Selama enam minggu penuh Jelita menata ulang seluruh hidupnya. Ia membangun kehidupan yang baru—jauh dari hiruk pikuk ibu kota agar tidak bertemu dengan pria itu lagi. Ia ingin menjauh dari semua yang berkaitan dengan masa lalunya. Tempat yang pernah menjadi pilihannya, juga tempat yang tidak pernah ingin ia lihat atau singgahi. Ia ingin menjauh, sejauh mungkin—menciptakan kehidupan miliknya sendiri. Bukan kehidupan yang dipaksakan dan diwarnai oleh keinginan orang lain.
Dikara, sosok pria yang sempat menjadi suaminya berniat mengirimnya ke luar negeri. Tempat asing yang tidak pernah ia kunjungi sebelumnya. Tapi, ia tidak akan menyerah pada keinginan tersebut. Ia bisa saja, berpura-pura bahwa dirinya akan menuruti permintaan pria itu. Ia bisa membuat Dikara percaya bahwa dirinya akan menaiki pesawat itu. Tidak akan sulit. Dikara akan tetap melihatnya berjalan menuju bandara internasional tanpa mencemaskan apapun. Mungkin saja, ia akan menunggu sampai Jelita benar-benar masuk ke dalam pesawat.
Tapi, Jelita tahu—Dikara tidak akan bisa masuk sampai ke dalma. Setelah Jelita melewati pemeriksaan dan berada di gate—ia harus mengurusnya sendiri.
Itu mengapa, selama enam minggu ini, Jelita sibuk mencari rumah minimalis yang jauh dari hiruk pikuk kota. Bukan hanya sekadar di luar kota. Tapi juga jauh dari jangkauan mantan suami.
Ia masih ingat pertemuan terakhir mereka saat di tangga malam itu. Dikara mengatakan bahwa dirinya akan selalu jadi milik pria itu bahwa setelah bercerai. Jelita sadar itu artinya Dikara tidak akan berhenti mengendalikan hidupnya. Ia tidak mengerti mengapa Dikara melakukan itu. Padahal, semuanya bisa selesai dengan sederhana.
Jelita tidak bisa tetap tinggal di kota ini atau bahkan negara ini. Karena ia yakin, Dikara selalu punya cara untuk memaksa dirinya pergi dan tunduk. Ia tahu, keinginan terbesar pria itu mungkin ingin dirinya menghilang selamanya dari kehidupan ini. Agar ia tidak mengganggu hubungan pria itu dengan masa depannya. Itu mengapa, Jelita telah mempersiapkan semuanya. Ia sudah mengurus perubahan nama, dokumen, dan berbagai pendukung untuk sebuah identitas baru.
Ia bahkan sudah menjadwalkan sidang pengadilan untuk dilakukan di hari yang sama dengan keberangkatannya, yaitu sore hari. Semua sudah ia susun dengan rapi. setelah itu, secara hukum ia akan menggunakan nama penanya—Juwita Lestari. Bahkan, inisial namanya akan tetap sama. Jadi tidak akan ada yang bingung. Tapi, sebenarnya, ia bisa saja mengubah namanya menjadi apapun yang ia inginkan. Suatu saat nanti.
Selama sebulan terakhir, ia melakukan beberapa perjalanan darat ke kota terpencil daerah Jawa Barat, Kampung Naga. Di sana ia membeli rumah dan tanah atas nama Juwita Lestari. Ia juga membuka rekening bisnis atas nama penanya, dan semua properti serta dana sudah dipindahkan ke sana. Ia sengaja tidak naik kendaraan umum—ia tidak ingin ada jejak yang bisa memicu kecurigaan Dikara. Apalagi, ia tahu Dikara bisa saja mendapat informasi tentang keberadaannya.
Selama pernikahan, Jelita tahu—Dikara tidak pernah sekalipun menginjakkan kaki di kota terpencil seperti itu. Makanya, ia memilih kota terpencil tersebut untuk memulai kehidupan baru. Ia ingin melarikan diri sepenuhnya. Bukan karena Dikara yang meminta. Tapi, karena ia menginginkannya.
Perjalanan darat kesana membutuhkan waktu berhari-hari. Namun, karena ia tinggal sendiri rumah pantai itu. Tidak ada yang menyadari kepergiannya. Ia sempat menjelajah properti yang sudah dibayar uang mukanya—rumah kayu dengan pedesaan yang asri berwarna hijau, berdiri anggun di sekitar perbukitan. Rumah itu hanya memiliki dua kamar tidur, namun cukup nyaman. Dimana ada sungai kecil yang mengalir di belakang rumah dan jalur pendakian alam yang menawan.
Di tempat itulah, Jelita ingin memulai hidup barunya—jauh dari dunia yang mengenalnya sebagai mantan istri seorang miliarder. Ia hanya akan menjadi Juwita Lestari, seorang penulis. Itu saja.
Setelah menerima dana dari Dikara tanpa adanya pertentangan, sebesar dua ratus miliar—jauh melebihi harga wajar rumah itu. Jelita mulai berbenah. Ia membeli banyak keperluan baru. Lemari kini dipenuhi pakaian yang sudah ia beli sendiri. Gaya rambut dan riasannya berubah. Ia sedang menyusun ulang hidupnya—dengan penampilan dan identitas yang baru pula.
Hari itu, ketika Dikara datang menjemput. Jelita sudah berdiri di foyer dengan satu koper. Dikara datang dalam balutan busana santai—jeans dan kaus, tampak seperti pria biasa. Ia bahkan menarik kacamata hitamnya ke atas kepala saat menyapa sang wanita.
“Jelita,” ucapnya seraya tersenyum.
Namun, senyum itu memudar tatkala matanya tertuju pada penampilan Jelita. Rambutnya terurai bergelombang sebahu. Riasan wajahnya sangat sempurna. Ia berdiri dengan anggun, menggunakan sepatu hak tinggi dan gaun panjang berwarna aprikot beraksen dedaunan abu-abu yang samar. Gaun itu elegan, namun tetap menyiratkan kelembutan yang santai.
“Tuan Darmawangsa,” sapa Jelita dengan datar. Ia dulu memanggilnya ‘Mas’, lalu Dikara saat proses perceraian berlangsung. Dan kini, karena semuanya sudah selesai sejak malam tadi, Jelita jadi menyebutnya sebagai orang asing, yaitu ‘Tuan Darmawangsa’.
“Itu terdengar cukup formal, ya?” ucap Dikara, sedikit terkejut.
Jelita menatapnya dengan datar. Ia tidak menjawab. Ia hanya menyerahkan kunci rumah dan meletakkan kunci mobil di atas meja.
“Remote pembuka pintu garasi ada di dalam mobil. Semua sudah aku bersihkan, dan aku juga sudah merawat mobilmu. Tukang kebun akan datang dua hari lagi. Sudah aku bayar lunas untuk kunjungan berikutnya. Daftar hal-hal yang perlu kau perhatikan dalam dua minggu ke depan sudah aku letakkan di meja makan.”
Ketika ia hendak mengambil kopernya, Dikara lebih dulu menyentuhnya.
“Biar aku saja yang bawa,” katanya pelan. “Kau tahu, Jelita … kau tidak harus melakukan semua ini.”
“Aku hanya mengembalikan semuanya seperti semula, sebagai bentuk sopan santun. Tidak lebih,” terangnya. Kemudian, melangkah keluar dan mengenakan kacamata hitamnya.
Matahari pagi bersinar cerah saat ia membawa kopernya ke bagasi dan duduk dibalik kemudi. Ia melirik ke arah Dikara.
“Kita akan terlambat kalau kau tidak segera bersiap-siap,” ujarnya.
“Kau sudah membawa paspor dan dokumennya?” tanya Dikara ketika mereka mulai melaju meninggalkan rumah.
“Sudah,” jawab Jelita singkat. Ia menatap ke luar jendela seraya berbisik. “Tenang saja, aku akan naik ke pesawat itu.”
Dikara menatapnya bingung.
“Kau tampak berbeda, Jelita. Gaun itu cocok sekali untukmu.”
“Aku tahu,” jawab Jelita dengan cepat. “Kau tidak perlu bersikap manis. Aku sudah mengerti, Tuan.”
“Mengerti apa?”
Ia menggeleng pelan, sedikit tersenyum pahit.
“Kalau kau sudah menemukan wanita yang ingin dinikahi. Itulah alasan kita bercerai, ya, ‘kan?”
Dikara terdiam cukup lama, lalu menjawab dengan tenang.
“Ya, kau memang benar.”
“Lalu bagaimana dia menerima klausul dalam perjanjian kita? Apa kau akan memberitahunya? Apa dia tahu kau akan mengantarku ke bandara?”
“Dia sudah tahu semuanya,” jawab Dikara, tanpa ragu.
Jelita pun hanya mengangguk, meski hatinya bertanya-tanya—apakah wanita itu sudah pernah mencium mantan suaminya? Apakah wanita itu sudah merasakan sesuatu yang selama ini tidak pernah ia rasakan?”
Jelita tahu betul alasan Dikara tidak pernah mencium bibirnya. Padahal, mereka sudah sering berbagi ranjang, bercinta berkali-kali. Tapi bibir itu—tetap terjaga. Dikara tidak pernah menyentuhnya. Ia sadar bahwa dirinya sudah jatuh cinta terlalu dalam. Dan ia hanya ingin merasakan sekali saja, agar tahu bagaimana rasanya. Itu mengapa, ia memaksa untuk memintanya—menukar satu ciuman dengan kepergiannya.
Jujur saja, Jelita pernah melihat Dikara berciuman dengan wanita lain di sebuah foto sosial media. Tapi dirinya? Ia satu-satunya wanita yang tidak pernah pria itu cium.
***