Bintang tak bisa berhenti menahan senyum. Sepanjang jalan pulang dia terus tersenyum. Dia merasa cuaca hari ini begitu indah.
Mungkin lebih tepatnya cuaca hatinya sangat cerah.
Kalau saja bisa diterawang, pasti dalam hatinya sedang tumbuh banyak bunga.
Bintang tidak tahu, kenapa rasanya sangat menyenangkan setelah melihat gadis gugup itu.
Dan yang lebih menyenangkan lagi adalah membuat gadis itu merona karena malu.
Biarlah sekarang dia tahu alasan kenapa gadis itu tidak ada menelponnya.
Bintang bersiul ringan masuk ke rumahnya. Sepertinya dia akan sering main ke Bandung.
***
Aisha :
Huh... akhirnya aku lega. Dia sudah pulang. Apa dokter itu sudah gila ya? Mencariku sampai ke Bandung? Hah tidak bisa dipercaya! Apa dia mau aku kehilangan pekerjaan ini? Dia tidak tahu apa, kalau mencari pekerjaan itu susah.
Tunggu-tunggu... tadi dia bilang dia ingin melihatku? Tapi untuk apa ya? Apa ada sesuatu yang terjadi dengan keluargaku?
Tapi kalau berkaitan dengan keluargaku, ibu pasti langsung nelfon. Gak usah ngerepotin orang apalagi merepotkan dokter Bintang!
Lalu ada masalah apa ya?
Ada 3 kemungkinan menurutku
Pertama, ada yang terjadi dengan keluargaku. Lalu ibu minta tolong kalau dokter Bintang mau ke kota ibu titip pesan untukku. Mau nelfon mungkin ibu gak punya pulsa.
Kedua, Dokter Bintang datang kesini karena kebetulan. Ya, mungkin kenal sama majikanku. Lalu melihat pembantu baru, untuk menilai apa aku layak dan baik atau tidak dalam pekerjaan ini.
Ketiga, atau mungkin dokter Bintang.... emmm... rindu...padaku? Karena sudah 1 bulan aku tidak bertemu dengannya.
Ah, kemungkinan yang ketiga ini sangat mustahil. Mana mungkin orang sekeren dokter Bintang rindu padaku? Aku gak percaya dirilah.
Jadi kemungkinan ini hanya berlaku 2 saja.
Apa aku telfon saja ya? Siapa tahu memang ada yang penting.
Aduh, jantungku deg-degan lagi! Bagaimana ini? Apa tidak usah ya? Tapi... aku takut benar-benar ada yang penting dengan keluargaku.
Baiklah,
1,2,3..
Tuut...
Tuut...
Aduh aku menekan tombolnya!
Aku benar-benar menelponnya!
Oke.
Tenangkan diri..
Tarik nafas.. keluarkan..
"Ya, hallo.. assalamualaikum?"
"Ehm, ha-hallo? Wa'alaikum salam. Dokter ini saya.."
"Ya, saya tahu. Aisha ya? Akhirnya kamu nelfon juga. Apa kabar Aisha?"
"Saya .. b-baik dok. Anu.. itu.. saya .. mau tanya."
"Tanya apa?"
"Tempo hari dokter mencari saya. Apa ada yang terjadi dengan keluarga saya di kampung?"
Aduh, aku benar-benar ngos-ngosan. Deg-degan bukan main!
"Oh itu. Tidak. Aku hanya bercanda. Aku memang kebetulan lewat disana dan melihatmu."
"Oh ya. Syukurlah. Terimakasih dok."
Klik.
Aku buru-buru menutupnya.
Entahlah apa tadi aku gugup karena aku bicara dengannya, atau karena khawatir dengan keluargaku di kampung.
***
2 tahun kemudian...
Disinilah aku.
Di usiaku yang hampir masuk kepala 3, aku masih sendiri.
Dan yang paling cerewet tentu saja ibuku. Dia bilang aku sebagai anak laki-laki satu-satunya belum juga menikah. Aku dua bersaudara. Ayahku sudah kembali pada-Nya saat aku masih kecil. Ibu membesarkan kami seorang diri.
Beliau mengelola restaurant peninggalan ayah di Bandung. Berkat ibu, kami, aku dan kakakku bisa sampai ke titik ini. Kakak perempuanku, Renata Putri Mahendra sekarang sukses menekuni bisnis perhotelan dan perusahaan air mineral bersama suaminya.
Aku sendiri memilih kuliah di kedokteran. Karena aku ingin menolong banyak orang. Aku ingat ayahku yang sakit DBD dan tak terselamatkan. Saat itu aku masih kecil. Aku bertekad suatu saat aku ingin menjadi dokter dan bisa membantu proses penyembuhan orang sakit. Aku membuka klinik di Bandung. Setidaknya ada 4 dokter spesialis yang praktek disana.
Sementara aku sendiri, diangkat PNS dan ditugaskan di kampung halamanku sendiri. Aku juga membuka apotek dan membuka praktek di apotek milikku.
Kakak perempuanku sudah menikah. Ibu berharap ingin segera dapat cucu. Namun sayang, sampai saat ini, kakakku belum punya anak. Makanya ibu terus mendesakku untuk segera menikah.
Aku sendiri tidak tahu. Sejak gagal melamar dulu, aku belum menemukan kembali sosok yang ingin kujadikan pendamping hidup.
Bukan tanpa usaha, ibuku bahkan berkali-kali berusaha menjodohkanku, namun selalu gagal.
Aku tidak tahu. Hanya kebanyakan gadis yang dijodohkan denganku selalu mundur setelah 1 bulan berhubungan denganku. Mereka bilang aku tidak perhatian.
Hah... dasar wanita, mereka menuntutku untuk selalu menelfon, menanyakan kabar, sudah makan atau belum, makanan kesukaannya apa, dan seribu pertanyaan lain yang menurutku hanya... yah... buang waktu saja. Belum jadi istri sudah minta perhatian lebih.
Lalu, bagaimana kalau sudah menikah? Aku kan seorang dokter di desa yang harus siaga setiap saat. Mana ada waktu untuk pacaran ala ABG kayak gitu.
Aku menelpon paling kalau urusan pasien.
Tapi... ngomong-ngomong soal telepon. Aku merindukan suara khas seseorang. Ya, dia. Si gadis gugup yang terakhir kali kami bertemu membuatku terus tersenyum.
Tapi entah kenapa, nomor telepon yang dia pakai sudah tidak aktif. Apa dia baik-baik saja disana? Apa dia masih mengingatku?
Aku pernah bertanya pada pamanku, dr Ilyas. Beliau bilang, Aisha sudah tidak bekerja disana lagi. Katanya sih, Aisha kuliah. Entahlah, aku tidak tahu.
Seharusnya aku senang mendapatkan kabar kalo dia bisa melanjutkan kuliah. Tapi kehilangan kontak seperti ini, membuatku merasa sedikit aneh. Tidak ada lagi semangat untuk pergi ke kampung dimana gadis itu tinggal. Aku hanya datang saat ada yang menjemputku.
Sampai suatu malam saat aku pulang dari praktek, aku sedikit heran, di halaman rumah ibu terparkir mobil asing yang tak ku kenal.
"Assalamualaikum."
Aku mencium tangan ibu sebagaimana biasanya jika aku pulang ke rumah.
Ibu tersenyum penuh arti.
"Wa'alaikum salam warahmatullah... ini dia, akhirnya kamu pulang, nak. Ibu sudah menunggumu dari tadi."
Aku melirik di ruang tamu ada lelaki tua kira-kira seusia dengan ibuku sedang duduk disana.
Dan... gadis! Ya ampun, ini pasti perjodohan lagi.
"Ada apa bu?"
Aku pura-pura tidak tahu.
"Mandilah dulu. Nanti ibu kenalkan kamu dengan seseorang. Ah ibu rasa kamu pasti sudah mengenalnya."
Aku menatap datar ke arah ruang tamu. Benarkah? Tapi aku tidak ingat siapa gadis dan lelaki tua itu.
"Baiklah bu, kalau gitu aku mandi dulu."
Kamarku di lantai 2, jadi aku sedikit leluasa berlama-lama hanya sekedar istirahat sejenak.
Aku memutuskan untuk rebahan di kamarku. Yah... sedikit melepas lelah beberapa menit.
Aku tidak mau jadi anak durhaka. Jadi apapun yang ibuku suruh aku pasti laksanakan.
Aku melirik hp-ku. Ngecek kontak what's upp. Dulu, gadis gugupku itu memasang foto di kontak nya. Jadi aku setiap hari akan melihat fotonya. Sedikit berharap dia akan menghubungiku.
Tapi sekarang yang kulihat hanya kontak WA tanpa foto profil disana.
Hai.. gadis yang selalu gugup! Kamu dimana sekarang? Aku benar-benar merindukanmu!
Mungkin aku gila karena mencintai gadis kecil sepertinya. Usianya jauh dibawah usiaku. Aku juga baru menyadari ternyata aku jatuh cinta padanya. Selalu merindukannya.
"Bintang.. kamu sudah siap?"
Suara ibu menghentikan lamunanku.
"Ah ya bu. Aku turun sekarang."
Setelah mandi aku hanya mengenakan jeans dan kaos oblong. Lebih nyaman kurasa.
"Hallo om.. dan...?"
Aku merasa familiar dengan wajah itu. Siapa dia ya?
"Hai Abin?"
Aku terkejut. Tunggu! Hanya satu orang yang. Memanggilku begitu!
Mungkinkah dia...?