Everything happens for a reason.
***
“Dari mana, Bang?”
Eldra menoleh, mendapati Ian, auto mencengir maksimal.
“Malah nyengir pasta gigi!” ketus Ian.
“Dari mana, Pi?”
“Toilet.” Ian menyapukan pandangannya, seperti tengah mencari seseorang. “Sofi mana?”
“Ada di lobi, Pi. Sama Yara.”
“Yara?”
“Iya, Pi.”
“Kenapa ngga diajak ke sini?”
“Yara pakai jeans dan kaos, Pi.”
Ian mendengus. Tanpa ia sadari, kedua tangannya terangkat naik, bertolak pinggang. Titik pandangnya melewati bahu Eldra dan eskalator ke lantai bawah, seakan menunggu Sofi muncul di sana.
“Kenapa, Pi?” tanya Eldra lagi.
“Ngga tau kenapa, Papi tuh ngga terlalu nyaman ngebiarin Sofi dekat sama Yara.”
Kening Eldra sontak mengerut. Seingatnya, Sofi tak pernah bermasalah dengan Yara. “Papi pernah ngomong ke Sofi?”
“Pernah.”
”Sofi bilang apa, Pi?”
“Malah ngeledek. Katanya, ngga boleh beda-bedain orang.”
“Ngga salah sih, Pi.”
Ian melirik tajam ke calon menantunya, membuat Eldra terkekeh renyah.
“Kenapa Papi ngga nyaman Sofi sahabatan sama Yara?” tanya Eldra kemudian.
“Awalnya ngga begitu sih.” Ian menghela napas panjang. “Mulainya itu sejak Sofi jadi jauh sama Lita.”
Soal Lita, sahabat Sofi yang lain, sebenarnya pun mengganjal di hati Eldra. Sofi memang bersahabat dengan Yara lebih dulu sebelum akhirnya akrab dengan Lita. Namun, jika El boleh menilai, Lita terlihat lebih peduli dan tulus pada Sofi. Masalahnya, entah kenapa, di tahun keempat kuliah, Lita seolah memberi jarak. Bukan berarti memusuhi atau menghindar dari Sofi, hanya saja pembawaan Lita seperti tidak nyaman – canggung.
“Hubungannya sama Yara apa, Pi?”
“Nah itu. Hubungannya apa, Bang?”
“Lho, kok Papi malah nanya Abang?”
“Pokoknya, sejak Sofi curhat, sedih gitu, merasa Lita berubah tapi tiap kali ditanya jawaban Lita ngga apa-apa. Pikiran Papi auto ke Yara aja. Soalnya kan Yara orangnya ceplas-ceplos ya? Sementara Lita biarpun sesekali ocehannya konyol, tapi terbilang lembutlah. Kalau Sofi kan tergantung lawan mainnya gimana. Masa Papi kepikiran Yara ngomong sesuatu yang bikin Lita tersinggung, Bang?”
“Dan itu terkait dengan Sofi, Pi?”
“Who knows?” Ian menaikturunkan bahunya. “Jelek ya pikiran Papi?”
“Mmm … ngga kok, Pi. Papi kan menganalisa seperti itu karena sudah nemuin banyak kasus unpredictable. Dan pastinya, karena Papi khawatir sama Sofi.”
Ian mengangguk pelan.
“Duduk yuk, Pi?” ajak Eldra, ia merangkul Ian, mengajak Ian beringsut ke sebuah sofa yang berada di salah satu sisi lantai tersebut. “Papi mau minum ngga? Biar Abang ambilin.”
“Ngga usah, Papi sudah banyak minum tadi.”
Eldra memberi anggukan. Lalu, samar ia mendengar suara indah Cantika yang tengah berdendang.
“Nyanyi lagi tuh Cantika, Bang,” ujar Ian.
“Iya, Pi. Lagu nikahan banget pula.” Yang Eldra maksud itu From This Moment On-nya Shania Twain.
Ian terkekeh renyah. “Lagi galau apa? Tumben mau bolak-balik nyanyi.”
“Dia mah galau mulu, Pi. Masalah dibiarin sih, bukannya diselesaiin.”
“Sama Sam?”
“Siapa lagi, Pi. Mana kalau ditanya kan ngga-ngga aja. Cuma saudaraan aja sama Sam. Padahal mah, orang buta juga tau mereka saling naksir,” repet Eldra.
“Abang tau ngga masalahnya apa mereka jadi diam-diaman begitu?”
“Ngga, Pi. Sama sekali ngga tau.”
“Hmm,” gumam Ian. “Sama kayak Sofi, ngga tau sama sekali kenapa Lita jadi beda.”
“Tapi Sofi bilang dia masih kontakan sama Lita kok, Pi.”
“Iya, harus Sofi duluan yang ngubungin.”
“Iya sih.”
“Biasanya kan sahabatan jadi jauh kalau rebutan cowok, ya Bang?”
“Bukan karena itu sih, Pi. Lita kan punya cowok, ngga doyan juga dia muka-muka kayak Abang, kayak Papi. Sukanya pribumi tulen. Jadi, ngga mungkin mereka rebutan cowok.”
“Kenapa?”
“Sofi juga ngga mungkin suka sama cowok lain. Mentok di Abang.”
“Pede banget lo!”
“Pedelah, Pi,” kekeh Eldra. “Kalau ngga sepede itu ngga mungkin Abang lamar, ngadepin Papi yang tiba-tiba jutek.”
“Siapa yang bikin jutek?” ketus Ian.
“Anak sulungnya Pak Elang.”
“Untung ngga gue gebok bapak lo!”
Eldra tertawa semakin geli.
“Ngga tega sama anaknya, bapaknya pengen banget gue tampol,” ujar Ian lagi.
“Itu mah dendam pribadi kayaknya, Pi.”
“Love language-nya kita begitu. Bukan kan physical touch, jijik!”
Eldra sakit perut. “Oh iya, Pi,” ujar Eldra kembali. “Ada mantannya Sofi lho, Pi.”
“Mantannya Sofi?” tanya Ian, wajahnya sontak mengeryit.
“Reno. Papi ingat ngga?”
“Ngga mungkinlah Papi lupa. Wah, musti Papi racun dulu tuh.”
“Pengacara ngga boleh punya otak kriminal, Pi.”
“Justru pengacara itu otaknya kriminal abis. Kita harus bisa ngikutin cara pikir lawan, dalam kasus Papi kan lebih sering membela korban, supaya bisa mengambil langkah yang tepat untuk melindungi klien kita.”
“Ya ngga diterapin untuk ngeracunin mantannya Sofi juga, Pi.”
“Why not?” balas Ian, tengil. “Kok bisa di sini dia? Siapanya Bumi dan Yuna?”
“Food testing katanya, Pi.”
“Dia mau nikah?”
“Baru mau tunangan, Pi. Datang sama ceweknya.”
“EO-nya RBO? Atau ngambil catering aja?”
“EO-nya pakai RBO. Kebetulan banget ya, Pi?”
“Papi tuh orang yang paling ngga percaya sama yang namanya kebetulan. Dan … kalaupun benar kebetulan, biasanya ada lanjutannya. Ngga cuma selewatan begitu aja.”
“Jangan dong, Pi. Soalnya tadi Sofi jutek banget. Mana ceweknya si Reno kayak yang nantangin Sofi gitu. Lagian Abang mah bingung, kok bisa Reno sesantai itu nyindir Sofi dan Abang, padahal ada ceweknya.”
“Cewek juga kan tipenya banyak, Bang. Ngga semuanya tulus kayak Sofi. Ada juga yang gila. Ketemu cowok gila kayak ….”
“Reno, Pi.”
“Nah iya, kayak Reno … ya jadi combo gila.”
“Papi,” kekeh Eldra. “Ngga semua orang bersama karena saling sayang, ya Pi?”
“Hmm. Ada yang bersama karena klik aja, karena kepentingan atau bisnis, banyak sebabnya, Bang.”
Eldra menghela napasnya keras. “Entahlah, Pi. Semoga aja mereka beneran jadi, biar ngga gangguin Abang dan Sofi.”
“Ngeri?”
“Papi sih nakutin!”
“Dih, kenapa jadi Papi?” Ian terkekeh mendengar protes Eldra, namun tawanya cepat meredup, berganti dengan ekspresi serius. Tatapannya tajam tertuju pada pria muda yang dicintai putri sulungnya itu, membuat suasana di antara mereka tiba-tiba terasa berbeda. “Bang,” tegur Ian pelan, nada suaranya berubah lebih dalam dan tegas.
Eldra otomatis menegakkan duduknya. “Iya, Pi?”
Ian menghela napas panjang, seakan mencari kalimat yang tepat. Namun, hanya dua kata yang didapatnya. “Jagain Sofi.”
Kalimat yang sangat sederhana, tapi sarat makna. Eldra sempat terdiam, menatap Ian dengan kening berkerut.
“Maksud Papi … perhatiin Sofi. Kalau ada yang bikin dia ngga nyaman, apalagi sampai nyakitin dia, Abang harus jadi orang pertama yang berdiri di depannya.”
Nada Ian begitu serius, bahkan ada kesungguhan memohon yang jarang Eldra dengar sebelumnya.
“Papi kenapa tiba-tiba ngomong kayak begini?” tanya Eldra hati-hati. “Tanpa Papi minta pun, Abang pasti merhatiin Sofi.”
Ian menghela napas lagi, tatapannya menerawang sejenak sebelum kembali menatap Eldra. “Kan Papi bilang, Papi adalah orang ngga percaya dengan kebetulan.”
“Kebetulan?”
Kepala Ian mengangguk. “Papi jadi ngga tenang aja. Ada Yara, yang nemuin Sofi tanpa menempatkan diri, justru ngajak ketemuan di lobi. Kan ngga bener. Harusnya dia bersiap sesuai tempatlah, minimal untuk nyapa Mami Papi. Sofi kan lagi ada acara keluarga.” Jeda sejenak, Ian bernapas dalam lebih dulu. “Terus, Abang bilang Reno ada di sini ….” Ian menggantung kalimatnya, seolah berpikir ulang untuk melanjutkan.
Eldra tak berani menanggapi, meski otaknya jadi memikirkan perkataan Ian. Mana Ian itu intuisinya kuat sekali, membuat Eldra ikutan cemas.
“Papi cuma khawatir, ada yang ngga beres.”
Tuh kan, kesebut dah kalimat terlarang.
“Entah dari Yara, ya bisa aja kan satu hari nanti hubungan pertemanan mereka merenggang, Sofi sedih lagi kayak pas Lita berubah sikap. Dan soal Reno … Papi ngga percaya orang itu cuma sekedar food testing. Soalnya, dulu, dia yang salah, dia yang ketahuan main cewek, dia juga yang playing victim, ngga terima diputusin Sofi, ngoceh seenak jidat ke mana-mana.”
Ya, dulu itu, Reno pernah menyebarkan gosip jika Sofi berubah karena selingkuh dengan Eldra. Tapi giliran Reno dekat sama cewek lain, Sofi main tuduh Reno yang berkhianat dan memutuskannya secara sepihak. Ocehan yang membuat Sofi dan Eldra menjadi pasif di antara alumni SMAnya, malas ditanya-tanya.
Eldra mendengus keras, lalu mengangguk mantap. “Tenang, Pi. Abang ngga akan biarin Sofi kenapa-kenapa. InshaaAllah Abang janji.”
Sesaat, mereka terdiam. Hanya suara musik dari ballroom yang terdengar samar. Ian menepuk pelan bahu Eldra, seakan menegaskan bahwa ia benar-benar percaya pada calon menantunya itu.
“Tapi, Bang …” Ian bersuara lagi, kali ini lebih santai. “Kalau ada apa-apa, jangan sok jagoan. Kasih tau Papi, papamu.”
“Papa cerita apa sama Papi?”
“Cuma nyuruh Papi siap-siap ngirim mimpi buruk.”
“Ngga mungkin cuma. Papi pasti kepo kenapa, terus Papa pasti cerita ke Papi.”
“Nah itu tau!”
Eldra kembali terkekeh. Singkat saja.
“Jangan gegabah. Biarin ahlinya cek kondisi lapangan dulu. Supaya begitu Abang bergerak, kami bisa jagain Abang.”
“Aye, Captain!”
Ian tergelak, meski tetap ada bayang-bayang kekhawatiran di matanya.
“Panggil Sofi sana. Ngga baik ninggalin acara lama-lama!” titah Ian kemudian. “Bilang aja dipanggil Papi.”
Eldra mengangguk. Ia berdiri, merapikan jasnya, lalu bergegas pergi, meninggalkan Ian yang masih duduk di sofa. Ian menatap punggung Eldra hingga menghilang di balik keramaian.
Ia menyandarkan tubuhnya, menatap langit-langit gedung yang dihiasi lampu temaram. Napasnya terhembus panjang.
“Jangan sampai firasat gue bener,” gumam Ian pelan, hampir tak terdengar.