Kevin memarkirkan mobilnya di parkiran apartemannya, ia menyandarkan kepalanya, memijit pelipis.
Kita cerai saja kak, aku ikhlaskan kamu untuk Zahra, tak perlu takut soal investasi dan saham, papa akan terus menyokongmu.
"Arrrrrghhh!!" Kevin menjambak rambutnya, kepalanya sangat pusing.
Ucapan Gia terus berputar di kepalanya seperti kaset rusak. Bukankah Kevin harusnya senang? Inikan yang Kevin mau? Tapi kenapa ia tidak rela begini? Kevin menaruh kepalanya di stir mobil saat tiba-tiba ponselnya berbunyi, satu notif pesan masuk.
Zahra
Aku pulang, aku kangen mama mungkin semingguan aku di sana.
Kenapa disaat seperti ini Zahra justru pergi, perasaan Kevin kian memburuk. Ia memutar kembali mobilnya melaju menembus jalanan ibu kota yang macet.
Suara dentuman musik yang begitu keras memekakkan telinga. Kevin duduk di depan meja bar, menenggak minumannya. Hal itu membuat Kevin limbung karena kebanyakan minum.
"Lo gak boleh pergi Gia, lo cuma punya gue." Kevin terus meracau. "Lo itu mainan gue!!" teriak Kevin, membuat orang-orang menatapnya. "Gue gak bakal lepasin lo!" Kevin kembali menenggak habis botol di tangannya.
_____
Dua hari berlalu, Gia duduk di atas ranjang rumah sakit, menatap hampa ke depan.
"Kamu sudah siap?" tanya Adam saat pria itu berjalan masuk. Gia mengangguk. "Kamu yakin gak mau laporin suami kamu?" tanya Adam memastikan kembali. Adam membantu Gia untuk duduk di kursi roda.
"Gak, bagaimana pun dia suamiku Dam," jawab Gia, suaranya datar wajahnya pucat meski ia sudah sehat tapi hatinya belum sepenuhnya sehat.
"Gia, apapun yang terjadi gue akan tetep lindungi lo," kata Adam, lalu mendorong kursi roda Gia keluar dari ruangan.
Gia memilih diam, tak menyahut dan perjalanan pulang pun begitu hening. Keduanya saling diam dengan pikiran masing-masing.
Entah apa yang Gia sesali, pernikahannya atau keputusannya bercerai. Ia tak ingin terus jadi momok mengerikan untuk Kevin, ia tak ingin Kevin jadi monster mengerikan. Jika bersama Zahra dia akan jadi pria baik, Gia ikhlas apa pun akan ia lakukan meski itu artinya Gia harus merelakan Kevin.
Cinta memang buta, sebuta hatinya yang terus menyangkal perbuatan buruk Kevin. Gia tak tahu mengapa hatinya terus memaafkan perbuatan Kevin yang menyakitinya, bahkan sedetik pun ia tak bisa membenci Kevin.
Apa cinta semengerikan itu?
"Gia," panggil Adam menepuk bahu Gia.
"Eh," Gia spontan menoleh, terkejut karena tepukan di bahunya.
"Sudah sampai," kata Adam, pria itu turun mengambil tas Gia yang ada di bagasi.
Sedangkan Gia menatap lurus ke depan, apa aku selama itu memikirkannya sampai tak sadar sudah tiba di rumah? Gia menghela napasnya lelah, ia turun dan berjalan masuk.
"Kamu langsung pulang?" tanya Gia saat Adam meletakkan tasnya di sofa kamar Gia.
"Ya, pasienku banyak hari ini," jawab Adam, dia berjalan menghampiri Gia yang duduk di tepi ranjang.
"Minum obatnya, jaga kesehatan kamu." Adam mengecup kening Gia, lalu mengacak-ngacak rambutnya.
"Huh, kebiasaan." Gia mendengus dan disahuti kekehan Adam sebelum akhirnya pria itu pergi.
Maaf Dam.
Seandainya cinta tidak buta mungkin Gia akan lebih memilih bersama Adam, pria itu baik sejak mereka masih SMA. Dia selalu melindungi Gia, disaat Gia berharap orang itu Kevin, tapi justru Adam yang selalu ada untuknya. Adam juga menerima Gia dengan segala kekurangannya. Sedangkan Kevin?
air mata Gia langsung menetes saat ingatan tentang Kevin terngiang-ngiang di pikirannya. "Kamu jahat kak," gumam Gia, menyeka air matanya.
Kamu suka? Gia mengangguk satu bungkus coklat dan setangkai mawar di hari valentine. Bel masuk berbunyi. Gia mendesah pelan padahal ia belum sempat memberikan coklat kepada Kevin tapi cowok itu sudah pergi.
Saat bel istirahat berbunyi Gia segera melesat menuju kelas Kevin, dengan sekotak coklat. Tapi kelas Kevin sudah kosong, ia pun berjalan lemas dan menuju toilet yang ada di ujung. Toilet yang jarang sekali digunakan dan di sanalah tempat yang pas untuk menangis.
Gia memang cengeng, apalagi jika menyangkut Kevin. Saat Gia masuk sayup-sayup terdengar desahan dari dalam bilik toilet.
Gia terdiam saat tahu suara siapa itu dan erangan itu Gia hafal betul.
"Vin, kalo Gia tahu gimana?" Gia tercekat saat mendengar penuturan itu, ia hanya diam di ambang pintu.
"Gak usah pikirin dia, gue muak sama dia. Bokap gue maksa terus buat deketin dia, tapi dia bukan tipe gue, gue sayangnya sama lo."
Bagai disambar petir, Gia tak mampu bereaksi apa pun. Gia hanya melongo seperti orang bodoh. Menyaksikan perselingkuhan itu, meski Kevin tak pernah mengikrarkan status mereka bukankah sudah jelas dengan perjodohan itu.
Gia mengusap wajahnya, ia tersenyum getir. Meratapi kisah cintanya yang begitu miris.
_____
Gia mematikan lampu kamarnya, bersiap untuk tidur namun belum sempat ia memejamkan mata, bunyi ponselnya membuat ia kembali bangun.
Gia mengambil ponselnya di nakas, dan menatap heran pada layar ponselnya.
Kak kevin?
Ngapain dia telepon? Cukup gia, kamu gak boleh lunak. Gia menaruh kembali ponselnya, Gia merebahkan dirinya di ranjang.
Empat kali deringan ponsel itu Gia abaikan dan ini yang ke lima, membuat Gia bangun dengan kesal. "Mau apa lagi sih?" gerutu Gia, ia mengangkat telepon Kevin.
" Halo, mau apa la-----" Gia langsung mengatupkan bibirnya saat suara dari sebrang sana terdengar panik.
"Alamatnya di mana?" tanya Gista "Baik saya segera ke sana, tolong tenangin dia dulu." Gia menutup sambungan telepon, ia mengambil cardigan panjangnya lalu bergegas keluar.
Gia melajukan mobilnya di tengah malam, menuju ke club Star yang tak begitu jauh dari rumahnya.
"Bodoh, apa yang lo lakuin si kak?" gerutu Gia sepanjang jalan, ia terus melajukan mobilnya dengan kecepatan penuh.
Hingga akhirnya mobil Gia mulai memasuki parkiran club. Ia turun dan langsung masuk, mengabaika orang-orang yang menatapnya heran. Pasalnya Gia masih mengenakan gaun tidur satin dan berbalutkan cardigan panjang di luar.
"Kak kevin," panggil Gia.
"Lo, akhirnya dateng!" seru Kevin, pria itu sempoyongan dan berjalan menghampiri G
ia.
"Kak lo mabuk?" tanya Gia saat Kevin terjatuh di bahunya, pria itu sudah teler. Gia langsung membawanya pergi, ia sudah tak tahan berada di sana.
Mobil Gia memasuki area pekarangan rumahnya, ia turun dan membuka pintu sampingnya. Merangkul Kevin yang sudah tak sadarkan diri, susah payah Gia membawa pria itu.
Gia merebahkan Kevin di kamar tamu, ia sudah akan beranjak saat Kevin justru merengkuh pinggangnya. Membuat Gia terjatuh di atas d**a bidang Kevin.
Gia mengerjapkan matanya, ia mencoba melepaskan diri namun Kevin semakin mempererat pelukannya.
"Gue sayang lo, Gia." Gia tercekat, tubuhnya mematung saat mendengar ucapan Kevin. Pria itu terkekeh geli. "Tapi boong."
Gia mendengus, harusnya sudah ia duga. Mana mungkin Kevin mencintainya, hanya ada Zahra di hati pria itu.
"Tapi, gue gak suka lo deket sama Adam sialan itu!" Kevin kembali meracau, Gia mengernyit bingung. "Gue gak suka mainan gue direbut orang lain!" ucap Kevin.
Gia geram mendengarnya, ia mendorong d**a Kevin. Tapi bukannya terlepas Kevin justru membalik badannya. Gia memekik saat tubuhnya dibalik menjadi di bawah Kevin.
"Kak Kevin!" hardik Gia.
"Apa?" Kevin terkekeh, pria itu benar-benar diambang kesadaran. "Sssssssuuuuutt!" Kevin meletakkan telunjuknya di bibir Gia saat Gia akan kembali mengumpat.
"Bawel," bisik Kevin.
Gia menghela napasnya saat Kevin menurunkan tangannya. Namun kembali membuat Gia gelagapan saat tangan itu digantikan bibir Kevin. Bau alkohol yang menyengat.
Gia meronta, tapi Kevin kian memburu. Melumat bibir Gia. Aneh! Entah kenapa Gia merasa lumatan Kevin tak sekasar biasanya, bahkan dia membuat Gia melayang mengabaikan alarm bahaya yang di kirim ke otaknya. Gia menikmati sentuhan Kevin yang begitu lembut membuat tubuhnya lemas dan tak berdaya.