Titik Terang?

1040 Words
WAG BBA panik. Tentu saja, grup yang isinya merupakan teman-teman seperjuangan Clara, sibuk mencari cara agar kasus plagiat yang dituduhkan kepada Clara itu segera selesai. [Clif, kau tenang dulu. Kita akan cari cara.] -Anrez [Benar. Kita harus mengklarifikasi kebenarannya.] -El Selain Anrez dan El, yang lain juga ikut berkomentar yang intinya mereka akan berusaha habis-habisan dalam menjelaskan apa yang sebenarnya. Mereka yakin bahwa Clara tidak melakukan plagiat. Mereka sudah mengenal Clara bertahun-tahun dan tidak mungkin bagi gadis itu melakukan hal paling terlarang yang pantang dilakukan seorang penulis manapun di muka bumi. Kecuali Lora, gadis itu malah langsung bertanya kepada Clara lewat pesan pribadi. Ia seolah meragukan integritas Clara sebagai seorang penulis. [Clif, kau benar-benar tidak pernah mengirim cerpen itu? Apa media yang memuatnya keliru? Tidak mungkin, bukan?] Pesan itu tak langsung dibalas oleh Clara. Clara justru sibuk dengan berbagai komentar serta postingan yang tengah ramai di media sosial dan semuanya terfokus hanya kepada dirinya yang dikatakan sudah melakukan tindak plagiat. Seorang penulis yang cukup terkenal, yang Clara tahu ada di lingkaran yang sama dengan San, mengaku bahwa itu adalah cerpennya yang pernah ia posting di web. Dan hanya diubah sedikit saja. Sehingga terkesan memang diplagiat. Clara, yang membaca klarifikasi sang penulis itu malah semakin tak mengerti. Apa mungkin ia secara tidak sadar melakukan plagiat? Mustahil! Clara sudah membaca cerpen yang sedang dibicarakan itu berkali-kali dan jujur saja, ia merasa tidak pernah membaca cerpen itu sebelumnya. Jadi, apa mungkin? Ia bahkan tidak pernah mengirimkannya ke media. Jadi, mana mungkin? Clara semakin pusing saja, ketika netizen beramai-ramai menuntut dirinya agar mengaku dan meminta maaf. Mengakui apa? Meminta maaf untuk apa? Ketukan seseorang di depan pintu rumahnya membuat Clara sedikit terkejut. "Siapa?" tanyanya sambil bergegas ke sumber suara. "Karin! Kakak oke?" Clara membuka dengan cepat pintu rumahnya. "Ayo masuk!" "Ada apa?" tanya Karin sedikit panik. "Kakak sedang jadi perbincangan di media sosial!" Clara memandang adiknya yang seolah menuntut kebenaran, seolah tidak memiliki kepercayaan terhadapnya. "Karin, kalau kau ingin mengeluh soal itu, sebaiknya kamu pulang lagi. Jangan ke sini. Kakak memintamu ke sini, agar Kakak setidaknya bisa mengalihkan sejenak pikiran Kakak yang sedang ruwet ini. Diberitahu begitu, Karin langsung diam. "Maaf jika Kakak agar kasar, tapi sungguh Kakak juga tidak mengerti dan satu hal yang harus kamu tahu, Kakak tidak melakukan apa yang mereka tuduhkan. Kakak tidak pernah melakukan plagiat terhadap karya manapun. Itu yang harus kamu tahu, Karin." Karin menunduk. "Maaf. Aku hanya terkejut." Clara menghela napas. "Sama. Kakak juga sangat kaget dengan apa yang terjadi. Ini di luar kendali Kakak dan Kakak belum bisa berpikir dengan benar sekarang. Dari tadi, Kakak hanya melihat ponsel terus. Kakak harus berpikir apa yang sebaiknya Kakak lakukan demi membuat semuanya jadi jelas dan orang-orang kembali percaya." Karin menatap kakaknya dengan perasaan iba. Ia kemudian ke dapur dan mengambil segelas air minum. "Ini. Minum dulu." Clara menerimanya dan dalam sekejap, air itu sudah tandas. "Duduk dulu, Kak." Karin jadi lebih tenang dan itu berefek bagus bagi Clara. "Aku tidak tahu apa pun soal dunia Kakak. Jadi tadi, aku sangat terkejut dan kupikir, bisa saja Kakak memang melakukan kesalahan. Maaf jika ternyata Kakak tidak benar-benar melakukan itu." "Iya, Karin. Kakak benar-benar tidak melakukan plagiat. Tidak sama sekali. Kakak penasaran. Siapa orang di balik kejadian ini." "Orang di balik kejadian ini?" Clara mengangguk. "Ya. Orang di balik kejadian ini, Karin. Kakak ingin tahu. Kamu harus tahu juga, Kakak baru keluar dari pekerjaan Kakak." "Apa?" "Ya. Kakak tidak lagi bekerja di bawah Kristo Wijaya lagi." "Kenapa?" "Panjang ceritanya. Tapi satu yang pasti, yang kamu juga harus tahu, Kristo Wijaya bukanlah seperti yang kita pikirkan selama ini. Dia bukan politisi polos dan sempurna, seperti yang kita pikir selama ini." Karin diam, mencoba memahami apa yang Clara katakan. "Lalu, sekarang harus bagaimana? Kalau sudah begini?" "Kakak harus tahu dulu siapa orang di balik ini. Barulah, itu akan bisa diselesaikan dengan perlahan." "Tapi, siapa yang bisa kita pintai bantuan? Di saat seperti ini?" Clara menggeleng. "Entah, Karin. Kakak juga tidak tahu. Anak-anak BBA, teman-teman Kakak sudah menyusun rencana untuk membantu Kakak dalam menyelesaikan tuduhan ini. Tapi, mereka belum punya bukti yang menguatkan. Media yang disinggung sejak awal pun, dengan percaya dirinya juga mengatakan bahwa Clara memang mengirimkan karya tersebut. Gadis itu tak habis pikir dan perlahan mulai mengerti. Siapa yang bisa mengendalikan media? Siapa yang pegang kendali penuh terhadap media sosial dan siapa yang memiliki fondasi yang kuat tentang citra yang ditampilkan di publik? Kristo Wijaya. Tidak lain dan tidak bukan. "Kak? Bagaimana ini? Apa aku juga harus melakukan sesuatu? Katakan apa yang harus kulakukan juga?" "Karin, apa sampah di rumah ini, apa ibu kemarin mampir kemari dan membuang sampah?" Clara bertanya sambil mencari tempat sampah yang mungkin masih berisi sobekan-sobekan selembar kertas yang Clara curigai sebagai bukti korupsi Kristo Wijaya. Karin yang tidak tahu menahu soal itu mengekor Clara dari belakang. "Semoga masih ada," gumam Clara dan ia mendapati di tong sampah di sudut kamarnya. Sobekan demi sobekan itu masih ada. Ah, ia lega. "Memangnya, itu apa, Kak?" "Ini sesuatu yang penting." "Sangat penting?" Clara mengangguk. "Ya, ini bisa saja, jadi cara satu-satunya agar Kakak bisa keluar dari permasalahan yang sedang terjadi." Sebuah ketukan pintu kembali terdengar. "Biar aku yang buka!" Karin bergegas membuka pintu. Sementara Clara segera menyembunyikan sobekan-sobekan kertas itu ke dalam laci. Ia harus menyambungkannya lagi dan menyimpan kertas itu baik-baik. "Kak, ini Kak Anrez!" Clara lega. Sebenarnya, ia takut kalau-kalau ada orang asing yang datang ke rumahnya dan bertindak macam-macam. Kristo Wijaya bisa saja bermain curang dan kasar. Ia pernah dengar soal politisi yang bermain dengan pembunuh bayaran atau tukang pukul, dan lain-lain. Mengerikan. Semua pemikiran buruk itu menyerang dirinya. Dalam keadaan seperti itu, memang prasangka buruk mudah menyerang. "Rez!" Clara menyapa. Anrez menatap Clara dengan tatapan cemas. "Kamu baik-baik saja?" tanyanya kemudian. Clara menggeleng. "Aku buruk. Rasanya ini sangat mendadak. Aku tidak tahu kenapa tiba-tiba bisa begitu. Semua bukti yang ada di media sosial mengarah padaku dan jujur saja, aku tidak pernah mengirimkan cerpen apa pun ke media tersebut. Kenapa bisa tiba-tiba ada cerpen yang bukan karyaku dengan namaku tercantum di sana? Ini aneh dan sangat tidak masuk akal, Rez." "Siapa orang di balik ini? Clif, kamu bukan penulis berpengaruh seperti pacarmu itu. Jadi, kenapa kamu yang jadi sasarannya?" Anrez penasaran. "Kurasa, aku tahu jawabannya," ucap Clara.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD