When you visit our website, if you give your consent, we will use cookies to allow us to collect data for aggregated statistics to improve our service and remember your choice for future visits. Cookie Policy & Privacy Policy
Dear Reader, we use the permissions associated with cookies to keep our website running smoothly and to provide you with personalized content that better meets your needs and ensure the best reading experience. At any time, you can change your permissions for the cookie settings below.
If you would like to learn more about our Cookie, you can click on Privacy Policy.
“Aku minta waktu sebulan, Mas. Aku akan mempertimbangkan banyak hal. Kalau saat itu aku setuju, oke, kita menikah. Kalau enggak, ya udah, kita putus dan sandiwara ini selesai.” Aku mengatakan itu dengan nada yang tegas. Aku sudah memikirkannya, tetapi waktuku rasanya masih kurang. Hal ini tidak bisa diputuskan begitu saja. Aku takut akan menyesal di kemudian hari. Baiklah, memang kuakui kalau visi dan misiku sama dengan Mas Hanif. Itulah kenapa aku akhirnya mempertimbangkannya. Belum lagi, ibunya juga sangat baik. Maka satu masalah dalam rumah tangga— jika kami jadi menikah, selesai. Diakui atau tidak, kerap kali mertua menjadi salah satu masalah paling besar dalam rumah tangga. Tentang Mas Hanif yang berjanji akan membuatku jatuh cinta, aku belum menanggapi hal itu dengan serius. Itu b

