Setelah menitip kue-kue di kantin seperti biasa, Marwa berjalan ke kelasnya. Semilir angin pagi yang sejuk, membelai-belai kulitnya. Saat mendekati lapangan basket, ia merasa ada sesuatu yang janggal. Biasanya ada suara bola basket yang memantul dan sorak-sorai para siswi yang sudah terdengar dari kejauhan. Namun kali ini lapangan basket tampak lengang.
Haryo tidak main hari ini? gumam Marwa dalam hati. Biasanya Haryo selalu jadi yang pertama di lapangan sebelum bel berbunyi. Tapi kali ini, sosoknya tidak ada di sana.
Marwa menguap lebar. Rasa kantuk masih menyelimutinya. Semalam ia tidur larut karena harus menyelesaikan pesanan kue lebih banyak dari biasanya. Ada pelanggan yang memesan kue-kue basah untuk acara selamatan. Demi melawan kantuk Marwa memutuskan untuk mampir ke toilet sekolah. Ia akan membasuh wajah agar lebih segar.
Baru saja ia bermaksud membuka keran air, sebuah suara memanggilnya.
"Marwa."
Marwa tersentak. Ia buru-buru menoleh.
Haryo. Mimpi apa ia semalam sampai-sampai Haryo mencarinya begini?
Namun ada sesuatu yang aneh. Haryo yang biasanya ramah dan murah senyum saat ini tampak tegang dan muram. Bukan itu saja, Haryo terlihat seperti marah padanya. Apa itu hanya perasaannya saja?
Marwa menelan ludah. Pasti ada sesuatu yang salah. Dengan langkah ragu, Marwa mendekat. Tapi sebelum ia sempat membuka mulut, Haryo sudah lebih dulu bicara.
"Tolong katakan pada ibumu agar jangan dekat-dekat dengan ayahku lagi." Nada suara Haryo dingin, nyaris tanpa emosi.
Marwa membelalakkan mata. Ia terperanjat. "A—apa maksud Kakak?"
Haryo menghela napas, tampak berusaha menahan amarahnya. "Semalam ibuku melihat mereka jalan berduaan. Ibumu juga sering bertemu dengan ayahku di club."
Marwa terkesiap. Ini soal ibunya rupanya.
"Dengar Marwa, aku ini orang yang objektif. Aku tidak pernah ikut-ikutan membullymu seperti orang lain karena pekerjaan ibumu. Tapi kalau ibumu mengganggu rumah tangga orang tuaku, itu lain cerita."
Marwa terhenyak. Darah seperti surut dari wajahnya.
"Aku mencarimu karena ingin memberitahumu," lanjut Haryo, suaranya tetap datar. "Kalau ibumu tidak mengindahkan peringatanku ini dan tetap mendekati ayahku, jangan harap kontrakan itu bisa kalian tempati lagi."
Marwa terdiam. Ancaman itu jelas bukan main-main.
"Kak Haryo... Aku tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi, tapi—"
"Aku juga sebenarnya tidak mau tahu," potong Haryo. "Tapi aku terpaksa. Aku cuma ingin memperingatkan. Selebihnya, terserah ibumu."
Tanpa menunggu jawaban, Haryo berbalik dan pergi.
Marwa terpaku di tempatnya.
Satu hal yang ia sadari, setelah hari ini, Haryo pasti akan membencinya. Tatapan dingin itu sudah membuktikan semuanya.
"Dasar anak LC, pagi-pagi sudah berani menggoda laki-laki." Marwa kaget karena Asila dan Briana tiba-tiba sudah berdiri di depannya.
"Service–mu tidak memuaskan ya, makanya Haryo murung tadi." Asila merangkul bahu Marwa. Meremas bahunya dengan geram. Marwa menggeliat. Melepaskan rangkulan Asila dengan satu sentakan. Tubuhnya lebih besar dan tinggi dibandingkan Asila yang bertubuh mungil.
"Tidak pantas anak sekolah mengucapkan kata-kata seperti itu!" bentak Marwa marah.
"Woho, sekarang kamu sudah berani membentak-bentak kami. Kamu mau kami siram dengan air comberan lagi?" Briana menyenggol bahu Marwa keras.
"Coba saja kalau Kak Briana berani? Nanti saya akan bilang pada anak-anak, kalau ibu Kak Briana yang sosialita itu menyambi jadi ani-ani pejabat. Berani tidak?" tantang Marwa. Air muka Briana seketika berubah pias. Ia sama sekali tidak menduga kalau Marwa mengetahui rahasia keluarganya.
"Jangan sembarangan bicara kamu!" bantah Briana panik. Apalagi saat Asila ikut menatapnya dengan pandangan menuduh.
"Sembarangan bicara? Aku punya buktinya. Mau aku perlihatkan?" Marwa menurunkan tas ranselnya. Bersiap mengeluarkan ponsel. Ia memang punya bukti rekaman di mana ibu Briana tengah bermesraan dengan seorang pejabat di club tempat ibunya bekerja. Ibunyalah yang merekamnya. Tujuan ibunya merekam, agar ia punya senjata saat Briana merudungnya di sekolah.
"Sudah, tidak usah! Ayo, La, kita ke kelas saja." Brina menarik tangan Asila.
"Awas kalau kamu berani sembarangan bicara!" Briana masih sempat mengancamnya sebelum berlalu.
Sepeninggal Asila dan Briana, Marwa memutar keran dan membasuh wajahnya berkali-kali. Selain perlu menyegarkan mata, ia juga ingin mendinginkan hatinya. Ia tidak sabar ingin pulang dan menanyakan kebenarannya pada ibunya.
Di kelas, Marwa duduk dengan gelisah. Buku pelajaran terbuka di mejanya, tetapi ia sama sekali tidak bisa berkonsentrasi. Pikirannya terus-menerus dipenuhi ucapan Haryo tadi pagi.
Apa benar ibunya dekat dengan Pak Marno? Karena setahunya Ibunya hanya bertemu dengan Pak Marno jika berhubungan dengan masalah kontrakan. Entah komplain karena genteng bocor atau saat membayar kontrakan.
Marwa menggigit bibir dan berulang kali melirik jam dinding kelas. Detik terasa berjalan lambat. Rasanya ia ingin pulang sekarang juga.
Begitu bel pulang berbunyi, Marwa langsung bergegas pulang tanpa menghiraukan ajakan teman-temannya yang ingin membahas perihal kerja kelompok.
Setiba di rumah, ia menemukan ibunya, masih tertidur di kamar. Marwa segera mengguncang bahu ibunya.
"Ibu, bangun," panggilnya cemas.
Bu Mariana mengerjapkan mata, tampak masih mengantuk. "Kenapa sih, Wa? Ribut sekali. Ibu baru saja mau tidur siang," gumamnya dengan suara serak.
Marwa menarik napas dalam. "Bu, tadi di sekolah Haryo mencariku. Ia menyuruhkan mengatakan pada Ibu agar menjauhi ayahnya. Apa benar Ibu sekarang dekat dengan Pak Marno?" tanya Marwa tanda tedeng aling-aling.
"Kamu ini ngomong apa sih?" Bu Mariana menguap lebar. Kantuk masih menggantung di matanya.
"Kok ngomong apa? Kan Marwa sudah bilang tadi? Apa betul kemarin Ibu jalan berduaan dengan Pak Marno?" Marwa mendecakkan lidah kesal. Jangan-jangan ibunya tidak menyimak kata-katanya karena masih mengantuk.
"Betul," sahut Bu Mariana enteng sambil mengulet nikmat. Meliukkan pinggang ke kini dan ke kanan.
"Nah, berarti betul kata Haryo kalau Ibu selingkuh dengan Pak Marno?" tuduh Marwa kecewa.
"Siapa yang berselingkuh, Marwa? Berjalan berdua itu bukan selingkuh. Rumah kita dan Pak Marno kan searah. Apa Ibu harus lari kalau kebetulan berpapasan dengan Pak Marno? Aneh kamu?" omel Bu Mariana kesal.
Marwa menggigit bibirnya. Apa yang ibunya katakan benar juga.
"Tapi Ibu sering bertemu dengan Pak Marno di club kan? Jangan lagi menemui Pak Marno di sana ya, Bu? Nanti Haryo marah."
Bu Mariana mengibaskan tangannya dengan kesal. "Dengar ya, Marwa. Ibu ini bekerja di sana. Club itu tempat umum. Siapa saja boleh datang kalau punya uang. Ibu tidak boleh menolak tamu yang mau ditemani minum karena itu memang pekerjaan Ibu. Sumber uang kita semua! Kalau Haryo tidak mau ayahnya menemui Ibu, minta ayahnya supaya tidak ke club! Si Ida yang cemburu buta, kenapa jadi Ibu yang susah?" sembur Bu Mariana gusar.
Marwa hanya diam. Ia tidak bisa menolak argumen ibunya.
"Lagipula, Ibu tidak tertarik lagi dengan yang namanya cinta atau urusan asmara-asmaraan. Yang ada di kepala Ibu cuma satu: uang. Ibu punya banyak tanggungan yang harus dipikirkan," lanjut Bu Mariana seraya bangkit dari tempat tidur. Ia kemudian meraih jepit rambutnya di ranjang.
"Apa betul di club Ibu hanya menemani tamu minum-minum?" Marwa akhirnya mengajukan pertanyaan yang selama ini hanya berputar di benaknya.
Ibu Mariana, yang tadinya hendak menjepit rambut berhenti sejenak. Ia mendelik, lalu mendesah panjang.
“Tentu saja! Ibu ini seorang LC, Marwa, bukan p*****r!" jawabnya jengkel. “Lagi pula, Ibu ini istri orang. Seorang ibu juga. Mana mungkin Ibu menjajakan diri dalam keadaan masih bersuami. Walaupun suaminya tidak berguna," dengkus Bu Marina kesal.
“Kalau Ayah tidak berguna, kenapa Ibu masih bertahan? Kenapa Ibu tidak meninggalkan Ayah?” tanya Marwa penasaran.
Tatapan Ibu Mariana berubah. Ekspresi marahnya meredup, berganti dengan senyum kecut yang penuh kepedihan. Ia menunduk sejenak, seakan mengumpulkan keberanian sebelum menjawab.
“Karena di masa lalu, ayahmu adalah pahlawan Ibu," kata ibunya sendu. Suara ibunya melembut saat mulai bercerita. “Dulu, saat Ibu muda, tidak ada satu pun laki-laki yang benar-benar menganggap Ibu layak untuk dijadikan istri. Mereka hanya ingin bermain-main dengan kecantikan Ibu.”
Marwa terdiam. Ia tak pernah mendengar ibunya berbicara seperti ini sebelumnya.
“Ibu ini anak yatim piatu, Marwa. Ibu dibesarkan di panti asuhan. Ibu tidak punya siapa-siapa. Tidak punya koneksi ataupun berpendidikan tinggi. Yang Ibu punya cuma wajah yang cantik ini." Bu Mariana menunjuk wajahnya sambil tertawa kecil. Tapi tawa itu pahit.
“Semua laki-laki yang mendekati Ibu hanya ingin satu hal. Mereka ingin bersenang-senang tanpa ada ikatan. Saat ditanya, maukah salah satu dari mereka menikahi Ibu? Semuanya langsung lari.” Mata Bu Mariana menerawang ke langit-langit rumah yang catnya mulai mengelupas.
“Tapi ayahmu beda. Ayahmu dulu adalah anak orang kaya, berpendidikan dan punya masa depan. Hanya ayahmu satu-satunya laki-laki yang berani mengangkat derajat Ibu dengan menikahi Ibu secara resmi. Ayahmu berani melawan keluarganya demi Ibu.”
Ibu Mariana menghela napas.
“Jadi sekarang, saat ayahmu tidak punya apa-apa, saat ia terpuruk... bagaimana mungkin Ibu meninggalkannya? Ibu tidak bisa, Marwa. Ayahmu pernah menyelamatkan Ibu. Sekarang, saat ayahmu bangkrut dan terpuruk seperti ini, Ibu akan tetap di sini, menemaninya.”
Ruangan itu hening. Marwa tidak tahu harus berkata apa. Selama ini ia hanya melihat ayahnya sebagai beban, seorang pecundang. Tapi bagi ibunya, ayahnya adalah seseorang yang pernah memberikan kehidupan yang lebih baik.
Marwa menggigit bibirnya. Untuk pertama kalinya, ia merasa bahwa ada sesuatu yang selama ini tidak ia pahami. Cinta ternyata tidak melulu dibuktikan dengan kata-kata dan kemesraan belaka. Melainkan dengan kesetiaan semiris apapun keadaannya.
***
Dering nyaring suara ponsel membelah keheningan malam. Marwa mengerjap, matanya yang masih mengantuk menatap layar ponsel. Nomor tak dikenal. Ia nyaris mengabaikannya, tapi entah mengapa ada firasat buruk yang merayapi hatinya.
"Halo?" suaranya berat karena kantuk.
"Selamat malam. Dengan keluarga Bu Mariana?" Suara di seberang terdengar formal, tapi juga serius.
"Iya, saya anaknya," jawab Marwa, jantungnya mulai berdetak lebih cepat.
“Ibu Anda mengalami kecelakaan lalu lintas. Sekarang sedang dalam penanganan darurat di Rumah Sakit Medika. Bisa datang sekarang?”
Kata kecelakaan langsung menyapu kantuknya. Marwa terduduk, napasnya memburu. “Kecelakaan?” ulangnya dengan suara bergetar.
“Benar, mohon segera ke rumah sakit secepatnya.”
Marwa melompat dari ranjang. Kakinya hampir tersandung karpet saat ia buru-buru membuka pintu kamar.
“Bangun semuanya! Ibu kecelakaan!” suaranya nyaring menggema di rumah yang gelap.
Marsya, kakaknya, langsung keluar dari kamar sambil mengucek-ngucek mata bingung. “Ada apa sih malam-malam teriak, Wa?”
“Ibu… kecelakaan.” Suara Marwa tercekat.
Tanpa menunggu jawaban sang kakak, Marwa bergegas ke kamar ayah dan abangnya. Namun, begitu pintu terbuka, bau alkohol menyergap hidungnya. Ayahnya terkapar di atas kasur, sementara abangnya tidur dengan mulut terbuka, botol miras masih tergenggam di tangan mereka.
Marsya yang ikut melongok mendengus jijik. “Percuma. Mereka nggak bisa diandalkan dalam segala keadaan.”
Marwa menggigit bibirnya, menahan getir di dadanya. “Kita pergi sendiri saja ya, Kak?"
Marsya mengangguk. Tanpa banyak bicara, mereka memesan taksi online dan segera meluncur ke rumah sakit.