We wrote to the future, not because we feared forgetting—but because we wanted to remember how it feels to be found. *** Pagi itu, hawa lebih dingin dari biasanya. Embun masih bertahan di ujung daun, dan kabut tipis menyelubungi jalur batu menuju Naejangsa Temple—kuil tua yang tampak tenang di pelukan hutan musim gugur. Jalanan sepi, tak banyak orang datang pagi-pagi begini. Mereka berdua di antaranya dan beberapa biksu yang tengah menyapu halaman dengan pelan dan teratur, seolah tersua doa di tiap gerakan. Eldra dan Sofi pun menikmati setiap langkah. “Tempat ini … kayak sengaja disembunyiin,” gumamnya. “Aku juga kepikiran begitu,” tanggap Eldra usai mengangguk. “Biar cuma yang niat yang nemu, mungkin.” Bangunan utama kuil berdiri anggun di balik rimbunnya pepohonan, fasad dindingnya