“Mas bisa enggak, kalau mau senyum tinggal senyum aja? Enggak usah kaya gitu!” aku mulai melayangkan protes. Pasalnya, Mas Kian terus meledekku dengan kuluman senyum yang tak kunjung dia hentikan. Tentu saja, dia begitu karena paham apa yang ada di otakku tadi saat di balkon lantai dua. Ya memang harusnya dia paham. Hanya saja, aku jadi sangat malu saat ini. Sungguh, aku pun bingung kenapa tadi otakku otomatis berpikir ke arah sana. Padahal kalau diingat lagi, gerak-gerik Mas Kian juga masih biasa-biasa saja. Maksudku, dia sudah biasa mengurungku di bawah kungkungannya, memberi tatapan mesra, lalu berakhir hanya dengan berciuman dan berpelukan. Kalaupun lebih, ya … tetap tidak sampai ke titik itu. Tadi aku juga sempat bersembunyi di kamar mandi. Itu karena Mas Kian langsung turun menyus