Titik Temu?

1001 Words
Sebelum benar-benar memejamkan mata, Clara mengingat kata-kata San yang memintanya untuk dipertemukan dengan ibu dan adiknya. Belum apa-apa, gadis itu sudah memikirkan kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi jika pertemuan itu betul-betul terlaksana. Bagaimana tanggapan ibunya nanti? Bagaimana tanggapan Karin? Apakah mereka akan bersikap cuek dan dingin kepada San? Clara takut dengan reaksi dua orang itu terhadap San nantinya. Namun, segera ia singkirkan semua pemikiran negatif itu. Lagi-lagi, ia bergelut dengan hal-hal yang belum tentu terjadi. Clara setuju, kalau bertemu merupakan upaya paling tepat dalam sebuah pertikaian. Tapi pertikaian Clara dengan ibu dan adiknya, itu agak pelik memang. Semuanya berawal ketika ayah Clara berada di masa-masa kritis. Saat itu, baik Clara, ibunya, atau Karin, memang sudah punya firasat kalau laki-laki hebat itu akan segera tiada. Ayahnya berpesan agar Clara bisa menjaga ibu dan adiknya. Tentu saja, Clara mengiyakan. Clara bertekad akan menjaga ibu dan adiknya dengan sepenuh hati. Clara bekerja keras untuk ikut jadi tulang punggung keluarga. Ia menulis banyak artikel dan cerpen, serta sesekali ia juga ada penulis berita (freelance). Meski begitu, rupanya ia tak bisa begitu saja mencukupi kebutuhan hidup keluarganya. Ibunya juga tak memiliki pekerjaan yang tetap. Sebuah tawaran dari salah satu kerabat ibunya, membuat Clara dengan tegas menolak. Clara ditawari bekerja di perusahaan asing nun jauh di negeri seberang. Ia memang tidak meraih pendidikan yang tinggi, tidak seperti Karin yang bertekad meraih gelar sarjana. Clara hanya sampai sekolah menengah atas. Perusahaan asing itu merekrut orang-orang untuk bekerja di pabrik. Upahnya besar, ibunya memohon kepada Clara untuk mau ke sana. Gadis itu dulu, sempat bimbang dan berpikir apakah jika ia pergi, maka mimpinya untuk jadi seorang penulis akan musnah? Hidup di negeri orang, dengan segala keterbatasannya, membuat Clara tak bisa berpikir panjang. Ia tidak bisa dan tidak mau. Itu bisa membunuh mimpinya. Itu yang ia takutkan. Ibunya jadi mulai tidak menyukai Clara. Karin, yang juga masih membutuhkan biaya sekolah, merasa kakaknya tak mau berjuang membantunya. Karin muda, selalu mengucapkan kata-kata yang kadang tak dipikir terlebih dahulu. Kemudian Clara tetap menulis. Ibunya tetap menjadi pekerja serabutan dan kehidupan mereka makin pelik saja. Setelah beberapa waktu, ibunya kembali meminta Clara untuk bekerja di luar negeri. Ibunya mulai mencibir pekerjaan Clara yang seorang penulis. Di mata ibunya, menjadi penulis tidaklah menjanjikan. Malah sangat tidak bisa menjamin kehidupan yang layak. Clara menolak lagi. Sekalipun ia sangat ingin membantu ibu dan adiknya untuk mendapatkan kehidupan yang layak dan bahkan lebih baik dari sebelum-sebelumnya. Namun, ia juga tak bisa melawan nuraninya. Ia tak bisa jika harus memaksakan diri untuk menjalani sesuatu yang tak sesuai dengan keinginan dan cita-citanya selama ini. Ia sangat mencintai menulis. Dan dulu, ketika kecil, bahkan ibunya sangat mendukung dan menjadi salah satu alasannya untuk jadi penulis. "Dulu, Ibu yang memberiku buku bacaan. Ibu yang memberiku semangat agar giat membaca buku. Karena itulah, aku ingin jadi penulis. Lalu, sekarang kenapa Ibu menyuruhku berhenti?" "Itu dulu, Clara. Itu dulu. Sekarang, keadaannya sudah berbeda. Ingat Clara. Kita sudah tidak punya kepala keluarga yang semestinya menopang perekonomian keluarga. Kita harus mulai realistis. Menjadi penulis sukses, itu adalah angan-anganmu sejak kecil. Maka biarlah itu jadi angan-angan selamanya." Perkataan ibunya waktu itu membuat Clara menjadi ciut. Ia tak menyangka ibunya bisa berkata demikian dan seolah memvonis cita-cita Clara adalah cita-cita yang mustahil. Gadis itu sebenarnya mencoba memahami. Ibunya jadi bersikap demikian, tentu bukan tanpa alasan. Sikap ibunya yang dingin, sikap ibunya yang seolah menjadi apatis terhadap apa-apa yang dulu membuat keluarganya hangat, itu karena kehilangan. Clara paham, rasa sakit karena kehilangan. Sang ayah pergi meninggalkannya dan itu menyisakan luka yang amat dalam. Hanya, jika Clara mencoba memaklumi sikap ibunya, mencoba mengerti perasaan ibunya, lalu siapa yang sudi mengerti dirinya? Bukankah ia manusia juga? Ia juga ingin dipahami. Clara tak mendapatkan jawabannya, sama sekali. Apalagi ketika Karin, juga sama. Bersikap seolah menjadi sosok yang paling menderita karena pilihannya untuk tetap jadi penulis. "Kakak seharusnya tidak egois. Aku yang paling terluka di sini. Aku ditinggal Ayah, harus menerima perlakuan Ibu yang berubah, dan juga harus menerima bahwa Kakak lebih memilih cita-cita Kakak itu. Sementara untuk membayar sekolah, aku harus terus bersabar. Mungkin aku tidak akan sekolah lagi kalau begini." Clara juga tahu. Karin mengatakan itu, tidak bermaksud untuk membuat luka di hatinya semakin menganga. Karin juga terluka dan pemikirannya belumlah dewasa. Clara hanya bisa menenangkan Karin saat itu dan berjanji akan terus membiayai sekolah Karin sampai kapan pun. Dan Clara memang memang menepati janjinya. Ia terus menulis dan menghasilkan uang. Ibunya masih bersikap ketus. Karin masih tak banyak bicara, jadilah ia memutuskan untuk pindah rumah dan tinggal sendiri. Kemudian salah satu novelnya menjadi best seller. Akan tetapi, sepertinya itu masih belum cukup meluluhkan hati ibunya. Entah. Memikirkan semua kenangan dan momen-momen masa lalu, membuat Clara kelaparan. Sepertinya memang betul kata orang. Kalau memikirkan sesuatu dengan keras, itu akan sangat menguras tenaga. Clara menuju dapur dan memasak mie instan. Ada banyak snack di lemari dapurnya, tapi tak ada yang mengalahkan peringkat mie instan di daftar makanan pengganjal perut di malam hari. Sambil memasak itu, ia membayangkan suatu hari jika, ia benar-benar menikah dengan San dan kemudian tinggal satu rumah. Perempuan itu senyum-senyum sendiri. Mungkin, mereka akan masak mie instan dan makan berduaan. Itu romantis. Lagi-lagi, memikirkan San adalah pelarian terbaik ketika sedang memikirkan kerumitan hidupnya. Hanya lima menit, mie sudah dihidangkan di atas meja. Sambil menyantapnya, Clara melihat-lihat media sosial. Sudah lama ia tidak bergabung di obrolan grup BBA. Rupanya sudah ada ratusan chat. Kebanyakan, anak-anak BBA mengobrolkan beberapa project menulis atau lomba menulis. Setelah membaca beberapa chat, Clara kemudian mengirim pesan di grup. [Kapan kita kumpul-kumpul lagi?] Clara jadi ingat kata-kata Anrez ketika anak-anak BBA dengan anggota lengkap berkumpul terakhir kali. "Heh, bukannya pelit. Aku hanya ingin kalian memahami. Bahwa yang terpenting dalam sebuah persahabatan itu apa? Kebersamaan. Kalau kita bersahabat, tapi tidak ada kebersamaan, untuk apa? Kalian tahu, hal buruk apa yang akan terjadi kalau persahabatan kita ini tak lagi menemui kata 'temu'? Mati. Makanya, kita harus sering bertemu. Biar hidup." Clara ingat pertemuan itu. Dan karena kata-kata Anrez, ia juga jadi mengingat kondisi keluarganya. Belum menemui kata 'temu'.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD