"Gimana?" tanya Belle yang menunggu tanggapan Maxy atas masakan buatannya.
"Standart. Enaknya standart. Yang penting bisa dimakan." jawab Maxy dan Belle segera mengerucutkan bibirnya.
"Besok-besok saya gak akan undang makan lagi di sini." jengkel Belle sambil mengunyah makanannya sendiri.
"Tapi Belle, yang diucapkan Max benar kok. Emang standart." Ayla membela Maxy.
"Betul. Masakan Mama enak biasa." Kim juga ikut-ikutan.
"Besok-besok aku gak mau masak lagi!" Belle semakin kesal namun buncah tawa memenuhi apartemen Ayla.
.
.
.
.
.
Surat cerai itu hadir lagi di pandangan mata Phill. Kali ini Ferry dan Anna-lah yang memberikannya pada Phill. Bukan lagi pengacara dari Belle, Harris.
"Tanda tangani saja. Permudalah semua proses ini. Saya tidak mau lagi melihat wajah Belle yang murung lagi." ucap Ferry dengan nada sedikit sarkastik.
Inilah puncak petaka atas pengkhianatan cinta. Phill menelan pil pahit itu. Pil yang membawanya pada pesakitan perpisahan. Apalagi mertuanyalah yang meminta sendiri padanya. Sungguh kejam.
"Pa, aku tidak mau menandatangani surat ini. Ijinkan aku bertemu dengan Belle. Aku juga harus bertemu dengan Kim." pinta Phill menatap lurus mata Ferry.
"Untuk apa lagi? Merajut cinta yang tidak pernah hadir di hati kamu?" sindir Ferry.
"Papa, aku tahu aku salah. Hanya saja, berikan kesempatan padaku sekali lagi. Aku hanya pernah mencintai wanita lain itu. Tapi aku tidak berniat untuk memilikinya. Aku memegang komitmen pernikahanku. Aku tidak mau berselingkuh di belakang Belle. Aku akui memang hati ini berkhianat dan berbohong bahwa mencintai Belle seutuhnya. Aku akan memperbaikinya. Kali ini ijinkan aku mencintai Belle." Phill berlutut di depan orang tua Belle sambil menangis. "Ijinkan aku kembali merajut pernikahan ini."
Bahu Phill bergetar hebat. Tangisannya pecah memohon agar dimaafkan dan kesempatan itu hadir untuknya. Anna tersentuh, Phill memang salah dalam mencintai orang lain. Seperti yang dikatakan Phill, dia memang tidak ingin memiliki wanita itu. Berbeda dengan Ferry yang sudah sangat sakit hati bahwa anaknya sudah tersiksa secara batin, dia tidak ingin memberikan kesempatan lain untuk Phill.
Dilihat tangan istrinya ingin menenangkan Phill, Ferry menangkap tangan itu dan menatap tajam mata istrinya. Seolah mengatakan 'Apa yang mau kau lakukakan? Tidakkah kamu tahu hari dimana Belle menangis sekencang-kencangnya mengeluarkan apa yang selama ini di pendamnya dalam kemasan senyuman itu?'
Tak ada suara yang meredakan tangisan Phill. Hanya 2 pasang mata dengan pandangan dan pemikiran yang berbeda menatap Phill. Dingin dan kasihan. Phill mengangkat wajahnya dan melihat wajah Ferry yang akhirnya membuka suara, "Tak ada kesempatan, hati Belle sudah terlalu hancur dan remuk karena kamu."
.
.
.
.
.
Meisha melihat depan rumah Phill terlihat begitu berantakan. Hari ini dia memutuskan untuk melihat keadaan Phill setelah pria itu masuk selama 3 hari ini tanpa alasan apapun. Gagas-kekasihnya saat ini sedang menghadiri rapat penting dengan perusahaan sahabat dan tidak bisa menemani Meisha untuk berkunjung.
Bel rumah sudah dibunyikan, namun tak ada tanda-tanda penghuni di dalamnya.Meisha mencoba mengubungi telepon rumah dan tak ada jawaban. Meisha juga menghubungi nomor telepon Phill tapi hasilnya tetap nihil namun ada suara handphone Phill. Untuk meyakinkan sekali lagi, Meisha menghubungi nomor telepon Phill kembali. Benar! Suara dering itu ada lagi. Pertanyaanya adalah DIMANA PHILL?
Tok Tok.
"Pak Phill?" panggil Meisha dan tak ada jawaban.
Meisha mencoba berkeliling area rumah dan melihat ke dalam rumah melalu jendela yang tidak tertutup gorden. Mata Meisha melebar melihat keadaan Phill.
"PAK PHILL!!!"
.
.
.
.
.
Sebuah nama disertai dering lagu mengisi suara ruangan kamar Belle. Diambilnya smartphone miliknya begitu layar telepon itu menampilkan kata 'Papa' di dalamnya.
"Halo, Pa. Gimana? Sukses?"
"Belle, kamu pulang ke Indonesia malam ini ya."
"Loh, kenapa Pa? Itu permintaan dari Phill? Aku gak mau."
"Phill mencoba bunuh diri."
"Apa? Bunuh diri gimana?"
"Dia menyayat nadinya sendiri dan sekarang dia ada di rumah sakit. Dia belum sadarkan diri dan kehilangan banyak darah."
"Ya sudah, aku akan pulang."
Klik.
Ayla yang sedari tadi menguping ikut bertanya-tanya soal telepon tadi,"Kenapa?"
"Phill mencoba bunuh diri."
"What? Kok bisa?"
"Yah, bisalah Ay... Masa gak bisa. Sudahlah, gue pesan tiket dulu dan ijin sama Maxy."
"Belle." Ayla menjeda, "Hati-hati, mungkin saja ini rencana Phill agar kamu pulang dan memaafkan dia? Yah, anggap saja ini asumsiku yang bodoh."
"Kenapa kamu bilang begitu?" Belle sedikit kurang paham.
"Dia saja bisa membohongi kamu soal perasaan dia sesungguhnya seolah dia mencintai kamu. Bagaimana dengan sekarang?" Ayla menaikan bahunya.
"Yah-kita lihat saja nanti. Apa itu pura-pura atau bukan." Belle merapihkan barang-barang keperluannya untuk kepulangan sementara ke Indonesia.
.
.
.
.
.
Semua berjalan mulus dalam kepulangannya ke Indonesia. Maxy atasannya begitu pengertian dan memberikannya ijin. Kimora tidak mau ikut pulang sebenarnya mengingat Ayahnya itu hanya bisa memberikan air mata pada Belle. Namun, dengan penjelasan lembut dari Belle, Kim mau ikut menjenguk Ayahnya yang sedang dirawat di rumah sakit.
Belle sudah melihat kedua orang tuanya hadir di sana dan juga kedua mertuanya. Tak ada ucapan apapun dalam pemyambutan Belle dan Kim. Air mata saja yang mereka tampilkan saat melihat kedatangan mereka.
Belle membuka pintu dan bersama Kim memasuki ruangan Phill. Di atas ranjang itu terbaring lemah Phill-nya yang di harapkannya bahagia tanpa dirinya.
"Phill..." panggil Belle dengan nada lembut dan matanya sedikit menggenang air mata.
Phill merespon suaranya dan membuka kedua matanya. Dengan mata yang terkejut dramatis, Phill menutup lalu membuka kembali matanya. "Kamu pulang, Belle?"
"..." Belle tidak menjawab. Dia tidak bisa dikatakan pulang saat ini. Mungkin ini disebut... menjenguk?
"Belle, ini beneran kamu kan?" tanya Phill sekali lagi dan kini dia menyadari adanya Kim di samping Belle, "Kim, papa kangen."
Kim menolak menghampiri Ayahnya, dia lebih memilih berada di belakang Belle. Phill bingung dengan sikap Kim yang tidak mau menghampirinya.
"Belle, kamu kemana saja selama ini? Aku merindukanmu. Aku kacau tanpamu, Belle." lirih Phill memandang Belle yang tampaknya dingin.
"Belle... bicaralah sesuatu."
Belle menghela nafasnya, "Kenapa kamu memperumit ini semua?" Belle mengalihkan pandangannya ke seluruh ruangan.
"Maksud kamu?"
"Iya, kenapa kamu melakukan hal bodoh ini?" tanya Belle dengan nada kejam.
"Aku tidak bisa hidup tanpa kamu, Belle. Setelah kamu pergi, aku sama sekali kacau. Hidupku berantakan. Rumah terasa sepi, Belle." Phill melirih kembali dan lagi-lagi pandangan mata antagonis itu kembali lagi pada Belle.
"Oh..." Belle cuek.
"Kenapa kamu jadi seperti ini, Belle? Kamu berubah sekarang."
"Loh, sekarang kamu sadar dengan perubahanku. Kemarin kemana saja? Saat aku berubah menjadi baik agar bisa mendapatkan hatimu yang seutuhnya? Saat aku membuang segala jati diriku untukmu? Kamu gak sadar aku berubah. Kamu gak pernah mengungkit itu." Belle mendengus dengan tawa sinis.
"Belle..."
"Oh, satu lagi... Saat aku bertanya apakah kamu mencintaiku dan kamu malah menjawabnya dengan embel-embel tidak penting, apa kamu masih ingat? Kamu gak sadar kan perubahan wajah aku yang kecewa sama kamu? Yang kamu pikirkan hanyalah Meisha."
"Belle... Aku mohon hentikan."
"Aku yang mohon! Hentikan semua sandiwaramu Phill! Hentikan semua drama percintaan ini! Aku tidak mau lagi jadi pemain drama ini lagi!" Belle mempertegas ini semua.
"Drama apa?"
"Phill... Kamu tampak seperti korban di drama percintaan ini. Bertindak bunuh diri agar aku kembali padamu. Di hatimu hanyalah nama Meisha yang terukir. Bukan aku. Jangan jadikan aku pemeran antagonis di drama ini. Aku sudah lelah. Aku mau dicintai seutuhnya dengan diriku yang sebenarnya. Dan aku sadar orang itu bukanlah kamu." Belle menyuruh Kim untuk keluar lebib dulu dan anak itu menurut.
"Belle... Aku mencintaimu."
"Setelah kamu kehilangan aku? Begitu? Bagaimana jika aku terus menahan diri tidak pernah mengungkap isi hatimu yang sebenarnya? Bagaimana jika aku memilih bertahan atas nama cinta yang bodoh, mengorbankan diri untuk sakit hati, apakah kamu akan mencintaiku? Hahaha. Aku rasa tidak Phill. Aku sudah mencapai batasku." Belle melipat tangannya di depan d**a memberi tanda perlindungan hatinya.
"Apa yang harus kulakukan agar kau kembali padaku?" Phill menatap mata antagonis Belle.
"Tidak ada."
"Berikan aku satu kesempatan, Belle." pinta Phill putus asa.
"Ceraikan aku saja."
"A-apa?"
"Kuberikan kesempatan terakhir untuk membahagiakan aku. Ceraikan aku saat ini juga."