2

1007 Words
Saat mendengar kumandang azan subuh, aku terbangun dengan kepala luar biasa pening. Mataku juga berat dan lengket karena semalaman terus saja menangis, berharap bahwa yang dikatakan Bang Rivan hanya gurauan tapi ternyata kenyataan. Ini nyata, aku akan dipoligami. Tidak sudi! Aku berkata dalam hati, lalu menyentak napas keras sambil menghalau rasa sakit yang menyeruak ke dalam dada meninggalkan nyeri tak berkesudahan. Aku memijit-mijit kepala yang terus berdenyar pusing karena terus menangis semalaman sampai tidur menjelang pagi, lalu aku menoleh, menatap Bang Rivan yang terlelap pulas, ia bahkan tidur sedikit mendengkur. Dengkur yang selalu kusuka, tapi kini mendengarnya membuatku kesal. Aku beranjak duduk, dengan berpegang dinding agar tidak jatuh karena kepalaku pening sekali, aku pelan-pelan berdiri. Aku hanya berdiri saja cukup lama, lalu ketika tubuhku mulai seimbang dan sakit di kepala sedikit berkurang, aku berjalan ke luar kamar untuk mengambil wudu. Aku salat di kamar salat sambil menahan diri agar tak menangis, dan akhirnya tangisku pecah saat kutengadahkan tangan ke atas, memohon pada-Nya agar aku diberi kesabaran menghadapi semua ini. Bukankah Allah tidak akan menimpakan ujian di luar batas kemampuan kita? Ini terlalu tiba-tiba. Sikap Bang Rivan baik-baik saja selama ini, pulang kerja selalu tepat waktu, sikapnya hangat penuh cinta juga perhatian padaku dan Umi, tapi tahu-tahu aku dihadapkan fakta seperti ini. Sumpah rasanya sangat menyakitkan. Sangat. Setelah puas berdoa sambil menangis mengeluarkan uneg-uneg yang membuat dadaku sedikit lega, aku berjalan menuju dapur untuk memasak. Tapi saat aku membuka mejikom sehingga bisa melihat nasi di dalamnya yang tinggal sedikit, aku kembali menutupnya. Untuk apa aku masak? Astaga, seperti orang bodoh saja mau masak untuknya. Memang dosa hukumnya tak melayani suami, tapi jujur saja aku muak pada Bang Rivan. Aku sakit hati. Aku tak sudi kembali menyiapkan makanan untuknya setelah apa yang dia lakukan padaku, berzina dua kali dan dia bilang itu khilaf? Khilaf, katanya? Mulutku membuka dan aku menggeleng tak habis pikir, itu bukan khilaf tapi nggeragas! Dan sekarang dia meminta diijinkan menikah lagi dengan alasan aku sedang hamil jadi ia tak ingin menyusahkanku? Gila! Gila dan tak berperasaan. Padahal dia sendiri yang waktu itu, lima bulan lalu bilang bahwa ia ingin memiliki anak lelaki. Katanya, kurang lengkap kebahagiaan kalau tidak memiliki anak lelaki. Karena Umi sudah kelas tiga jadi kurasa kembali memiliki anak tak masalah, maka aku pun setuju dengan keinginannya, aku pun hamil. Tapi apa yang terjadi? Yang terjadi setelah aku hamil, aku malah akan dipoligami karena tak maksimal melayaninya di ranjang, dan aku terus muntah-muntah membuatnya jadi tak berselera menyentuhku. Benar-benar ... jahat! Aku menghela napas panjang-panjang, menarik napas dan membuangnya berkali-kali sampai merasa agak tenang lalu membangunkan Umi. Seperti biasa, kebiasaan pagiku adalah memasak, mengurus keperluan Umi termasuk menyiapkan baju dan peralatan sekolahnya, lalu mengantarkannya ke sekolah sambil sekalian aku berangkat kerja. Selain keperluan Umi, aku juga menyiapkan keperluan Bang Rivan termasuk menyiapkan baju yang hendak dipakainya, menyetrikanya, juga menghidangkan sarapan di meja, menemaninya makan karena ia paling tak suka makan sendiri. Tapi karena hatiku sangat sakit sekali, aku tak sudi kembali melakukan semua itu. Masalah Umi, nanti gampang mengajaknya sarapan di kantin sekolahnya atau di pasar Kam dekat toko baju tempat aku bekerja. "Dik, mana baju Abang? Jam segini kenapa belum disiapkan?" Kalau dia bertanya seperti itu, itu artinya Bang Rivan sudah mandi. Aku meraih tas Umi lalu menyelempangkan ke pundaknya. "Ayo Sayang, kita berangkat sekarang." "Kan belum sarapan, Bun," ucap Umi dengan tatapan kebingungan karena biasanya setiap hari ia selalu sarapan di rumah bersama ayahnya. "Nanti kita sarapan di kantin saja." "Dik? Ilana? Mana pakaian Abang kenapa belum disiapkan?" Suara Bang Rivan semakin dekat ke arah kamar Umi. Dan benar saja pintu kamar Umi didorong dari luar lalu Bang Rivan masuk. Ia menatapku dari atas ke bawah yang sudah rapi, lalu berkata dengan tatapan sedikit kesal. "Baju Abang kenapa belum disiapkan?" tanyanya. Mataku menyipit dan aku pura-pura terkejut. Tanganku terangkat lalu menunjuk diriku sendiri. "Apa, Bang? Apa aku tak salah dengar barusan?" Aku tertawa kecil dengan hati sakit, tapi aku tak ingin menunjukkan kelemahanku. Sekalipun dikhianati rasanya sakit sekali membuatku ingin terus menangis juga mengumpat, namun aku tak ingin menunjukkan padanya sisi rapuhku. Ia terlihat heran saat berkata, "Tidak, apanya yang salah, Dik? Biasanya kan kamu selalu menyiapkan pakaian Abang," jawabnya. Aku memandangi tubuh tegap suamiku yang hanya memakai kolor dan kaus dalam saja, tapi sudah terlihat sangat tampan. Wajah tampan itu yang membuatku dulu jatuh cinta padanya, serta sikapnya yang baik dan perhatian membuatku kelepek-kelepek jatuh ke pelukannya. Tapi sekarang aku muak. Aku tak butuh lelaki tampan tapi makan hati begini. "Itu dulu, Bang, sebelum Abang selingkuh dan berzina. Karena Abang akan menikah dengan selingkuhan Abang, jadi mulai sekarang dia yang akan menyiapkan keperluan Abang!" Matanya membulat tak percaya. "Ila, dia kan tidak di sini jadi bagaimana bisa dia menyiapkan keperluan Abang? Cepat siapkan baju Abang dan sarapan, Abang bisa telat ini!" Aku menggeleng tegas. "Tidak sudi, Bang! Bawa aja selingkuhan Abang ke sini. Setelah satu bulan dia tinggal di sini, maka Abang boleh menikahinya!" Lagi-lagi ia menatapku tak percaya. Selama ini aku adalah istri yang lembut juga penuh perhatian, tak pernah aku bicara keras padanya apalagi membentaknya. Jadi, wajar saja jika dia kaget. "Kamu jangan mencoba membantah perintah Abang, ya? Kalau kamu begini terus, bisa-bisa Abang ceraikan kamu!" katanya dengan mata melotot galak dan tangan menuding ke arah wajahku membuat Umi ketakutan karena tak pernah melihat ayahnya marah. Ucapan Bang Rivan tentang cerai membuat hatiku seperti dicabik-cabik. Tapi seperti biasa aku tak pernah mau terlihat lemah. Aku pun balas menatapnya galak. "Oh gak masalah, Bang! Begitu cerai dari Abang aku akan cari yang baru! Tapi jangan lupa, kita ada perjanjian di atas kertas siapa yang mengajak cerai lebih dulu, maka dia gak berhak atas harta yang selama ini kita miliki!" Itulah sebabnya aku tidak mau menuntut cerai lebih dulu sekalipun sudah tahu dia berzina. Aku akan membuatnya menderita, aku harus tegar agar tidak kehilangan semua harta benda karena kebawa perasaan. "Cerai dari Abang, aku akan cari yang baru. Ha ha." Aku tertawa, walau perasaanku hancur. Lalu aku melangkah cepat dengan sedikit menabraknya. Saat aku menoleh, mulutnya tengah menganga tak percaya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD