Benar! Itu benar-benar dia!
Ya Tuhan.. kuatkan hatiku. Aku harus bisa menguasai diriku. Memalukan bukan kalo aku masih terlihat gugup seperti dulu? Dan juga.. Dia pasti sudah punya pasangan. Hhh..
"Hai!"
"Oh, ya. Hai!"
Cukup lama kami terdiam. Dia menatapku lama. Aku melihat ada rindu disana. Apa aku salah? Entahlah aku tidak mau terlalu percaya diri.
"Apa kabar Aisha?"
"Saya.. baik. Dokter sendiri bagaimana?"
"Aku juga baik. Kamu tinggal di sekitar sini sekarang?"
"Ya, dok. Saya bekerja di..."
Aku baru saja ingin memberi tahu tempat kerjaku. Namun suara seseorang memotong pembicaraan kami.
"Abin... Aku cari-cari... ternyata disini."
Cantik. Itulah yang kulihat dari gadis yang memanggil dr Bintang dengan panggilan 'Abin'.
Mesra sekali. Mereka pasti punya hubungan khusus. Apalagi panggilan gadis itu terdengar sangat mesra dan dekat. Layaknya sepasang kekasih.
Sungguh serasi! Nyaliku makin ciut. Ada rasa nyeri teramat sangat menusuk hatiku saat ini.
Sadarlah Aisha! Kau bukan siapa-siapa! Ya Tuhan, hentikan rasa sakit ini!
"Oh. Ini, tadi aku melihat Aisha jadi aku kemari. Nah, Aisha kenalkan ini Kania. Kania ini Aisha."
Aku mengulurkan tanganku. Gadis bernama Kania ini menyambut tanganku sambil tersenyum.
"Saya Aisha. Senang bisa berkenalan denganmu."
"Ya, saya Kania. Semoga kita bisa menjadi teman."
Kania tersenyum lagi. Gadis ini sepertinya sangat baik.
"Dokter, Kania, saya permisi dulu."
"Lho, kamu mau kemana? Kita baru bertemu! Kita makan dulu?"
Kania mengangguk setuju dan menatapku.
"Ah, saya sudah makan tadi."
"Tidak apa-apa. Ayo duduk dulu sebentar!"
Mau tidak mau akhirnya aku duduk lagi di cafe itu.
"Aisha, kamu kemana saja? Kenapa nomormu tidak aktif?"
"Ah, itu. Saya ganti nomor, dok."
"O,ya? Kalo begitu, berapa nomormu? Barangkali aku ada perlu denganmu."
Meski ragu, aku memberikan nomor baruku. Aku melirik Kania yang nampak sedikit kesal, tapi beberapa detik kemudian Kania tersenyum ceria lagi.
"Aisha, aku minta nomormu juga ya? Boleh kan?"
"Ah.. i-iya tentu saja boleh."
Tuh kan. Aku mulai gugup lagi. Kenapa tidak, selama kami bertiga duduk, dr Bintang terus menatapku! Dan lihatlah! Senyum mautnya tak pernah lepas dari wajahnya. Apa dia ingin membuatku benar-benar tergila-gila padanya? Tapi sejak kapan dr Bintang seagresif ini?
Ah bukan! Maksudnya kenapa dr Bintang terang-terangan menatapku seperti itu? Biasanya dulu dia hanya mencuri pandang padaku. Setelah ketahuan maka dia secepatnya memalingkan wajah tampannya itu.
Hh.. melihat kecantikan Kania aku tidak mau terlalu percaya diri! Aku yakin pasti ada yang salah dengan wajahku. Mungkin karena aku baru pulang kerja. Wajahku kusut. Jadi dr Bintang menatapku seperti itu. Aku semakin malu. Aku memang sangat merindukannya. Tapi kalau ditatap seperti ini, aku jadi salah tingkah!
Kania sepertinya menyadari dr Bintang yang tak berhenti menatapku.
"Abin, makanannya sudah datang.. ayo dimakan! Nanti keburu dingin! Aisha, ayo makan!" Ucapnya ceria.
Dr Bintang tersenyum, namun matanya tak mau lepas dari wajahku. Ya ampun aku yakin wajahku semakin merah! Aku dapat merasakan pipiku yang memanas.
"Ayo makan... Aku juga lapar! Hanya aku takut saat aku makan seseorang akan pergi dan aku tak bisa melihatnya lagi."
dr Bintang menjawab samar, seakan bicara pada dirinya sendiri.
Dan blush! Jantungku seperti mau copot mendengarnya! Apa itu ditujukan padaku?
Tapi sepertinya Kania tidak mendengar. Dia benar-benar kelihatan lapar sekali. Buktinya dia sangat asyik dengan makanannya. Syukurlah.. jadi Kania tidak akan berpikir yang tidak-tidak.
"Dokter, d-dimakan dulu?" Aku berkata sambil mengambil makananku. Aku tak berani melihatnya.
"Baiklah, ayo!"
Akhirnya dr Bintang mengalihkan matanya.
Sedikit lega.
Tidak ada yang bicara. Hanya suatu dentingan sendok yang terdengar bersahutan.
Selesai makan. Kania yang lebih dulu membuka pembicaraan.
"Aisha, kamu tinggal sekitar sini?"
"Ya, begitulah. Saya tinggal di kontrakan dekat cafe ini. Biar bisa lebih dekat dengan tempat kerja."
"O,ya? Memang tempat kerjamu dimana?"
Kania bertanya penuh minat.
"Di Rumah Sakit Mahendra Medika Utama."
Tiba-tiba dr Bintang terbatuk. Hampir saja menyemburkan isi mulutnya.
Lalu dia menatapku.
"Benarkah? Sejak kapan? Di bagian apa?"
Dr Bintang bertanya seolah tanpa jeda. Bersemangat sekali sih! Kania sedikit mendelik padanya.
"Abin! Satu-satu donk, kan kasihan Aisha jawabnya."
Lalu tanpa merasa bersalah, dr Bintang hanya tersenyum jenaka menatapku. Entah apa yang ada di pikirannya.
"Oh ya, tidak apa-apa. Ya, dibagian pendaftaran saja. Saya kerja sejak saya pindah dari dr Ilyas."
Dr Bintang tertegun. Lalu tersenyum, namun lebih tepatnya senyum sendiri. Seperti baru memahami sesuatu.
***
Bintang Respati Mahendra :
Sepanjang pulang aku tidak bisa menahan senyumku.
Aku yakin Kania yang duduk di sampingku pasti heran. Tapi aku sudah tidak peduli lagi. Otakku sudah penuh dengan sejuta rencana agar aku bisa melihat gadis gugup itu.
Ah, sekarang gadis itu tidak segugup dulu. Mungkin dia sudah dewasa. Tapi rona merah pipinya masih seperti dulu.
"Abin, sebenarnya.. Aisha itu siapa?"
Suara Kania menghentikan lamunanku.
"Ya, kenapa?"
Kania memutar bola matanya.
Baiklah. Sepertinya dia kesal.
"Ehm. Aisha itu dulu adalah cucu dari pasienku saat masih bertugas di desa. Gadis itu yang sering menelponku."
"Apa?? Dia menelponmu? Untuk apa?"
"Ya... untuk urusan pasien dan dokter. Hanya sebatas itu."
Aku mengangkat bahu. Dan aku jadi ketagihan mendengar suara gugupnya. Lanjutku dalam hati.
"Ooh.. begitu rupanya."
"Begitulah."
Akhirnya kami hanya terdiam. Sibuk dengan pemikiran masing-masing. Aku mengantar Kania ke rumahnya.
Om Bambang menitipkan Kania padaku. Beliau sedang ada urusan bisnis ke luar negeri.
Sebetulnya ini sungguh merepotkan. Tapi karena bujukan ibu, akhirnya aku mau.
O ya. Aku berhenti bekerja di Desa. Aku di telpon pamanku dr Ilyas. Dan aku dibantu mengurus surat mutasiku. Dan sampailah aku disini. Di kota Kembang ini. Dimana aku menemukan Aisha disini.
Sebelumnya aku pernah memohon pada dr Ilyas untuk memberi tahu dimana Aisha berada. Tapi beliau sama sekali tidak memberitahuku. Setelah 2 tahun ini, barulah beliau memberi kabar bahwa Aisha sekarang kuliah jurusan ekonomi di salah satu perguruan tinggi swasta di Bandung. Dan dr Ilyas menawariku untuk mutasi ke Bandung. Aku tentu bersemangat dan langsung menerima tawaran beliau.
Aku yakin, tawaran beliau bukan tanpa arti. Pasti ada maksud tertentu. Dr Ilyas bagai ayah bagiku. Dia paling tahu apa yang aku rasakan dan apa yang aku inginkan. Aku juga menduga pertemuanku dengan Aisha ada sangkut pautnya dengan dr Ilyas.
***
Di cafe tempat mereka bertemu. Ada sebuah senyum mengembang dari bibir tua seseorang yang berdiri tak jauh dari cafe itu. Mungkin ini yang terbaik. Semoga ada jalan bagi mereka. Pikir lelaki tua itu.