Kapan Berakhir?

1085 Words
Clara pulang dengan diantar oleh San. Seperti biasa. Namun, beberapa hari terakhir, mereka memang jarang makan di luar bersama setelah Clara pulang kerja. "Kapan-kapan, kita cari tempat makan rekomendasi lagi, ya." Clara mengusulkan. Ia rindu saat-saat bersama dengan San, pergi ke tempat-tempat yang menyenangkan. Bicara banyak hal yang menyenangkan, melepaskan semua penat. "Iya, aku juga setuju kalau soal itu. Tapi untuk sekarang, jangan dulu, ya." Clara mengangguk-angguk. "Kamu masih sibuk, ya? Ada banyak yang harus dikerjakan?" "Sibuk? Ya, tidak terlalu sebenarnya. Hanya, ada beberapa hal yang aku memang harus mengerjakannya dengan cepat dan memiliki tenggat waktu." "Begitu, ya." Clara sebenarnya ingin menanyakan soal apakah memang San bekerja di bawah Kristo Wijaya atau tidak? Tapi, ia berpikir ulang soal itu. Karena nanti, bisa jadi San akan menaruh curiga dan bertanya soal tahu dari mana kalau ia memang bekerja di bawah Kristo Wijaya. Gawat. Pertemuannya dengan Tora pasti akan terbongkar. Dan lebih gawat lagi kalau itu akan menimbulkan kesalahpahaman. Clara tak ingin itu terjadi, tapi kalau tidak bertanya, kapan ia akan tahu kebenarannya? "Oke. Tidak apa-apa, kan?" tanya San. "Apanya? Ah, tidak apa-apa kalau kamu memang sibuk. Memangnya, aku bisa apa? Maksudku, aku juga harus mengerti, kan. Aku tidak mungkin melarang kamu bekerja. Itu demi masa depanmu dan demi dirimu sendiri. Aku harus mendukungmu. Aku akan terus mendukung!" ucap Clara bersemangat. "Maaf, ya. Aku akan usahakan. Lain kali, aku akan usahakan agar bisa meluangkan waktu lebih lama untukmu. Aku tahu, kita sudah jarang mengobrol serius berduaan." Clara mengangguk-angguk. Bagus, San sepertinya cukup sadar kalau hubungan mereka sudah mulai layu. Harus disiram dan diberi pupuk lagi. "Kamu masih sering bertemu dengan anak BBA?" tanya San tiba-tiba. Kenapa ia menanyakan itu? Clara paham, itu hanya basa-basi. "Ya, kadang. Tapi jarang. Sudah jarang. Sebelum bertemu denganmu, sering. Sepertinya, mereka memang sedang banyak kesibukan." "Ya. Aku lihat kemarin, kalau salah satu anggota BBA memenangkan kompetisi." "Hah? Siapa?" Clara berucap kaget. Kenapa ia bisa tidak tahu? Kenapa ia bahkan tidak melihat satu pesan pun di grup soal itu? "Aku lupa namanya." Clara buru-buru mengecek pesan di WAG BBA. Dan benar saja, ia sudah melewatkan banyak pesan dan informasi yang ada di sana. Mungkin tidak sengaja ia lewatkan. Clara menyesal karena sudah larut dalam kasus Tora. Sehingga banyak hal penting yang mungkin ia lewatkan. "Sudah sampai. Kamu serius sekali." "Iya, aku sedang tanya ke anak-anak BBA dan mengucapkan selamat. Ternyata yang menang kompetisi itu Anrez." "Ah, iya itu. Benar. Namanya Anrez." Clara mengucapkan selamat dan lain-lain. Ia sibuk mengetik beberapa pesan. "Sayang, Clif. Kita sudah sampai." San berujar lembut. Clara terkejut. "Ah, oke. Maaf-maaf." "Haha. Tidak apa-apa. Maaf aku harus langsung pulang." Kalimat San lebih terdengar seperti, "Cepat pergi dari mobilku." Clara mengangguk. "Oke. Aku keluar. Terima kasih, ya. Jangan lupa istirahat. Jaga kesehatan. Kalau kamu terlalu sibuk, jangan lupakan hal-hal kecil yang sebenarnya penting." San mengangguk. "Oke. Terima kasih. Selamat istirahat, ya." Setelah Clara keluar dari mobil, San tak menunggu gadis itu masuk ke rumah terlebih dahulu, seperti kebiasaannya yang sudah-sudah. Laki-laki itu segera menancap gas sesaat setelah Clara turun dari mobil. Clara bahkan terdiam sesaat melihat mobil San yang melaju kencang meninggalkannya. Ada yang berubah. Clara menyadari itu, tapi ia merasa itu bukan apa-apa. Gadis itu meyakinkan diri, kalau memang adakalanya dalam sebuah hubungan, perasaan-perasaan semacam itu datang. Tapi, tidak apa-apa. Itu adalah sesuatu yang wajar-wajar saja. Clara masuk ke dalam rumah dan teringat soal selembar kertas yang membuatnya penasaran. Memangnya, kertas apa itu? Sampai-sampai ibunya berpikir kalau itu merupakan sesuatu yang amat penting. Masuk ke dalam kamar, Clara betul-betul mendapati kertas di meja kamarnya. Gadis itu sedikit heran ketika melihat data-data yang tertulis di selembar kertas itu. Ada nama-nama politisi, termasuk Kristo Wijaya di sana. Ada banyak angka-angka atau lebih ke nominal dengan coretan merah. Apa itu? Clara menelan ludah, menebak-nebak kiranya data apa itu. Setelah beberapa saat, gadis itu memutuskan untuk menelepon ibunya. "Halo, Bu." "Iya, Clif. Ada apa?" "Ini, soal kertas yang Ibu temukan." "Ah, itu. Iya, ibu simpan di meja kamarmu. Ada, kan?" "Ada. Ibu temukan kertasnya di mana?" "Itu ibu temukan saat sedang menyapu, di ruang tamu. Hampir ibu buang ke tong sampah. Tapi melihat ada banyak angka di kertas itu, ibu takut kalau itu adalah data yang penting. Makanya, ibu tidak buang." "Oh, oke." Ruang tamu. Clara mendapat sedikit petunjuk. Pertemuan terakhirnya dengan Tora. Di ruang tamu. Ya ampun. Permainan macam apa yang sebenarnya sedang laki-laki itu mainkan? Clara jadi kesal. Harus ia apakan kertas di tangannya? Apakah ia melapor saja kepada San? Kalau ia katakan soal kertas itu, soal ditemukan di ruang tamu, maka San pasti akan curiga dan itu berarti, kepercayaannya kepada Clara juga akan hancur. Karena penasaran, Clara mencoba mencari tahu tentang nama-nama yang tertulis di kertas itu lewat internet. Dan ketika mencari tahu, Clara menemukan bahwa nama-nama itu merupakan rekan-rekan anggota dewan yang cukup dekat dengan Kristo Wijaya. Ada apa sebenarnya? Ah, Clara yang baru pulang kerja, disuguhkan dengan pemikiran baru yang membuat isi kepalanya semakin ruwet saja. Gadis itu membiarkan kertas tersebut tergeletak begitu saja di meja kerjanya. Ia beranjak ke dapur untuk mengambil air minum. *** Sementara itu, San kembali ke tempat rahasianya. Tora masih ada di sana dengan Romi. "Bagaimana?" tanya San. Romi mengangkat bahu. "Dia tidak mau bicara apa pun soal pacarmu." "Mungkin, memang tidak ada apa-apa," ucap San. "Serius? Aku punya firasat buruk tentang ini. Meskipun pacarmu bilang tidak bertemu lagi dengan Tora setelah pertemuan di kedai, dan Tora juga mengatakan hal yang sama, sepertinya, tetap saja. Ada rencana lain yang tak kita ketahui. Kamu sudah kenal Tora bertahun-tahun dan ya, tidak mungkin dia menyerahkan diri semudah ini. Benar? Dia pasti memiliki rencana busuk yang kita tidak tahu. Ya, pasti. Tidak salah lagi." Ya, benar. Apa yang Romi katakan ada benarnya juga. Tidak mungkin jika Tora tidak ada rencana apa pun. Tidak mungkin, jika Tora menyerahkan diri dengan mudahnya tanpa ada hal yang ia lakukan sebelumnya. "Mungkin saja, dia sudah lelah menyerangku?" "Tidak, San. Sekali licik, tetap saja licik. Jangan tertipu dan, satu orang lagi yang harus kamu waspadai." "Siapa?" "Pacarmu. Clif, Clara. Siapa pun itu. Awasi. Dia bisa saja, menyembunyikan sesuatu." "Aku percaya padanya." "Jangan bodoh. Kamu pintar, San. Ah, kenapa hampir semua orang pintar itu, jadi bodoh kalau dihadapkan kepada yang namanya cinta. Aneh sekali. Aku benar-benar heran. Saaangat heran." San tertawa. "Ya, kau benar. Aku jadi bodoh. Mungkin. Tapi aku rela jadi bodoh. Ah, aku lelah." San yang awalnya hendak menanyai Tora, malah pergi ke ruangan lain. Ia menjatuhkan dirinya ke ke sofa. Memejamkan mata. Bisakah segala sesuatu yang membuatnya lelah, berakhir saja?
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD