“Kamu yakin, Fi, ini pertama kalinya kamu naik mobil ini?”
Aku belum sempat menjawab ketika mobil tiba-tiba jalan dan itu membuat keseimbanganku agak goyah. Parfum yang sedang kupegang langsung terjatuh dan menggelinding ke bawah kursi
“Yah, Mas! Parfumnya jatuh satu!”
“Udah, biarin aja. Nanti saya cari.”
“Aduh, maaf, maaf! Mobil tiba-tiba jalan, jadi enggak siap.”
“Enggak papa.”
Kini aku terdiam. Tentu, aku kembali teringat pertanyaan Mas Kian.
“Soal pertanyaan Mas barusan, itu—”
“Sudah, lupakan saja. Saya cuma bercanda. Barangkali memang wangi ini ada yang punya di luar sana. Saya saja yang mainnya kurang jauh.”
“Ah … bisa jadi.”
Sejujurnya, aku tidak merasa pertanyaan Mas Kian tadi hanya bercanda. Pasalnya, sorot matanya tampak serius. Namun, karena dia bilang itu hanya candaan, aku bisa apa?
Berselang beberapa menit, aku dan Mas Kian akhirnya tiba juga di lokasi pameran. Mas Kian langsung pesan tiket dan kami pun segera masuk beriringan.
Awalnya aku agak ragu masuk pameran ini. Bagaimana tidak? Dari luar tampak kurang meyakinkan. Namun ternyata, lukisan yang terpampang di dalam jauh lebih bagus dari yang sudah kubayangkan. Kualitas yang ditawarkan sangatlah memanjakan mata.
Aku mengambil beberapa foto karena memang diperbolehkan. Yang tidak diperbolehkan hanyalah menyentuh saja. Ditakutkan sentuhan tangan bisa merusak kualitas gambar. Pasalnya, petugas tidak bisa mengecek satu per satu tangan tiap pengunjung, apakah bersih atau tidak.
Aku yang tidak memiliki bakat menggambar sama sekali, terus dibuat terpesona selama menonton lukisan demi lukisan. Sungguh tak henti-hentinya aku berdecak kagum.
“Wah …” aku refleks berhenti ketika melihat sebuah lukisan yang sukses membuatku agak terkejut. Lukisan ini menempati ranking sembilan dari keseluruhan yang dipajang.
Temanya memang agak membuat salah paham kalau dilihat sekilas. Pasalnya, lukisan itu menampilkan tubuh perempuan yang dipertontonkan dengan begitu terbukanya, yakni hanya dilapisi selendang transparan untuk menutpi dua bagian paling privasi.
Tahu, kan, bagian mana dan mana?
Perempuan itu mengangkat bayi di tangan kanan dan setumpuk pekerjaan rumah tangga di tangan kiri. Di belakangnya terdapat samar-samar bayangan laki-laki. Benar-benar hanya bayangan hitam saja. Itu pun bayangannya memudar di bagian sudut.
Di bawah lukisan itu ada tulisan, ‘Patriarchy thrives on silence. The more we speak, the more we dismantle it.’ yang artinya … ‘Patriarki berkembang dalam keheningan. Semakin banyak kita membicarakan, semakin kita menghancurkannya’.
Tentu aja, lukisan ini membuatku tertegun. Aku tersenyum kecut menyadari betapa konsep patriarki sangat kental di sebagian besar warga Asia. Terutama Asia Timur dan Asia Tenggara. Ya, Indonesia jelas sangat termasuk.
“Pantas saja kamu berhenti lama di lukisan ini.” Mas Kian tiba-tiba sudah berdiri di sampingku. Tadi kami memang sengaja melihat lukisan sendiri-sendiri.
“Secara pewarnaan, lukisan ini sebenarnya biasa aja dibanding yang lainnya. Sangat so so. Tapi saya tahu kenapa lukisan ini menang sepuluh besar. Maknanya dalem banget. Poin-poin yang dia tonjolkan juga dapet banget.”
“Coba kamu interpretasikan. Menurut pandanganmu saja.”
“Sebelumnya, dia angkat tema patriarki. Jadi, saya akan langsung mengerucut. Pertama, perempuan ini nyaris telanjang. Yang mana, badan perempuan seringkali dijadikan objek. Kalau dalam rumah tangga, badan perempuan jelas dijadikan untuk menyalurkan kebutuhan biologis seuaminya. Ini saya bicara satu sisi dulu, ya. Belum makna yang luas.”
“Oke. Lalu?”
“Kedua, tangan kanan pegang bayi. Well … t***k bengek soal keturunan, lagi-lagi perempuan. Hamil, melahirkan, menyusui, itu kami semua. Karena tiga ini memang kodrat, jadi saya enggak akan komen lagi. Ini paten. Tapi soal membesarkan, baru beda lagi. Ketiga, tangan kiri pegang seabrek pekerjaan rumah tangga. Dalam konsep patriarki, seolah-olah pekerjaan rumah tangga itu tugas perempuan. Laki-laki berharap dilayani jadi raja. Bukan begitu?”
“Jadi kesimpulannya?”
“Jelas, kan? Dalam satu waktu, perempuan dituntut untuk menanggung semua itu sendirian.”
“Apa ini salah satu alasan kamu takut menikah, Fi?”
“Akhirnya, Mas Kian menemukan alasan lain selain dua hal yang kemarin disebutin. Perempuan ragu untuk menikah, bahkan ada yang memilih single seumur hidup, salah satunya bisa karena ini. Enggak melulu soal trauma atau orientasi s****l yang bermasalah.”
“Saya masih bisa membela diri.”
“Maksudnya?”
“Bagi saya, ini masuk kategori trauma. Misal saking seringnya dia melihat pernikahan yang sangat merugikan perempuan, jadi dia trauma sebelum mencoba. Dia sangat takut dengan konsep patriarki, sampai dirinya kena trust issue. Apa namanya kalau bukan trauma? Trauma sendiri sangat luas jika dijabarkan.”
“Iya juga, sih. Tapi untuk saya pribadi, alasan ini hanya pendukung. Ada alasan lain yang lebih utama. Dan kalau boleh jujur, andai saya menikah, saya justru mengasihani calon suami saya nanti.”
“Maksudnya?”
Aku menoleh, lalu menggeleng. “Saya enggak akan cerita karena Mas Kian belum siapa-siapa saya. Sudah saya bilang, saya ceritanya kalau Mas Kian berhasil menikahi saya. Dan jika Mas Kian ragu karena rahasia saya kemungkinan akan sangat merugikan Mas Kian, mundur sekarang lebih bagus. Mumpung belum telat. Jadi enggak perlu wasting time untuk kencan kedua dan ketiga.”
“Sekarang jawab pertanyaan saya, Fi. Tiga saja.”
Mataku langsung menyipit. “Untuk apa?”
“Pokoknya jawab.”
“Apa dulu?”
“Wajib jujur.”
“Saya usahakan.”
“Jawab dengan santai, jangan ngegas. Ini murni pertanyaan yang butuh jawaban. Tidak ada maksud menyinggung atau semacamnya.”
Aku mengangguk. “Baiklah. Apa itu?”
“Pertama, orientasi s****l-mu normal, kan? Bukan lesbi?”
“Saya sangat normal, Mas. Seribu persen kalau perlu. Saya juga pernah naksir laki-laki dalam waktu yang lama. Jadi, soal ini jelas aman.”
“Oke. Kedua, apa kamu punya penyakit serius yang mematikan? Seperti kanker, tumor, atau sejenisnya?”
“Pada check up rutin terakhir kisaran tiga bulan lalu, enggak ada. Saya baik-baik aja.”
“Oke. Pertanyaan ketiga sekaligus terakhir. Apa kamu punya penyakit menular s****l?”
“Enggak. Saya bahkan masih gadis. Saya juga enggak pemakai n*****a. Pertanyaan macam apa, itu?”
“Oke, cukup. Saya akan tetap mencoba.”
Mataku langsung mengerjap. “Serius?”
“Selagi kamu cewek normal, tidak punya penyakit serius baik itu organ dalam atau menular s****l, maka aman.”
“Mas Kian ini peduli banget dengan hal-hal yang berbau s****l. Jadi merinding, deh!” aku bergidik. “Belum-belum kok kesannya gimana gitu!”
“Karena muara perjodohan ini adalah menikah, Fi. Pernikahan mana yang tidak melibatkan hal-hal yang berbau s****l? Kecuali keduanya atau salah satunya belok. Kita cukup dewasa untuk membahas ini. Harusnya enggak tabu kalau pakai konteks. Toh kita enggak tiba-tiba membahas hal-hal yang mesum.”
“Iya, sih. Tapi trauma saya berhubungan dengan itu. Jujur aja.”
Kening Mas Kian langsung mengerut. “Tapi bukan dua hal tadi, kan?”
“Bukan.”
“Saya enggak bisa menebak apa traumamu itu.”
“Enggak usah ditebak. Kalau pada akhirnya kita enggak jadi nikah, Mas Kian cukup tahu kalau saya ada trauma ke arah sana. Just it. Tapi kalau jadi menikah, saya akan menceritakan detailnya dan kenapa saya sampai mendapat trauma itu.”
“Oke.”
“Fair enough, kan? Kalau enggak jadi nikah, saya enggak rugi karena rahasia enggak terbongkar. Tapi andai jadi nikah, Mas Kian harusnya udah siap dengan trauma saya.”
Mas Kian mengangguk. “Ya.”
Aku menatap lagi lukisan di depanku, lalu menghela napas pelan.
“Apa jika menikah nanti, terlepas dengan saya atau perempuan lain, Mas Kian ada potensi jadi laki-laki yang hanya berwujud bayangan ini? Sosok suami dan Ayah yang tidak pernah dirasakan kehadirannya oleh istri dan anak. Antara ada dan tiada.”
“Saya berani jamin, enggak.”
“Kenapa seberani itu ngomong enggak?”
“Jadi saya harus jawab iya? Lalu perempuan mana yang akan mau?”
“Ah, iya juga. Pertanyaan saya yang kurang tepat diksinya. Gini aja, deh. Apa pandangan Mas Kian terhadap konsep patriarki yang udah terlanjur mendarah daging di indonesia? Sebagai perempuan, kami enggak berharap semua hal dikerjakan laki-laki. Kami hanya perlu dibantu, dianggap ada, dan dimengerti. Bukan semua-muanya dilimpahkan ke kami dengan dalih laki-laki sudah lelah bekerja. Memangnya megurus anak dan isi rumah itu enggak lelah? Justru berkali lipat lebih lelah. Selain itu, jika ngomongin kerjaan, perempuan juga bisa bekerja.”
“Bicara soal laki-laki dan perempuan itu enggak akan pernah berhenti, Fi. Sejak jaman dulu sampai saat ini, pedebatan itu akan selalu ada. Opininya macam-macam dan akan terus ada pro dan kontra. Yang paling benar adalah, keduanya harus sama-sama mengerti satu sama lain. Bangun kesepakatan bersama, yang penting rela sama rela. Konsep rumah tangga satu dan yang lain juga enggak bisa disamakan. Beda konsep, beda jalur, engak masalah. Yang penting keduanya saling menerima.”
“Lalu kalau Mas Kian sendiri suka konsep yang seperti apa?”
“Tergantung istri saya siapa dan dia inginnya apa. Saya punya banyak planning. Ada istri yang maunya jadi ibu rumah tangga saja. Ada istri yang inginnya tetap bekerja. Dari situ saja sudah beda. Yang jelas, saya pastikan dulu inginnya istri itu seperti apa. Baru kami diskusikan bersama baiknya gimana. Pokoknya temukan win-win solution.”
“Kalau mengerucut pada hal-hal kehidupan sehari-hari? Semacam masak, cuci piring, dan lain-lain?”
“Tentu bagi tugas. Ayah dan Ibu saya mengajarkan begitu.”
“Yakin? Nanti udah ngomong gitu, tapi pada prakteknya beda lagi.”
“Makanya buktikan dulu. Mau?”
Aku mencibir. “Ya coba aja kalau berhasil!”
“Nilai saya masih minus di matamu, Fi?”
“Hm … udah plus dikit.”
“Lumayanlah, sudah ada kemajuan.”
“Tapi masih jauh dari kata iya, sih.”
“Seenggaknya penilaianmu untuk saya enggak seburuk di awal.”
“Tergantung perlakuan selanjutnya, ya. Jangan-jangan Mas Kian sengaja baik-baikin saya biar saya luluh? Iya? Enggak mempan, ya!”
“Pertayaanmu selalu aneh. Saya baik, dibilang baik-baikin. Lalu saya harus sembrono? Nanti kamu makin ngamuk.”
“Ya enggak gitu juga. Tapi—”
“Tapi apa? Kenapa perempuan suka sekali membawa laki-laki pada situsasi serba salah?”
Aku mengedikkan bahu. “Entah.”
“Kamu ini sangat keras kepala!”
“Makanya tolak saja perjodohannya. Mumpung belum. Jangan sampai Mas nyesel punya istri keras kepala kaya saya.”
Alih-alih membalas, Mas Kian malah menarikku pergi. “Jangan di sini terlalu lama, yang lain juga mau lihat. Kamu juga harus melihat lukisan lain yang lebih bagus.”
Semula Mas Kian menggenggam lenganku, tetapi kemudian genggamannya berpindah ke jemariku. Saat aku hendak menarik diri, genggamannya justru semakin mengerat.
“Mas—”
“Yang patuh. Nanti kamu hilang.”
“Mas Kian tahu, kan, itu modus ketinggalan zaman?”
“Selagi membuatmu berhenti protes, maka enggak masalah.”
Mendengar itu, tanpa sadar senyumku langsung mengembang. Namun, aku buru-buru menggeleng.
Apa-apaan aku ini! Kenapa malah senyum? Sadar, Fi, sadar!
***