Makna Sebuah gambar

1305 Words
Hari itu, setelah mengajar, Luna pulang ke rumah kecilnya di pinggir kota. Jalanan sempit yang ia lalui terasa begitu akrab—tempat ia tumbuh besar dan menyimpan banyak kenangan masa kecil. Rumah itu sederhana, dengan dinding bercat putih yang mulai kusam dan atap genteng yang tampak perlu diperbaiki. Begitu membuka pintu, Luna langsung mencium aroma khas nasi uduk. Ibunya, Bu Nani, sedang membereskan dagangan yang belum terjual. Nasi uduk adalah sumber penghasilan utama mereka, yang dijual di warung kecil di depan rumah setiap pagi. Luna langsung menghampiri ibunya, membantu membereskan meja dan peralatan makan. "Bu, dagangannya tadi habis, nggak?" tanya Luna sambil tersenyum. "Alhamdulillah, nggak semua, tapi lumayan buat kebutuhan besok," jawab Bu Nani dengan nada lembut namun letih. Luna duduk di samping ibunya, mengelap tangannya yang berkeriput karena sering terkena air dan minyak panas. Ia tahu, ibunya bekerja keras demi dirinya, terutama setelah ayahnya meninggal dunia beberapa tahun lalu. Kehidupan mereka memang sederhana, tetapi Luna tidak pernah mengeluh. Sejak remaja, Luna hampir tidak pernah menikmati waktunya untuk hal-hal seperti nongkrong bersama teman-teman atau sekedar bersenang-senang. Ia memilih membantu ibunya berdagang, mulai dari menyiapkan bumbu hingga mengantar nasi uduk ke pelanggan. Saat teman-temannya sibuk menikmati masa muda, Luna lebih sering sibuk di dapur atau di kios kecil mereka. Meskipun begitu, Luna selalu merasa bersyukur. "Nggak apa-apa, Bu. Selama kita sehat dan cukup makan, itu sudah rezeki yang luar biasa," katanya setiap kali ibunya merasa khawatir. Sore itu, setelah membereskan dagangan, Luna duduk di depan rumah sambil menikmati teh manis hangat. Ia merenungkan kejadian hari ini, terutama tentang Chelsea dan rasa rindunya akan keluarga. Diam-diam, Luna merasa ada persamaan antara dirinya dan anak kecil itu. Kehidupan mereka berdua dipenuhi kesederhanaan, perjuangan, dan kehilangan. * * * Luna tersenyum kecil. Ia memandang ibunya yang sedang menjahit pakaian sobek di ruang tengah. "Bu, terima kasih sudah jadi ibu yang hebat buat Luna," ucapnya tiba-tiba. Ibu Luna tertegun, lalu tersenyum lembut. "Luna, kamu yang harus ibu terima kasih. Kamu selalu ada buat ibu, dan ibu bangga banget sama kamu." Malam itu, Luna memutuskan bahwa apa pun yang terjadi, ia akan terus berjuang demi kehidupan yang lebih baik untuk dirinya dan ibunya. Sedikit pun ia tidak tahu bahwa takdir sedang mempersiapkan kejutan besar dalam hidupnya. ------------ Sementara itu, Permana, seorang Eksekutif muda yang berkarisma, sedang disibukkan dengan langkah besar dalam kariernya. Ia kini dalam proses pengajuan sebagai calon wali kota, sebuah pencapaian yang telah lama diidamkan. Sebagai lulusan Ilmu Pemerintahan dari universitas ternama, Permana memiliki wawasan yang luas, integritas, dan rekam jejak yang membuatnya dipercaya oleh beberapa partai untuk maju dalam ajang politik tersebut. Namun, jalan menuju pencalonan tidak mudah. Permana harus melewati berbagai tahapan seleksi, mulai dari penilaian kinerja, verifikasi administrasi, hingga penyampaian visi dan misi di hadapan partai pendukung. Ia juga mulai aktif dalam berbagai kegiatan kampanye kecil-kecilan untuk memperkenalkan dirinya kepada masyarakat. Meski terlihat percaya diri di hadapan publik, di balik layar Permana merasa lelah. Tanggung jawab yang besar sebagai calon wali kota sekaligus sebagai ayah tunggal membuatnya harus membagi waktu dengan sangat ketat. Chelsea, putri kecilnya, sering ia titipkan pada neneknya karena jadwal kerja dan kegiatan politik yang semakin padat. Setiap malam, Permana sering duduk sendiri di ruang kerjanya, mempersiapkan materi untuk kampanye berikutnya. Ia berusaha menyusun visi yang nyata untuk masyarakat kota, mencakup peningkatan pendidikan, infrastruktur, dan kesejahteraan sosial. Namun, di sela-sela kesibukannya, terkadang ia merasa bersalah karena tidak bisa meluangkan lebih banyak waktu untuk Chelsea. Suatu malam, ibunya, Bu Hilma menghampiri Permana yang terlihat sibuk di depan laptopnya. "Permana, kamu harus ingat, meski sedang sibuk, Chelsea tetap butuh perhatianmu. Jangan sampai dia merasa kamu terlalu jauh darinya," ucap Bu Hilma dengan lembut namun tegas. Permana menghela napas panjang. "Iya, Bu. Saya tahu. Tapi ini semua juga demi Chelsea, demi masa depannya. Kalau saya berhasil, saya bisa memberikan kehidupan yang lebih baik untuk dia." Bu Hilma tersenyum kecil. "Benar, tapi jangan lupa bahwa yang paling dia butuhkan adalah kehadiranmu, Nak. Anak kecil tidak mengerti soal karier atau politik, dia hanya ingin ayahnya ada di sampingnya." Kata-kata itu menghentak hati Permana. Ia berjanji pada dirinya sendiri untuk tetap meluangkan waktu bagi Chelsea, meskipun hanya sedikit. Namun, ia tidak menyadari bahwa pertemuannya dengan Luna, guru TK Chelsea, akan membawa perubahan besar dalam caranya melihat kehidupan dan kebahagiaan keluarga. Malam itu, setelah menyelesaikan pekerjaannya, Permana memutuskan untuk masuk ke kamar Chelsea. Ia merasa bersalah karena selama beberapa hari ini hanya sempat melihat putrinya sekilas di pagi hari sebelum pergi bekerja. Chelsea sudah tertidur lelap di tempat tidurnya yang penuh dengan boneka kesayangan. Permana duduk di tepi ranjang, mengusap lembut kepala putri kecilnya, lalu mengecup keningnya dengan penuh kasih. Matanya kemudian tertuju pada meja belajar Chelsea. Ada beberapa buku dan kertas yang berantakan, tetapi salah satu gambar menarik perhatiannya. Ia mengambilnya dan memperhatikan gambar tersebut dengan seksama. Gambar itu menunjukkan sebuah keluarga: seorang ayah, seorang ibu berhijab, dan seorang anak kecil. Semuanya tampak sedang tersenyum di depan sebuah rumah. Di bawah gambar tersebut, Chelsea dengan tulisannya yang belum rapi menuliskan nama-nama mereka. "Ayah Permana, Ibu Luna, dan Chelsea," gumam Permana membaca tulisan itu. "Luna siapa?" Permana mengernyitkan keningnya. Ia terdiam, terkejut sekaligus bingung. Nama "Luna" membuatnya berpikir. Ia tahu Luna adalah guru TK Chelsea, dan Chelsea sering menyebut-nyebutnya dengan penuh antusias. Namun, ia tidak pernah menyangka bahwa Chelsea membayangkan Luna sebagai sosok ibu dalam hidupnya. Hati Permana terasa sedih, namun juga diliputi rasa bersalah. Ia menyadari bahwa Chelsea sangat merindukan kehadiran seorang ibu dalam hidupnya. Gambaran itu adalah cerminan harapan sederhana seorang anak kecil yang menginginkan keluarga yang utuh dan penuh kasih sayang. Permana menghela napas panjang, lalu meletakkan gambar itu kembali di meja. Ia memandang Chelsea yang tertidur, bibirnya tersenyum kecil. "Maafkan Ayah, Nak. Ayah akan berusaha lebih baik untuk kamu," bisiknya pelan. Permana keluar dari kamar Chelsea dan menuju kamar tidurnya. Setelah membersihkan diri dan berganti pakaian, sebuah pesan berisi jadwal kegiatan terkirim ke ponsel Permana. "Ting." "Selamat malam tuan, berikut ini jadwal kegiatan untuk besok,"ucap Andi asisten pribadinya. "Ya,"jawaban singkat Permana. "Huhhhhhh."Permana menarik napas pelan. "Rasanya sangat melelahkan,"gumam Permana dan akhirnya dia pun berusaha memejamkan matanya. Hingga dengkuran halus pun terdengar. Pagi itu, setelah berminggu-minggu hanya menyerahkan tugas antar-jemput Chelsea pada ibunya, Permana akhirnya meluangkan waktu untuk mengantarkan putrinya ke sekolah. Ia tahu Chelsea sangat senang saat mendengar kabar bahwa ayahnya yang akan mengantarnya hari ini. Saat mobilnya berhenti di depan gerbang sekolah, Chelsea langsung melompat keluar dengan penuh semangat. "Ayo, Ayah! Bu Luna pasti sudah di depan kelas!" serunya riang sambil menarik tangan Permana. Permana tersenyum tipis, lalu mengikuti langkah kecil Chelsea yang begitu bersemangat. Ketika mereka sampai di depan pintu kelas, Chelsea langsung berlari menuju Luna yang sedang menyambut siswa dengan senyum ramah. "Bu Luna!" seru Chelsea sambil memeluk gurunya dengan erat. Luna membalas pelukan Chelsea dengan hangat, kemudian menatap Permana yang berdiri di belakang dengan ekspresi datar. "Jadi, dia... ayahnya Chelsea?"Luna dengan wajah terkejut, "Selamat pagi, Pak Permana," sapa Luna sopan, mencoba mencairkan suasana. Permana hanya mengangguk singkat tanpa senyum. "Pagi," jawabnya singkat. Sikapnya dingin, seolah tidak terpengaruh oleh keramahan Luna. Luna sedikit terkejut, tetapi ia tetap menjaga senyumnya. "Chelsea anak yang ceria hari ini. Pasti senang bisa diantar Ayahnya," katanya mencoba membuka percakapan. Permana hanya mengangguk lagi tanpa berkata apa-apa. " Ayah harus pergi. Chelsea, jangan nakal ya," ujarnya pada Chelsea sebelum berbalik menuju mobilnya. Chelsea mengangguk ceria, lalu melambaikan tangan kecilnya. "Dadah, Ayah!" Luna memperhatikan sosok Permana yang berjalan menjauh dengan perasaan campur aduk. Sikap dinginnya terasa janggal, seolah ada jarak yang sengaja ia ciptakan. Meski begitu, Luna tidak terlalu memikirkannya dan segera mengalihkan perhatiannya pada Chelsea yang sudah mulai berbicara tentang gambar-gambar yang ingin ia buat hari ini. "Bu Luna. aku semalam sudah menggambar di rumah," ujar Chelsea. "Oh ya?coba bu Luna lihat seperti apa," Namun, di dalam hati kecilnya, Luna merasa penasaran. Apakah sikap dingin Permana adalah bagian dari kepribadiannya, atau ada alasan lain yang membuatnya bersikap seperti itu?
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD