Sudah lima belas menit lebih, aku dan Mas Kian masih sama-sama berbaring di sofa. Dia berbaring di belakangku sembari memelukku. Tangan kiri berada di bawah leher, sementara tangan kanan melingkari perut. Tangan kami juga saling menggenggam sembari memainkan jari jemari satu sama lain. Aku bolak-balik tersenyum malu, tetapi menahan diri sekuat tenaga untuk tidak bereaksi berlebihan. Aku hanya terus berusaha untuk biasa-biasa saja meski kaki rasanya sudah ingin menendang-nendang ke udara. Ah, bicara kaki, kaki kami juga saling berkelit mencari kehangatan. Ya, badan kami memang menempel dari atas sampai bawah. Aku yang sebenarnya tidak pendek dan tidak kecil untuk ukuran perempuan, jadi terasa mungil jika dibanding dengan badan Mas Kian yang tinggi juga bidang. “Kamu mau sampai kapan diem