Romi mempersiapkan semuanya dengan matang. Ia tak ingin ada kesalahan. Karena kalau ia melakukan kesalahan, bisa gawat. Bisa-bisa, kalau tak dipecat, ya ia yang disingkirkan. Membayangkan dibuang ke luar negeri, dengan gerak-gerik yang terbatas dan tentu saja tanpa materi yang memadai, membuatnya ngeri.
Romi membawa Tora di dalam mobilnya. Laki-laki itu akan diterbangkan ke Amerika, dengan hanya diberi uang seadanya, beberapa lembar baju, dan mungkin ponsel. Tunggu, ponsel? San tidak setuju menyerahkan ponsel tersebut kembali ke Tora, sang pemilik. Romi juga setuju untuk itu. Iseng, Romi mengecek ponsel Tora dan mendapati beberapa panggilan tak terjawab.
Clif. Nama yang tertera di layar ponsel ketika Romi melihatnya. Seketika, itu membuat Romi sedikit terkejut. Tora yang berada di jok belakang, juga keheranan.
"Ada apa? Apa ada yang aneh di dalam ponselku? Kalau kamu begitu curiga, buang saja. Lempar ponsel itu."
Romi tak terpengaruh dengan kata-kata Tora. Ia berusaha bersikap tenang. "Bukan apa-apa. Aku hanya terkejut dengan wallpaper dan koleksi video anehmu itu, haha."
Tora tahu Romi berbohong. Namun, ia tak peduli. Toh, ia akan segera pergi dari negara ini. Romi memasukkan ponselnya lagi ke dalam saku. Ia harus menanyakan hal yang mengisikannya itu kepada San.
"Jadi, nanti di sana aku akan tetap diawasi?" tanya Tora, seolah sedang mengubah topik.
"Ya, itu yang akan terjadi. Kamu tidak akan bisa meninggalkan Amerika. Mungkin selamanya, tidak bisa kembali kemari. Jadi, menurutlah. San sudah berbaik hati dengan tidak menghabisimu."
"Haha. Aku tidak pernah memintanya melakukan itu. Tidak sama sekali."
"Ya ampun. Kamu sebaiknya bersyukur, Tora. Bukan malah berkata yang tidak-tidak."
Romi jadi merasa Tora begitu menyebalkan. Rasanya, ia ingin melempar Tora dari dalam mobil.
"Ini masih tidak sebanding dengan apa yang sudah dilakukannya di masa lalu."
Tora mengatakan itu, sambil mengingat-ingat semua rasa sakit dan penghinaan--ia menyebutnya begitu-- dari San.
"Rupanya, ada seseorang yang menyimpan dendam di sini. Berhentilah bersikap seolah kau sendiri yang punya rasa sakit. Berhenti bersikap bahwa kau adalah orang paling tersiksa di dunia. Itu berlebihan. Kau, Tora, kau tidak tahu saja. Apa yang sudah San korbankan untuk bisa sampai di tahap ini. Dia juga punya rasa sakitnya sendiri."
"Kau salah orang, Romi. Tidak ada gunanya membicarakan rasa sakit seseorang yang membuatku merasa hampir mati."
Romi tertawa. Iya juga, pikirnya. Ia mungkin sudah salah bicara.
"Kamu kenal, Clif?" tanya Romi tiba-tiba. Itu memecah suasana. Tora jadis sedikit waspada.
"Tentu."
Singkat.
"Kalau begitu, apa kalian sering berbicara berdua?" tanya Romi lagi.
"Kadang, ketika dulu aku masih bekerja bersamanya, kami sering makan siang dan mengobrol."
"Setelah kau dipecat?"
"Hanya sekali. Bertemu di kedai. Kenapa kau tanyakan hal yang sama berulang-ulang? Sudah jelas, aku sudah menjawab semuanya dengan sejujur-jujurnya di depan bosmu itu."
"Haha. Santai saja. Aku hanya ingin memastikan. Satu lagi, pertanyaan terakhir."
"Aku tidak mau menjawabnya."
Romi menghentikan mobil dan menepi di depan sebuah toko.
"Aku bisa melakukan yang tak pernah kau bayangkan sebelumnya, Tora. Aku bisa."
"Kau bisa apa?"
"Menyingkirkanmu dengan caraku sendiri."
Romi mengeluarkan senjata dari dalam mobil.
"Sial!" umpat Tora dengan sedikit keras.
"Kembali lajukan mobilnya. Aku akan jawab semua pertanyaanmu."
"Nah, bagus. Jadilah anak baik, Tora. Agar semuanya sama-sama merasa nyaman."
Mobil kembali melaju. Sebenarnya, Romi hanya menggertak, tapi Tora tak menyadari itu.
"Ulangi pertanyaanmu."
"Apa kau dan Clif benar-benar tak bertemu lagi setelah di kedai itu?"
"Benar."
"Apa kau dan Clif sering mengobrol di telepon."
Tora terdiam. Mungkin, itu pertanyaan jebakan.
"Pernah."
"Mengobrol soal apa?"
"Pekerjaan."
"Ah, hanya itu?"
"Ya, pernah dia juga menelepon setelah pertemuan di kedai itu. Mungkin cemas, karena saat itu, aku berpenampilan seperti gembel di hadapannya."
"Ah, begitu."
"Ya. Pacar bosmu itu terlalu baik dan bodoh."
"Diam."
"Haha. Sama rupanya. Bos dan asisten sama-sama mudah terpancing emosi kalau soal perempuan yang satu itu. Padahal, memang benar. Dia itu, terlalu polos. Makanya, mudah dikelabui."
Romi merasa tidak ada gunanya lagi percakapan mereka jika dilanjutkan lebih jauh lagi. Itu hanya akan membuatnya kesal saja.
Perjalanan mereka berakhir di bandara. Romi benar-benar memperhatikan sampai Tora masuk ke dalam pesawat. Sekali lagi, ia tidak ingin ada kesalahan. Setelahnya, ia kembali ke mobil dan mulai memeriksa ponsel Tora.
Apakah ia harus memberitahu San soal panggilan dari Clif?
***
Sementara itu, Clara yang dijemput oleh San untuk berangkat ke tempat kerja, sedang kebingungan. Semua rencana yang sudah ia bangun untuk memulai perbincangan mengenai apa yang ingin ia ketahui kemarin, perlahan menguap dan menghilang.
"Sore ini, mari luangkan waktu untuk jalan-jalan berdua."
"Ah, oke."
Clara jadi terdiam. Nah, mungkin sore adalah waktu yang tepat baginya untuk jujur kepada San.
"Kamu ini, kenapa? Ada apa?"
San rupanya menyadari gelagat aneh yang Clara tunjukkan.
"Aku, tidak apa-apa. Tidak ada masalah. Ada yang ingin aku sampaikan, tapi nanti saja."
"Hei, apa? Kenapa harus nanti? Katakan saja, jangan ragu-ragu. Aku akan dengarkan. Atau ada sesuatu yang sedang kamu butuhkan? Kalau aku mampu, aku akan belikan."
Clara menggeleng cepat. "Tidak-tidak. Bukan seperti itu. Tidak ada yang sedang sangat kubutuhkan. Tidak. Aku hanya ingin menyampaikan sesuatu, tapi kupikir, nanti saja."
San tertawa kecil. "Ada-ada saja, Clif. Kenapa tingkahmu itu kadang seperti anak kecil."
"Ah, maaf-maaf, hehe."
"Tidak perlu meminta maaf. Aku suka."
"Suka?"
San mengangguk, sementara pandangannya masih fokus ke jalanan.
"Ya, aku suka. Kamu seperti itu. Itu lucu."
Clara jadi tersipu malu. "Kalau begitu, tidak ada masalah, ya."
"Ya, memang. Makanya, kubilang tadi, tidak perlu meminta maaf."
"Ah, oke. Aku tidak akan pernah meminta maaf lagi karena tingkahku yang seperti anak kecil."
"Sip. Bagus begitu."
Setelah San selesai mengantarkan Clara, ia menerima telepon dari Romi.
"Ke sini sebentar. Ada yang aneh di ponsel Tora."
"Kau sudah menyelesaikan tugasmu, kan?"
"Sudah. Tapi, ke sini saja sekarang."
"Oke."
San tahu, kalau Romi sedang serius. Segera, San menancap gas untuk menemui Romi.
***
"Ada apa?" tanya San sesampainya di tempat biasa. Romi menyodorkan ponsel Tora.
"Apa benar, ini nomor ponsel Clif?"
San buru-buru mencocokkan nomor panggilan yang diberi nama Clif di ponsel Tora. Dan hasilnya, cocok. Itu memang benar nomor Clara.
"Apa ini? Kenapa bisa?"
"Ya, aku juga kaget."
"Ya ampun. Apa yang sudah terjadi di antara mereka?!"
Romi menggeleng.
"Jangan terburu-buru menyimpulkan." Romi berusaha menenangkan.
"Ya, aku hanya merasa ada sesuatu yang Clara sembunyikan."
"Tanya saja pelan-pelan. Jangan sampai hubungan kalian hancur gara-gara rencana bodoh Tora. Bisa jadi, kan. Dia punya rencana tersembunyi untuk menghancurkanmu."
San diam. Berpikir.