala sama sekali tidak terlihat seperti siang ini saat Papa menjemputnya. Meskipun putranya kembali ceria dengan cepat, Shakka menyadari ada yang aneh karena Gentala selalu menempel padanya sejak pulang sekolah.
“Kamu tidur sama Papa atau tidur sendiri?”
“Sama Papa. Di kamar Papa.”
“Oke, ayo tidur.”
Empuknya ranjang pertama kali mengenai punggungnya ketika Papa meletakkan Gentala kemudian menyelimutinya. Tidak lama kemudian Papa juga bergabung di dalam selimut bersamanya. Memang sudah waktunya mereka untuk tidur meskipun besok adalah akhir pekan yang artinya Gentala tidak harus ke sekolah dan Papa juga tidak perlu ke kantor.
“Kamar Papa adalah tempat paling dingin di rumah ini.”
“Makanya Papa nyelimutin kamu sampe leher. Nenek bisa marah kalau cucu kesayangannya masuk angin gara-gara Papa.” Sebagai balasan dari kalimatnya, Shakka mendapatkan kecupan di pipinya. Juga kalimat yang tidak pernah berhenti memberikan efek hangat di d**a. “Aku sayang, Papa.”
“Ya harus dong, kalo kamu ga sayang sama Papa. Siapa lagi yang sayang?” kekeh sang pria pada anaknya.
“Aku bisa kok hidup berdua sama Papa selamanya.”
Tapi Shakka tau bahwa putranya tetap akan menemui mamanya. Shakka sudah menunggu Gentala menanyakan Mamanya sejak beberapa tahun belakangan ini tapi putranya itu tidak sekalipun bertanya. Shakka memilih untuk menempuh jalan yang berbeda dengan mamanya. Jika dulu Mama membuat ia dan Key tidak mengenal kata Papa. Ia tidak ingin memutuskan sesuatu untuk putranya hanya karena ia pikir hal itu adalah yang terbaik.
Perihal tadi siang, Shakka bukannya tidak punya jawaban untuk pertanyaan Icin mengenai Gentala yang ingin menemukan Mamanya. Jujur saja, Shakka tidak menemukan sesuatu yang jelek apalagi memalukan pada Mamanya Gentala sehingga lebih baik putranya tidak mengenal wanita itu sama sekali. Hanya saja ia terlanjur berjanji untuk keluar dari hidup wanita itu. Sepuluh tahun yang lalu saat Shakka berjalan memunggunginya, ia berjanji untuk tidak lagi mencampuri hidup masing-masing. Dan sampai sekarang Shakka berpegang teguh pada janjinya padahal mudah saja untuk mengetahui semua tentang wanita itu melalui ponsel ataupun laptop miliknya.
Terima kasih, Wyne, untuk bukunya, ucap Shakka sambil menatap wajah putranya yang sudah tertidur pulas. Malam ini adalah pertama kalinya Shakka bersyukur dengan keberadaan buku itu.