Sepanjang makan malam, Amanda hanya memasang wajah cemberut. Wanita itu benar-benar tidak terima jika kakeknya akan menjodohkannya dengan seorang duda. Namun, keputusan kakeknya sudah bulat dan tidak bisa ditentang. Ayahnya bahkan setuju untuk rencana perjodohan tersebut.
"Kenapa harus aku yang dijodohkan? Kenapa nggak Siti dulu yang dijodohkan?" Amanda bertanya di sela-sela makan malam mereka.
Tidak lupa tatapannya ia lemparkan pada Siti yang duduk di sebelah ibunya.
"Ngawur kamu, Manda. Siti masih 11 tahun. Mana boleh menikah." Ibunya Siti--Aminah--menatap keponakan dari pihak suaminya sambil terkekeh pelan.
Putrinya masih berusia 11 tahun dan masih berada di bangku sekolah dasar. Sangat lucu jika harus menikah dengan seorang pria berusia 30 tahun.
"Kenapa nggak Mas Boni aja kalau begitu?"
"Masmu ini laki-laki, Manda. Memangnya kamu kira Mas ini suka sama laki-laki?" Boni yang namanya disebut menggelengkan kepala. Tidak habis pikir dengan pertanyaan sepupunya yang memang agak lain.
"Kamu terima aja nasib kamu sendiri. Udah ayah bilang sama kamu untuk jangan buat ulah atau ayah akan menjodohkan kamu. Kayaknya ayah sudah mengancam kamu dari dua atau tiga tahun yang lalu. Tapi kamu nggak peduli." Pak Yadi ikut berkomentar menatap putrinya yang duduk di sebelahnya. "Jadi, terima saja jodoh pilihan kakekmu sendiri. Kakek nggak mungkin menjodohkan kamu dengan laki-laki yang nggak jelas asal usulnya. Laki-laki yang dijodohkan kakek kamu pasti laki-laki baik."
"Laki-laki baik apaan? Kalau dia laki-laki baik nggak mungkin dia jadi duda."
Amran dan juga Pak Riswan tersedak air minum ketika mereka mendengar perkataan Amanda. Begitu juga dengan Aminah yang kini sudah berusaha mengusap punggung suaminya agar tenang.
Jangan tanyakan Pak Yadi dan juga Bu Yuni yang kini sudah tertunduk malu dengan mulut putri mereka yang naudzubillah sangat barbar. Tidak bisa mengerem tepat waktu, hingga terkadang membuat Bu Yuni harus terus menegurnya. Masalahnya, ditegur berapa kali pun, pada kenyataannya, Amanda tetaplah Amanda.
Entah bagaimana cara merubah kelakuan putrinya satu ini. Didikan dari mereka, pendidikan di sekolah terbaik, bahkan, sampai harus ikut les kepribadian, namun Amanda tetaplah menjadi Amanda yang sekarang.
Sedikit arogan, meski begitu putri mereka masih tetap putri yang baik karena memiliki empati yang tinggi terhadap sesama.
Terbukti dengan Amanda yang selalu menyumbangkan sedikit dari penghasilannya ke panti asuhan ataupun orang kurang mampu.
"Kamu jangan salah paham, laki-laki yang akan kakek jodohkan dengan kamu memang duda. Tapi permasalahannya bukan di laki-laki itu. Tapi, istrinya yang masih kekanakan waktu menikah. Nggak pernah nurut sama suami, suka bentak-bentak ibunya si laki juga, makanya dia memilih untuk berpisah." Amran menjelaskan tidak mau sampai keponakannya salah paham.
"Nah, jangan-jangan dia p*****l lagi. Soalnya menikah dengan anak-anak." Amanda masih berusaha untuk menemukan celah agar membatalkan perjodohan itu.
"Sifatnya yang kekanakan. Kalau usianya sama seperti calon laki-laki yang akan dijodohkan dengan kamu. Mereka seusia, tapi usia pernikahan mereka nggak lebih dari 3 bulan." Pak Riswan akhirnya menjelaskan. "Manda, kamu tenang saja. Kakek bisa yakin kalau dia adalah laki-laki yang tepat untuk kamu. Kamu nggak akan menyesal kalau kamu menikah dengan dia. Kakek yakin, suatu hari nanti kamu pasti bakalan berterima kasih di depan makam kakek karena sudah mempertemukan kamu dengan laki-laki yang tepat."
"Hah?" Amanda menampilkan ekspresi tercengang. "Di depan makam kakek? Memangnya kapan kakek dikubur?" Amanda bertanya dengan nada shock. Jelas-jelas kakeknya masih duduk di depannya dalam keadaan sehat walafiat, tiba-tiba sudah mengatakan ia akan berterima kasih di depan makamnya, bukankah ini terdengar sangat angker? Batinnya tak percaya.
Segera Yuni yang duduk di sisi lain putrinya langsung mencubit pahanya dengan keras, membuat Amanda segera berteriak, yang spontan mengejutkan mereka semua.
"Jangan dicubit paha anak kamu ini, Bu. Nanti kalau dia merah gimana?" tegur Pak Yadi pada istrinya. Tangannya bergerak mengusap punggung putrinya yang masih meringis kesakitan akibat cubitan dari istrinya.
Bu Yuni sendiri menggelengkan kepalanya melihat bagaimana suaminya menegurnya hanya karena ia mencubit paha Amanda yang memang selalu berbicara blak-blakan.
Maklum anak tunggal, disayang sepenuh hati meskipun terkadang diomeli setengah mati. Begitulah Pak Yadi menyayangi putrinya sendiri.
"Habisnya mulut Manda ini nggak bisa dijaga. Nggak takut apa kalau omongannya itu bisa menyinggung perasaan kakeknya sendiri?" Bu Yuni melotot pada Amanda.
"Nggak apa-apa, Yun. Kamu kayak nggak paham sama Amanda aja. Dia memang seperti itu 'kan dari dulu?" Pak Riswan tidak tersinggung sama sekali. Pria itu kemudian menatap cucunya. "Kakek ini nggak akan lama lagi hidup di dunia. Kakek ini udah tua, makanya kakek sudah mempersiapkan jodoh untuk kamu, Manda."
Gerakan tangan Amanda yang mengusap pahanya bekas cubitan sang Ibu akhirnya terhenti dan melemparkan tatapannya pada sang kakek.
"Kakek jangan bahas soal itu ah. Nggak suka aku. Kakek itu masih panjang umur. Nanti kakek bakalan lihat aku di catwalk, melenggang-lenggok santai, yang pasti bakalan buat kakek bangga," ujar Amanda dengan menggebu.
"Tinggi kamu aja 152 cm. Apa cerita kamu mau jadi model? Kalau menghayal nggak usah terlalu tinggi, Manda." Bu Yuni ikut berkomentar. "Kalau jatuh, sakitnya itu nggak tanggung-tanggung."
Segera Amanda memasang wajah cemberutnya karena diingatkan oleh ibunya tentang tinggi badannya yang memang jauh dari kata ideal untuk menjadi seorang model. Dulu cita-cita Amanda memang menjadi model. Maka dari itu ketika ibunya bilang ia harus rajin minum s**u, maka ia pun harus minum s**u agar tubuhnya tinggi ke atas.
Dulu saat sekolah Amanda memiliki tubuh yang sangat mungil. Berharap ketika usianya 17 tahun, tubuhnya sudah tinggi seperti teman-temannya pada umumnya. Namun, pada kenyataannya tubuhnya stuck di tinggi 152 cm.
"Nggak usah diingetin soal tinggi badanku. Aku juga udah sadar diri." Amanda berkata.
"Makanya itu, kamu juga harus sadar diri dengan usia kamu yang sudah 25 tahun itu tapi nggak punya pacar. Entah mau jadi apa hidup kamu ini." Yuni membalas ucapan putrinya. "Terima aja perjodohan ini. Benar besok kita akan mempertemukan Manda dengan calon suaminya, Pak?"
Yuni menatap bapaknya.
"Iya. Besok nak Wisnu bakalan datang ke sini dengan ibunya."
Mulut Amanda akan berteriak protes ketika tangan ayahnya lebih dulu membekap mulutnya membuatnya hanya bisa menggerutu dalam hati.