Kekesalan Grey masih terbawa sampai pulang ke rumah. Seusai membersihkan diri, Grey menghempaskan tubuhnya di ranjang dan membuka ponselnya. Entah kenapa masih sangat kesal dengan sikap Xabiru yang seolah tidak mengenal dirinya, padahal pria itu tau siapa dirinya.
"Dia memang c***l dan suka mempermainkan orang," gerutu Grey sangat geram sekali sekali.
Grey memainkan ponsel untuk melupakan wajah menyebalkan Xabiru, akan tetapi ia kemudian teringat akan sesuatu. "Ck, untuk apa juga aku memikirkan pria menyebalkan seperti dia sih! Arghhhhhhhh!"
Grey mengamuk sendiri dengan memukuli kepalanya, menendang-nendang seperti orang gila karena malu akan sikapnya itu. Padahal sebelumnya ia tidak pernah seperti ini.
"Grey, kenapa denganmu?" Bastian yang baru saja masuk kamar mengernyit saat melihat ulah Grey barusan.
Grey terkesiap, sontak langsung terduduk dengan karena kaget. "Mas sejak kapan disitu?" tanah Grey.
"Enggak lama, kenapa memangnya?" Bastian menjawab acuh.
Grey mendesis pelan, ekor matanya melirik Bastian yang melepaskan kemejanya. Melihat tubuh Bastian, adalah hal yang paling Grey sukai, namun kali ini entah kenapa ia merasa biasa saja. Justru terbayang-bayang akan pelukan hangat dan aroma maskulin Xabiru.
"Arghhhhhhhh, kenapa dia lagi sih?" batin Grey sebal sekali.
"Malam ini Papa sama Mama mau ngajak dinner diluar. Kamu siap-siap ya," ujar Bastian.
"Tumben?" Dahi Grey sontak mengernyit. "Ada acara apa memangnya?"
"Mas Sada naik jabatan di anggota kepolisian. Sekalian syukuran kehamilan mbak Riana," jelas Bastian.
"Mbak Riana hamil lagi?"
Riana adalah saudari iparnya, alias istri dari Sada—kakak laki-laki Bastian satu-satunya. Seingat Grey wanita itu sudah punya anak kecil berumur 3 tahun dan mereka tinggal di Surabaya. Jadi Grey pun jarang ketemu.
"Iya, Alina mau punya adik. Mama seneng banget."
Grey tersenyum kecut, setelah ia ia yakin akan ada kata-kata ajaib yang keluar dari bibir mertuanya itu. Sebelumnya sudah ada kata-kata yang luar biasa menyakitkan, kini ditambah akan hadirnya cucu kesayangan dari anak kesayangan. Sudah bisa dipastikan jika Grey akan semakin terintimidasi nanti.
"Kalau misal aku nggak ikut gimana, Mas?"
Bastian mengangkat pandangannya dengan ekspresi datar. "Kamu mau buat orang tua Mas mikir macem-macem? Kamu harus
dateng, Greysia."
Grey mengulum bibir menyembunyikan kekecewaan di wajah. Entah sudah keberapa kali ia dikecewakan oleh Bastian. Terlalu sering sampai lupa bagaimana bedanya sakit dan benar-benar sakit.
*
"Wah, auranya bumil kuat banget. Makin bersinar, makin cantik. Duh, Mama yakin anaknya perempuan lagi ini."
Grey mengunyah makanannya dengan cepat. Rasanya telinga sudah sangat pengang mendengar sejak tadi Ibu mertuanya terus melontarkan pujian kepada Riana yang duduk di sampingnya.
Sejak datang ke restoran tempat mereka makan malam, Melinda—ibu mertua Grey tak henti memuji Riana—istri dari Kakak iparnya. Wanita itu sejak dulu memang selalu menjadi kebanggaan sang mertua dan Grey sudah merasa terbiasa akan itu semua.
"Mama tuh bisa aja. Aku 'kan dari dulu gini." Riana tertawa renyah, meminum jus jeruk miliknya dengan sangat elegan. "Oh ya, Grey. Mbak denger kamu sekarang kerja, bener?" Grey mau tak mau mengangkat wajah saat namanya disebut. Ia mengangguk pelan sebagai jawaban.
"Ngapain kerja? Bukannya Bastian udah ngasih semua gajinya ke kamu?" tukas Melinda.
Grey membuka mulutnya, ingin menyanggah ucapan itu. Namun ia melirik ke arah Bastian, berharap pria itu yang akan membelanya di depan mertua.
"Kalau kamu kayak gitu sama aja buat marwah suamimu jatuh, Grey. Kesannya anak Mama yang nggak nafkahi kamu, ngapain sih kamu kerja segala?" Masih berlanjut mengomel, kali ini dengan nada suara yang cukup kesal.
"Aku kerja atas izin Mas Bastian kok, Ma. Lagipula nggak kerja berat, jarang ada yang tau kalau aku kerja—"
"Mau kerja berat atau enggak kek, tetap aja kamu tuh nggak bersyukur jadi istri. Lihat deh mbak kamu ini, diem di rumah suami jadi tenang kerja. Kalau kamu keluyuran kayak gitu, yang ada Bastian kepikiran," sergah Melinda.
Grey tanpa sadar mengepalkan tangannya. Ia tahu topik pembahasan seperti ini akan menjadi santapan saat pertemuan keluarga. Tapi kali ini Grey sangat emosional sekali, ia merasa tidak bersalah karena yang dia lakukan atas izin dari suaminya.
"Mama bener Grey, mungkin karena kamu banyak gerak makanya nggak hamil-hamil. Udah satu tahun loh kalian nikah," timpal Riana semakin membuat Grey terpojok.
Grey menarik napas panjang, berusaha untuk menahan emosinya. "Aku nggak hamil-hamil, terus mbak nyalahin aku? Kenapa nggak mbak tanyain ke Mas Bastian kenapa sampai sekarang aku belum hamil?"
"Jadi maksud kamu yang salah anak Mama?" Melinda sontak menyela, kekesalan semakin menghiasi wajahnya. "Kamu ini jangan suka mencari kambing hitam atas kesalahan yang kamu buat, Grey. Sebelum menikah denganmu anak-anak Mama sudah melakukan pemeriksaan dan hasilnya mereka sehat. Sekarang kamu nggak hamil-hamil, artinya memang masalahnya ada di kamu!"
"Aku juga pengen hamil, Ma!" Grey berteriak kesal, tak tahan lagi akan sikap Melinda yang terus menyalahkan dirinya.
Suara Grey cukup keras membuat para lelaki yang tadinya tengah mengobrol menoleh ke arah mereka. Terutama Bastian yang langsung melayangkan tatapan tajam ke arah Grey.
"Bas, istri kamu ini kurang ajar banget. Mama cuma bilang pengen dia secepatnya hamil, tapi malah bentak-bentak Mama. Kamu bisa nggak sih Bas nasehatin istri kamu ini," tukas Melinda.
Grey semakin kesal, ingin membantah namun Bastian segera memberikan tatapan penuh peringatan. "Grey, minta maaf sama Mama."
Grey melengos sembari mengusap air matanya, mungkin ia akan mengalah jika ini terjadi sebelum-sebelumnya. Namun, kali ini ia tidak merasa bersalah.
"Aku nggak merasa bersalah."
Situasi semakin tegang akan sikap Grey yang memancing konfrontasi. Mungkin jika tidak dilerai oleh Haikal—Papa Bastian situasi tegang itu semakin panjang. Namun, meskipun begitu, Melinda masih kesal hingga melontarkan kalimat paling menjijikkan yang pernah Grey dengar.
"Kalau istri kamu nggak hamil dalam waktu dekat, lebih baik kamu cari istri lagi. Perempuan kok nggak bisa diatur kayak gitu, mau jadi apa?"
Meski suara itu berbisik, Grey masih mendengar sangat jelas sekali. Menambah luka dalam yang belum sembuh ditimpa oleh luka baru yang membuat rasa sakitnya semakin terasa. Grey tidak ingin berharap apa pun lagi dari suaminya. Mungkin memang pada akhirnya ia yang harus menyerah.
"Kamu nggak usah dengerin omongan Mama. Cukup diam aja, nanti Mama pasti diem sendiri."
Grey tertawa kecil mendengar perkataan dari sang suami ketika mereka sampai di rumah. Ia melepaskan anting dan perhiasan miliknya, beserta baju hingga ia telanjang di depan suaminya.
"Grey, kamu." Bastian terkejut sekali melihat apa yang dilakukan Grey.
"Kalau Mas memang peduli dan masih ingin mempertahankan rumah tangga ini. Sentuh aku sekarang," kata Grey menekan rasa sakit karena merasa ini adalah hal yang sangat menjijikkan. "Karena disini masalahnya bukan ada pada aku, tapi pada Mas Bastian." Bastian terlihat resah, membuat Grey cukup gentar.
"Kita buktikan, Mas bisa buat aku hamil atau tidak?"
"Jika memang tidak bisa ... artinya Mas Bastian yang tidak normal."
"Greysia!"
Tidak menyangka jika kalimat Grey yang terakhir memicu amarah Bastian hingga langsung melayangkan sebuah tamparan keras pada pipi Grey. Sangat keras sekali hingga tubuh mungil itu terhuyung jatuh.
"Jangan lancang kamu!" hardik Bastian terlihat sangat marah sekali. Wajahnya yang biasa tenang terlihat merah hingga ke telinga.
Grey seperti orang linglung, tamparan itu sangat keras hingga kepalanya berdengung pusing. Ia merasa sudut bibirnya robek hingga berdarah. Selama menikah, ini kali pertama Bastian memukul dirinya. Grey tersenyum penuh ironi.
"Aku lancang? Ya memang! Aku yakin ada hal besar yang Mas sembunyikan dari aku. Mas nggak mau nyentuh aku karena Mas Bastian memang tidak normal!" jerit Grey.
Bastian semakin murka, ia menarik tangan Grey dengan kasar lalu menyeret wanita itu di ranjang. "Kamu sangat ingin aku sentuh? Baik, jangan menyesal setelah semua itu terjadi."
"Mas!"
Bersambung~