Terungkap

1946 Words
“Ah, Vian aku sungguh mencintaimu." Samar-samar aku mendengar suara itu, perlahan aku mendekat untuk memastikan. Deg! Aku menjatuhkan gelas kecil yang sejak tadi aku genggam. “Nadia.” “Nadia.” Ujar mereka serempak. Tubuhku kaku, kakiku bahkan tak mampu menopang beban tubuhku lagi. Di tambah mata sialanku ini bahkan sudah mengeluarkan bulir-bulir bening sejak pertama kali aku melihat mereka. “Enggak!” Aku menggelengkan kepalaku perlahan. Berharap apa yang aku lihat hanya mimpi atau halusinasi belaka. “Nadia! Ini tidak seperti yang kamu lihat, Nad.” Sial! Vian mencengkram tanganku, membuatku sadar jika ini bukanlah hayalan. Aku menatapnya sendu, netraku meneliti, melihat kancing kemeja yang Vian kenakan terbuka. Kemudian aku menatap Gina yang sibuk merapikannya dress seksinya dan rambutnya yang berantakan. “Hah.” Aku menyeringai tipis melihat penampilan mereka berdua. Hatiku semakin sakit tatkala kedua kakiku sulit digerakkan untuk pergi dari hadapan mereka. “Nadia! Ini nggak seperti yang kamu lihat.” “Iya Nad, kita tadi hanya… kita tadi hanya mengobrol saja," timpal Gina berusaha menjelaskan kebohongannya. Keningnya berkerut panik, begitu juga dengan Vian. Pria sialan itu. Hah? Apa tadi katanya? Mengobrol? Kalian pikir aku balita yang percaya begitu saja dengan ocehan kalian. “Nad! Kenapa kamu diam aja, ayo ngomong dong!” mohon Vian yang merasa gelisah melihat keterdiaman kekasihnya. “Katakan padaku jika kamu percaya padaku, percayalah Nad aku hanya milikmu.” Vian terus berusaha meyakinkanku agar aku percaya dengan perkataannya yang berisi banyak kebohongan. Plak! Tamparan keras mendarat di pipi Vian, pria itu mengelus pipinya yang memerah akibat tamparan tersebut. Aku menoleh, tubuhku membeku mendapati siapa pelakunya. “Bapak?” ucapku terbata-bata. Aku menatapnya tak percaya, Pak Rangga menampar Vian dengan keras. Di sini? Di club ini. Bagaimana bisa? Aku melihat rahangnya yang kokoh, uratnya terlihat sangat jelas. Sorot tajam ia lemparkan pada Vian dan Gina yang ketakutan. “Pergi!” sentaknya dengan tegas. Suara Pak Rangga menggema mengisi seluruh ruangan. Vian mengepal, mata merahnya menatap tajam pria yang menamparnya dengan keras. Kukira Vian akan berbalik menampar Pak Rangga atau melawannya. Namun, di luar naluriku, pria sialan itu malah meraih tangan Gina dan melenggang pergi dari hadapan kami. Bisa dibayangkan bagaimana posisiku sekarang bukan? Pria yang telah mengambil kesucianku dengan teganya malah berselingkuh dengan sahabatku dan sekarang, dia malah lebih memilih Gina dan pergi dari hadapan kami. “Vian!!!” teriakku sekeras mungkin. Aku ingin mengejarnya. Namun, tangan Pak Rangga yang kokoh menahanku. Aku menangis, marah dan kecewa bercampur menjadi satu. Aku memang bodoh! Sangat bodoh bahkan aku merasa menjadi gadis paling bodoh di dunia ini. “Kenapa ini terjadi padaku, hiksss...” Aku menjatuhkan diriku, menatap kepergian Vian dan Gina dengan tatapan kosong. Dosa-dosaku terlalu berat untukku pikul. Pak Rangga mencoba memelukku, namun aku tidak peduli. Aku mendorongnya dengan kasar. “Nadia! Sadarlah!” bentaknya padaku. Suara Pak Rangga sedikit membuatku sadar dan menatapnya, namun bayang-bayangan Vian bersama Gina itu kembali menyerang mataku hingga membuatku kembali menangis. “Hikss, hiksss, dia telah menghianatiku, Pak…” lirihku menjatuhkan tubuhku di pelukannya. Aku tak peduli lagi, aku butuh sandaran saat ini. Aku tidak peduli lagi dengan kesopanan dengan dosen itu. Di pelukannya membuatku sedikit lebih tenang, melupakan kejadian menyakitkan yang baru saja terjadi di depan mataku. Namun tak lama, tiba-tiba perutku bergejolak. Aku berlari, hanya satu tujuanku saat ini. Mengeluarkan seluruh isi yang ada di perutku. “Uwek!” Perutku sangat bergejolak, padahal baru setengah jam aku berada di tempat aneh ini. Bau alkohol itu terus menghunus hidungku hingga membuat perutku tak nyaman. Dengan sisa tenaga aku terus mengeluarkan isi yang ada di dalam perutku. “Uwek, uwek!” Sambil menangis aku berusaha sebisa mungkin mengeluarkannya. Berharap hal itu membuat perutku kembali nyaman dan tenang. Pak Rangga tetap setia di sampingku, pria yang sangat aku hormati itu sedang memijit tengkuk leherku dengan penuh perasaan. Aku kembali menangis, kenyataan pahit ini membuat hatiku hancur. Setelah mengambil hal paling berharga dariku pria itu malah dengan senangnya mendekati sahabatku juga, tak hanya itu. Hubungan mereka juga bahkan lebih jauh dariku. Bayang-bayang itu membuat kepalaku pusing, aku merasa bumi berputar dan perlahan gelap. “Nadia!!!” teriak Pak Rangga ketika aku terjatuh pingsan. Setelah kejadian itu, selama satu minggu aku tidak pernah keluar kamar sekalipun, meski hanya untuk makan atau mandi. Ayah dan ibu selalu memintaku untuk membuka pintu. Namun, aku menolak dan mengatakan jika aku baik-baik saja. Seperti hari ini, aku masih mengurung diri di kamar. Bayang-bayang antara Vian dan Gina sukses merenggut senyuman manis di wajahku. Kesedihanku bertambah berkali-kali lipat ketika menyadari bahwa tidak ada satupun dari mereka yang menemuiku dan meminta maaf padaku. Hanya ada Pak Rangga yang selalu datang setiap pagi ke rumahku, entah apa yang diinginkan dosenku itu. Aku hanya mengira jika dia mungkin hanya kasihan pada gadis menyedihkan sepertiku. “Hmm, uwek!” Aku berlari dan lagi-lagi mengeluarkan isi perutku yang aku tahu sudah kosong. Aku sengaja tidak makan atau minum apapun agar tidak kembali mual, namun ternyata aku salah. Selain menyedihkan, ternyata aku juga seorang gadis yang penyakitan. Sudah seminggu ini juga aku mual dan muntah-muntah setiap pagi. Jika siang, perutku akan lapar dan ketika sore menjelang malam aku kembali muntah hingga wajahku pucat. Tak hanya itu penderitaanku, malamnya aku selalu merasakan dingin yang luar biasa meski sudah memakai baju dan selimut yang tebal. Tapi tunggu, aku mengetikkan sesuatu di ponselku. “Mphh.” Aku menutup mulut agar tidak kembali menangis. Kejadian-kejadian yang aku alami ini persis seperti efek orang hamil, aku mencarinya di google. Semua keluhanku sama persis seperti orang hamil. Tidak! Ini tidak mungkin. Aku menyambar jaket tebal dan maskerku kemudian memanjat jendela dan pergi dari sana, tujuanku hanya satu. Ke apotik dan membeli test pack kehamilan, aku tidak punya keberanian untuk mengecek langsung ke dokter atau bidan dan memilih jalan ini. Setelah menutup kamar mandi umum, segera aku menyiapkan semua alat dan mencobanya. 1 menit menunggu membuat jantungku berdetak cepat, spot jantungku memang sangat mengkhawatirkannya, apalagi dalam posisi genting seperti ini. Sudah puluhan kali mulutku mengucap doa dan berharap negative. “Garis dua…" ucapku dengan lirih kemudian menutup mulutku agar tidak menangis. Di situlah keadaan dimana aku mengalami hal paling membingungkan. Aku hamil, akibat ketidakberdayaanku untuk melawan nafsu hingga membuat aku hamil. Aku mengandung janin dari seorang pria penghianat yang sudah berkhianat dengan sahabatku sendiri. Tak ada yang bisa aku lakukan sejak saat itu selain menangis dan menyesal, aku sangat menyesal. Andai waktu bisa diputar, aku tidak akan pernah percaya cinta dan menerima ajakan dari Vian untuk berpacaran. Aku pasti akan mengikuti ucapan ayah. Namun saat ini, semuanya sudah terlambat. Aku sudah melakukan hal itu, bahkan aku sudah hamil anak pria tidak bertanggung jawab itu. Akan bagaimana aku setelah ini, akan jadi apa aku setelah ini? Menikah dan menjadi ibu? Aku tidak mau! Aku masih muda, aku juga tidak mungkin kembali dengan pria sialan itu dan menikah dengannya. Tidak! Tapi aku akan bagaimana? Aaaaa Tuhan! Aku mengaku aku salah dan sangat berdosa. Namun, mengapa balasannya sebesar dan sepedih ini. Aku tidak bisa membayangkan wajah ayah dan ibuku jika mereka tahu aku hamil sebelum menikah. Apalagi jika mereka tahu pria yang telah menghamiliku telah berselingkuh, aku tidak bisa membayangkan hal mengerikan itu. Tapi tidak, apapun dan bagaimanapun Vian adalah ayah dari anak ini. Dia harus bertanggung jawab. Tapi bagaimana dengan Gina? Bagaimana jika dia juga hamil sepertiku. Ah, persetan dengan semua itu! Intinya Vian harus tahu soal ini. Dengan cepat aku membenarkan jaketku dan menghapus air mataku. “Ke jalan pahlawan, Pak,” ujarku pada sopir taksi yang saat ini aku tumpangi. Tidak ada hal lain lagi yang aku pikirkan selain memberi tahu hal ini pada Vian. Aku mempercepat langkah kakiku, jantungku berdetak cepat tak berirama. Aku takut, cemas, kecewa bercampur menjadi satu. Tidak ada apapun yang terlintas dalam pikiranku selain satu hal itu. Aku semakin bergegas agar segera sampai di tujuan. Namun, tanpa sengaja tiba-tiba tubuhku bertabrakan dengan seseorang. “Auw.” Tubuhku terpental hingga jatuh mendarat halus di permukaan lantai. Aku memang berjalan dengan tergesa-gesa karena terlalu fokus pada benda kecil yang kini aku sembunyikan di balik saku. Bagaimana aku tidak fokus? Benda itu menjadi penentu hidup dan masa depanku. “Bapak, maafkan saya. Saya tidak sengaja,” ujarku sopan sambil menunduk, aku tak berani menatapnya. Wajahnya kadang membuatku tak sadarkan diri akibat ketampanannya. Rangga Prasetya, dosenku yang satu ini adalah dosen termuda dan tertampan di kampus ini. Tidak hanya tampan dan pintar, pria itu juga ternyata sangat kaya dan multi talenta. Paket lengkap. Sungguh, pria idaman seluruh wanita. Jika saja aku bertemu dengannya lebih dulu sebelum kejadian itu, mungkin aku juga akan merasakan hal yang sama seperti yang dirasakan oleh mahasiswi kebanyakan di kampus. Tertarik bahkan tergila-gila padanya. “Lain kali hati-hati.” “Iya, Pak. Maafkan saya,” tuturku dengan masih tertunduk, aku hanya menatap sepatu hitamnya yang bersih dan mengkilat. “Tegakkan kepalamu!” titah Pak Rangga dengan tegas. Tegakkan? Oh tidak! Aku tidak mungkin melakukan itu. “Nadia Arfahinata!” panggilnya karena aku tak kunjung mengangkat kepalaku yang tertunduk. “Eh iya, Pak.” jawabku dengan segera dan langsung mendongkak, menatap wajah tampan dosenku yang satu itu. Nah kan, sekarang Pak Rangga tersenyum, tampak sangat manis. Ah, senyuman Pak Rangga membuat tulang sumsumku langsung lemas tak berenergi. Tak ingin khilaf lagi, kemudian dengan cepat aku berbalik dan berlari setelah aku berpamitan padanya. Kini, aku sudah di tempat biasa. Tempat di mana aku dan dia berbincang dan bertemu secara rahasia. Hatiku kembali hancur ketika melihat Vian dan Gina sedang berada di tempat itu, aku yakin Vian menyadari kehadiranku karena posisi kita sangat dekat. Namun dia seolah tak melihatku, tangan Vian bahkan dengan sengaja membelai wajah cantik Gina begitu lembutnya. Lalu mengecup pipi wanita itu di hadapanku. Gina tersenyum puas melihat perlakuan lembut Vian padanya. Gila! Ini hal tergila yang aku pernah alami selama seumur hidupku. Setelah kejadian itu, kukira mereka akan merasa bersalah dan meminta maaf padaku, namun ternyata sangat di luar dugaan. Kedua pasangan tak tahu malu itu malah lebih bertindak, mereka bahkan tak segan memamerkan kemesraannya di depanku. Cih! Aku mengelus perutku, bagaimana bisa aku dengan mudahnya memberikan kehormatanku pada pria sampah sepertinya. “Ekhem.” Mereka tak menggubris, aku mengepal. Namun demi anak yang ada di kandunganku, ayahnya harus tahu hal ini. “Aku hamil, Vian!” ucapku dengan tegas membuat dia menghentikan aksinya. Gina kelimpungan setelah menyadari kehadiranku, wanita itu tampak panik sambil membenarkan rambutnya. “APA?!” teriak dua orang pria di belakangku. “Ayah, Pak Rangga…" lirihku menatap mereka dengan kedua mata berkaca-kaca. Berakhir sudah masa depanku, ayahku mengikutiku sampai ke sini dan mendengar ucapanku tadi? Tuhan! Kumohon cabut saja nyawaku saat ini. Aku tidak sanggup melihat wajahnya lagi, wajahnya tampak merah padam, tangannya mengepal kuat. Begitu juga dengan pria di sampingnya, Pak Rangga juga tak kalah marahnya seperti ayahku. Wajah pria itu bahkan lebih mengerikan dibandingkan dengan ayahku. Ayah berlari menghampiri Vian, membogem pria itu dengan membabi buta, tak sedetikpun membiarkan Vian bernapas dan menghindar. Mata ayah sudah gelap oleh kemarahan, dia bahkan tidak merasakan sakit ketika tangannya terluka akibat menonjok tembok ketika Vian mengelak. “Ayah sudah, kumohon hentikan!” teriakku panik melihat wajah Vian yang sudah tak terbentuk dan dipenuhi oleh darah. Bukan malah berhenti, ayah malah lebih membogem Vian dengan lebih keras. “Bapak! Kumohon hentikan mereka.” Aku menggoyangkan lengan Pak Rangga yang hanya diam saja menyaksikan hal itu. “Ayah! Pak Rangga! kumohon hentikan ayahku hiks.” Aku bersimpuh dan memeluk kaki Pak Rangga berharap dia mau menghentikan ayahku yang sudah seperti monster. Bukan membantu ayahku untuk berhenti, Pak Rangga malah menyingkirkanku dari kakinya hingga membuatku tak sengaja terjungkal dan terbentur batu. “Nadia!” teriak Pak Rangga yang seketika berubah cemas. Samar aku menatap Ayah dan Vian yang berlari ke arahku hingga akhirnya semuanya terlihat gelap. Bersambung...
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD