Acara kencan dalam rangka ‘mencoba’ akhirnya benar-benar terealisasikan. Mas Kian baru saja menghubungiku kalau dia sudah tiba di SMA yang kumaksud. Kalau aku tak kunjung keluar, dia akan datang ke rumah.
Sebenarnya tidak masalah karena ternyata malam ini— sampai besok— Ayah dan Bunda sedang ada acara di Bekasi. Jadi, di rumah aku sendirian. Namun, aku malas untuk membahas ini pada Mas Kian. Lebih baik aku jalan kaki menuju titik jemput. Toh hanya tiga ratusan meter. Itu sama sekali tidak masalah.
“Kamu bilang jam tujuh tepat dan jangan sampai telat, tapi sekarang sudah jam tujuh lebih tujuh menit,” ujar Mas Kian yang tampak siap memarahiku.
“Saya harus kunci gerbang dan lain-lain dulu, Mas. Ayah sama Bunda lagi di luar soalnya.”
“Kenapa enggak bilang? Kamu ingin saya jemput di sini karena enggak mau orang tuamu berharap lebih, kan? Kalau mereka enggak ada, kenapa tetap mau janjian di sini? Harusnya saya bisa berhenti di depan rumahmu. Jadi lebih cepat.”
“Jadi kapan saya boleh masuk mobil? Atau saya harus dimarahi dulu lima menit?”
“Ya sudah, buruan Masuk.” Mas Kian menunjuk pintu kiri dengan dagunya.
Aku patuh.
Begitu menutup pintu, wangi maskulin seketika langsung tercium. Sejujurnya, aku merasa wangi ini tak asing. Mungkin pewanginya mirip dengan mobil kenalanku atau temanku.
Ya sudahlah. Perkara wangi mobil tidak perlu dipusingkan.
“Mas Kian mau ngajak saya ke mana?” tanyaku setelah memasang sabuk pengaman. “Kencan pertama harus berkesan, dong!”
“Saya lapar.”
“Terus?”
“Saya tahu rumah makan khas Jogja yang enak.”
Aku menoleh. “Tiba-tiba banget khas Jogja? Maksud saya, kenapa Jogja?”
“Enggak mau?”
“Mau-mau aja, sih. Eyang saya orang Jogja soalnya. Saya cocok sama makanan sana, asal bukan gudeg.”
“Karena terlalu manis?”
Aku mengangguk. “Iya. Enggak kuat sama manisnya. Atau mungkin waktu itu saya salah beli aja, jadi dapat yang kemanisan. Intinya saya enggak begitu suka. Bisa makan, tapi dikit aja.”
“Tenang, menu di rumah makan itu sangat bervariasi. Ada nasi rames, bakmie, nasi bakar, ada pula nasi goreng dan magelangan. Pokoknya banyak.”
“Serius, ada rumah makan kaya gitu di Jakarta?”
“Iya, ada. Namanya Warung Makan Mbah Sutardjo.”
“Oke. Mari kita coba. Saya juga lapar.”
Kalau boleh jujur, aku masih bingung kenapa Mas Kian tiba-tiba sekali memilih menu makanan khas Jogja. Masa iya, sejak awal dia tahu kalau aku ada keturunan orang Jogja? Atau kebetulan saja?
“Pasang sabuk pengamannya yang bener, Fi.”
“A-ah, iya. Kurang rapat ternyata.”
Akhirnya, mobil pun mulai jalan. Belum ada satu menit, ada panggilan masuk dari Mila.
“Hallo, Mil? Kenapa?”
“Kamu di mana, Fi? Enggak mau nginep di kosku-kah? Aku habis dikirim banyak makanan dari rumah. Bantu ngabisin, please. Ibu ngirim banyak banget, lho, ini.”
Aku melirik Mas Kian, dia juga melirikku. Namun, hanya sekilas karena dia harus fokus menyetir.
“Lagi enggak bisa, nih, Mil. Soalnya aku lagi keluar sama teman. Bisa disimpan di kulkas, kan? Atau senin bawain ke kantor. Kita makan di ruanganmu.”
“Gitu aja, ya? Beberapa makanan awet, sih, bukan yang cepet basi.”
“Nah, bagus, itu. Senin aku bawa nasi, deh. Kamu bawa lauknya.”
“Oke. Beneran, ya!”
“Iya.”
“Ya udah, aku mau ngomong itu aja.”
“Oke.”
Panggilan dari Mila selesai. Aku langsung memasukkan ponsel ke dalam tas.
“Kamu benar-benar sedekat itu dengan Mila, Fi?” tanya Mas Kian beberapa saat kemudian.
Entah kenapa, cara Mas Kian memanggilku ‘Fi’ terdengar akrab di telinga. Padahal, kami belum bisa dibilang akrab. Yang ada, alih-alih akrab, kami lebih sering ketus satu sama lain.
“Iya. Kami seumuran, soalnya. Jadi nyambung aja.”
“Bukan teman lama?”
“Bukan. Kami kenal waktu hari pertama masuk kerja.”
“Oh …” Mas Kian manggut-manggut.
“Mas Kian, kan, teman Pak Rivan, ya? Apakah tahu sesuatu tentang mereka?”
Mobil berhenti di lampu merah. Mas Kian menoleh, lalu mengangguk. “Tahu. Mereka mantan kekasih, kan?”
“Wah!” aku menoleh sembari menutup mulut. “Beneran tahu?”
“Kamu juga tahu?”
“Iya, tahu. Tapi please, Mas. Di depan Mila pura-pura enggak tahu aja. Nanti dia marah dikira saya ember bocor. Kalau ada apa-apa, pura-pura kaget aja. Kecuali emang udah saatnya dia tahu kalau Mas Kian juga tahu.”
Mas Kian malah tersenyum. “Santai saja. Kalau saya suka umbar rahasia orang, sudah sejak lama kabar ini melebar. Nyatanya enggak.”
“Saya juga diam aja selama ini. Sebisa mungkin rahasiain. Karena Mas Kian teman dekat Pak Rivan, jadi saya pikir harusnya tahu sesuatu. Eh, ternyata benar.”
“Mereka akan kembali. Saya yakin.”
“Menurut Mas Kian gitu? Saya kurang yakin karena Pak Rivannya enggak jelas, Milanya juga kebanyakan gengsi.”
“Tinggal nunggu waktu saja. Harusnya dalam waktu dekat. Kelihatan banget kalau mereka masih saling sayang.”
“Bener! Saya setuju!”
Mobil kembali jalan karena lampu merah telah berganti hijau. Hanya berselang beberapa menit saja, akhirnya Mas Kian membelokkan mobilnya menuju halaman rumah makan yang bertema Joglo berikut pendoponya.
“Wih! Jogja banget, emang.”
“Namanya juga warung makan tema masakan Jogja. Pemiliknya asli orang sana, tapi udah diambil alih anak karena pemilik asli sudah wafat.”
“Keren, sih, tetap bertahan. Punya warung makan itu sulit. Banyak banget tantangannya.”
“Karena orang tuamu punya usaha kuliner, jadi kamu sangat tahu itu?”
Aku mengangguk. “Iya. Jatuh bangunnya di awal ngeri. Kalau udah stabil dan punya pelanggan, sih, enak. Tapi tetap aja, harus jaga kualitas biar orang enggak kabur. Belum lagi kalau ada kompetitor yang bener-bener mirip.”
“Kamu sudah tahu tentang hal-hal itu, apa kamu sudah belajar soal usaha orang tuamu?”
“Baru sedikit. Pada dasarnya, saya enggak ada bakat berwirausaha. Saya tipenya suka yang pasti-pasti aja. Soalnya mudah panik, sih.”
“Ah, saya paham sekarang.”
“Paham apa?”
Mas Kian menggeleng. “Enggak, enggak papa. Ayo, turun!”
Akhirnya, aku dan Mas Kian turun dari mobil. Aku sengaja jalan lebih dulu karena menolak jalan beriringan. Tentu saja aku masih canggung jika kami jalan terlalu dekat.
Sejauh ini, Mas Kian lumayan. Maksudku, tidak semenyebalkan kemarin.
“Wah, udah malam pun masih banyak banget pilihannya. Yang kosong cuma beberapa aja.”
“Karena menunya selalu update. Dari pagi sampai malam ganti-ganti, jadi bisa dibilang fresh terus. Yang sama paling lauk unggulannya. Kalau sayur, menyesuaikan stok.”
“Hm, bisa dipahami. Banyak warung makan rumahan yang begitu.”
“Kamu mau makan apa? Menu khusus, atau nasi dengan segala sayur dan lauknya?”
“Saya mau bakmi Jawa ayam kampung.”
“Minumnya?”
“Jeruk hangat.”
Mas Kian langsung ke kasir dan pesan. “Bakmi Jawa ayam kampungnya dua, Kak. Jeruk hangatnya dua.”
Lah! Mas Kian pesan menu yang sama denganku?
“Makan sini atau take away?”
“Makan sini.”
“Baik. Silakan ambil nomornya. Atas nama siapa?”
“Nafita Ayumi.”
Mataku melebar sesaat. Petugas kasir langsung melirikku dan tersenyum. “Baik, atas nama Nafita Ayumi. Silakan duduk, nanti diantar.”
“Iya.”
Mas Kian kini menghampiriku. “Mau duduk di mana?”
“Kenapa atas nama saya?”
“Kan nanti kamu yang bayar.”
Aku langsung cemberut. “Beneran, apa?”
“Bahkan membedakan candaan dan tidak saja, kamu kesulitan.”
“Mas Kian bilang ini candaan? Bagian mana lucunya? Garing banget!”
“Saya pesan atas namamu biar namamu terdaftar. Kalau ke sini lagi, biasanya ada diskon.”
“Emang iya?”
“Iya. Makanya saya nyebut nama lengkapmu. Kalau Nafi aja, nanti bisa ada Nafi-Nafi yang lain.”
“Tapi yang Mas Kian sebut tadi masih kurang lengkap, tahu.”
“Ah, kurang Wijaya. Jadi harusnya Nafita Ayumi Wijaya.”
“Wow! Udah hafal rupanya.”
“Memang harus saya hafalkan, kan? Buat jaga-jaga kalau betulan jadi akad.”
Aku langsung mencibir. “Mulai, deh! Baru juga mulai kencannya. Udah bahas akad aja!”
“Jadi? Kita enaknya duduk di mana?”
Aku celingukan, mencari tempat yang nyaman. “Itu, deh, Mas! Di dipan yang dekat vas bunga gede. Pengen duduk lesehan.”
“Ya udah, kita ke sana.”
Begitu sampai di dipan yang kumaksud, aku langsung duduk bersila dan mengedarkan pandangan. Aku tersenyum. Entah kenapa, rumah makan ini betul-betul memancarkan nuansa Jogja.
“Kamu pasti suka nuansanya.”
“Suka. Ini mirip café-café tema pendopo di Jogja. Saya dulu hampir kuliah di sana, lho, tapi enggak dibolehin. Kadang kalau ke Jogja masih suka nyesel kenapa dulu enggak ngeyel aja biar bisa kuliah di sana.”
“Orang tuamu melarang pasti ada alasan.”
“Ya jelas! Alasannya sudah pasti karena saya anak tunggal. Mereka enggak mau jauhan. Hidup saya selalu diatur. Sampai urusan jodoh pun mau diatur. Gila, sih!”
“Bagian ini juga pasti ada alasan.”
“Dan alasannya enggak bisa saya terima. Ini bukan karena calonnya Mas Kian. Siapa pun itu, saya emang enggak tertarik dijodoh-jodohin. Tapi udah terlanjur, jadi ya udahlah. Saya jalanin aja dulu fase ‘mencoba’ ini. Intinya jangan berekspektasi apa pun.”
“Ya.”
Pesananku dan Mas Kian akhirnya tiba. Wangi kaldunya langsung membuatku menelan ludah.
“Kayaknya enak, nih!”
“Semua menu yang pernah saya makan di sini, enak. Bahkan yang tampilannya meragukan sekalipun.”
“Saya coba dulu.” Aku mulai menyeruput kuahnya, lalu manggut-manggut. “Beneran enak, Mas. Kuahnya agak kental, tapi enggak lebay.”
“Syukurlah kalau kamu suka.”
Untuk beberapa saat lamanya, aku dan Mas Kian makan sembari ngobrol. Tentu saja temanya tidak macam-macam karena kami belum bisa dibilang dekat. Katakan kami baru mulai mengenal satu sama lain.
“Kamu mau lagi? Kelihatannya kamu suka.”
“Boleh?” aku meringis.
“Tentu. Saya pesankan dulu.”
“O-oke.”
Mas Kian bangkit dan berjalan menuju kasir. Aku menoleh, mengikuti arah Mas Kian pergi. Senyumku tanpa sadar mengembang, tetapi kemudian aku buru-buru menggeleng.
“Baik dikit jangan langsung baper, Fi! Enggak lucu banget. Hampir semua cowok juga bisa mesenin makanan doang.” Aku terus menggeleng, berusaha menghilangkan perasaan yang baru saja muncul.
Mas Kian akhirnya kembali dan duduk seperti semula. Aku berdehem pelan.
“Untuk ukuran cewek, saya makannya cukup banyak. Fyi, aja,” ujarku pelan.
“Tapi badanmu enggak gemuk.”
“Udah dari sananya enggak ada gen gemuk.”
“Memang ada yang seperti itu.”
“By the way, kalau dua mangkuk kayaknya saya enggak habis, Mas. Kalau sisa akan mubadzir, ya? Tapi kalau satu emang kurang.”
“Kita habiskan bersama.”
Senyumku seketika merekah. “Oke.”
Begitu pesanan kedua datang, aku langsung mengambil dengan sendok baru yang tersedia. “Segini cukup.”
“Segitu saja?” Mas Kian menatapku heran. “Itu bahkan enggak ada seperempatnya. Masih sebanyak ini yang harus saya habiskan.”
Aku meringis. “Kalau Mas Kian enggak bisa, jangan dipaksain. Sesekali nyisain makanan enggak papa—”
“Enggak bisa,” potong Mas Kian cepat. “Di luar sana ada banyak orang yang susah makan, bahkan untuk sesuap nasi. Saya selalu mengusahakan jangan sampai membuang-buang makanan.”
Aku mengangguk. Aku juga mendadak merasa bersalah. “O-oke.”
Entah kenapa, saat Mas Kian menyinggung tentang banyak orang yang susah makan, aku seperti merasa dia pernah mengalaminya. Ini aneh. Pasalnya, orang tuanya sendiri orang berada. Bahkan lebih berada daripada kedua orang tuaku.
“Kenapa natap saya kaya gitu?”
Aku buru-buru menggeleng. “Enggak, enggak papa. Saya ambil lagi, deh, biar Mas Kian enggak kekenyangan.”
“Jangan maksain diri.”
“Enggak, kok. Dikit lagi masih bisa. Setengah-setengah.”
“Ya sudah.”
Sembari makan bakmie di mangkukku, sesekali aku menatap Mas Kian yang sibuk menghabiskan bakmie yang tersisa. Semakin aku melihatnya makan, semakin aku merasa ada yang aneh dari dirinya. Maksudku, dia sepertinya tipe orang yang tidak rela membiarkan ada makanan yang tersisa di piring.
“Saya tahu kamu memperhatikan saya, Fi.”
“E-enggak, ih! Pede banget!”
“Kamu bilang, kamu punya rahasia. Saya pun begitu.”
“Saya enggak peduli—”
“Setelah menatap saya makan tanpa kedip?”
Aku berdehem pelan. Sudah ketahuan, percuma juga mengelak.
Mas Kian kini mulai menatapku serius. “Kamu bilang, kamu akan menceritakan rahasiamu kalau saya berhasil menikahimu. Saya pun akan berbagi rahasia denganmu kalau kita benar-benar menikah dan saling percaya satu sama lain. Gimana? Kamu tertarik?”
***