Bab 4 Pilihan dan Pengganti

1211 Words
Kafe itu sepi. Interiornya gelap dengan lampu gantung kekuningan, seolah mengerti bahwa pertemuan kali ini bukan untuk tawa. Di sudut, Naya duduk sendiri, memainkan sedotan plastik dengan tangan gemetar. Matanya terus melirik jam di dinding. Duta belum datang, atau mungkin memang tidak akan datang. Baguslah, batinnya. Kalau dia nggak datang, berarti semesta setuju ini harus selesai. Namun, semesta tidak membiarkannya selesai tanpa penutup yang layak. Dua menit kemudian, suara langkah pelan terdengar. Saat Naya mengangkat wajahnya, jantungnya berhenti sejenak. Lelaki yang sudah menemaninya selama empat tahun, yang dianggapnya tidak akan bisa bertemu lagi, berdiri di depannya. Duta. Masih terlihat sama. Dia masih tinggi, rapi dan betah dengan gaya jalan pelan seperti menyimpan beban dunia di punggungnya. “Naya,” sapanya pelan. Suara itu. Suara yang dulu bisa membuat hati Naya tenang dan kemudian hancur. “Hai,” balas Naya datar. Duta duduk. Tak langsung bicara. Ia hanya menatap wajah Naya dengan ekspresi bersalah. “Terima kasih udah mau ketemu aku,” katanya akhirnya. Naya mengangguk kecil. “Kamu bilang cuma mau bicara sekali. Jadi silakan.” Duta menarik napas dalam. “Aku menyesal, Nay.” Naya mengernyit. “Menyesal kenapa?” “Soal ninggalin kamu begitu aja. Waktu kamu lagi hancur, aku malah mundur. Karena aku takut. Aku tahu kalau aku pengecut, tapi aku tidak bisa melakukan apapun.” Naya menatap Duta dengan dingin, tapi dalam hatinya, masih ada bagian yang sakit mendengar kalimat itu. “Kenapa sekarang, Dut? Udah telat, tahu.” Duta menggenggam tangannya sendiri. “Karena aku akhirnya ngerti. Kamu itu rumah. Aku bodoh, bukannya menjaga rumahku, tapi malah pergi nyari penginapan lain, yang ternyata... nggak punya jendela.” Naya ingin tertawa, tapi perkataan barusan tidak lucu. “Aku dulu nunggu kamu minta maaf. Nunggu kamu balik, tapi kamu nggak pernah datang.” “Aku malu. Aku pikir, keputusanku buat ninggalin kamu karena orang tuaku tidak setuju denganmu, itu benar.” Duta menunduk dalam. “Aku salah. Tadi malam aku mimpiin kamu, membuatku sadar, aku nggak pernah benar-benar selesai.” Ada jeda, tidak ada yang bersuara, tapi udara terasa berat. “Aku ingin mencoba lagi. Kamu gimana, Nay?” tanyanya dengan ragu. Naya tahu kalau ini bukan keputusan yang mudah untuk Duta mengatakan itu. Sayangnya, dia tidak sudah bukan Naya yang dulu. “Aku masih mencintaimu.” Naya tersenyum tipis. “Terimakasih. Jujur, aku juga belum selesai, tapi itu bukan berarti aku harus mulai lagi denganmu, Dut.” Duta menatapnya dalam. “Tolong, Nay. Aku mohon berikan aku kesempatan... sekali lagi...” Naya menegakkan tubuh. “Kamu pernah bilang: kalau kita jodoh, semesta pasti bawa kita balik, tapi aku baru sadar, kadang semesta itu cuma ngetes: kamu udah belajar atau belum.” Duta terdiam. “Aku udah belajar, Dut,” lanjut Naya. “Bahwa yang bikin sakit, jangan ditungguin sembuhnya, kita harus berani meninggalkan sumber penyakitnya.” Duta menunduk. “Aku ngerti.” Mereka duduk dalam diam. Tidak ada pelukan. Tidak ada air mata. Hanya dua orang yang pernah saling mencintai, dan kini berdiri di persimpangan yang berbeda. Naya bangkit. “Thanks udah ngajak ketemu. Aku butuh ini, tapi aku nggak akan kembali.” Duta tidak menjawab. Tatapannya menunjukkan kalau dia mengerti. Naya melangkah pergi dengan hati lebih ringan. Di luar kafe, angin sore menyapa wajahnya. Tangannya gemetar, tapi langkahnya mantap. Ia membuka ponsel. Ada satu pesan masuk. Senyum Naya mengembang tanpa sadar. Leo Kamu udah makan? Naya tersenyum, lalu mengetik: Aku lapar. Jemput ya? Leo menjawab dengan cepat, mengatakan dia sudah dalam perjalanan. Naya merasa lega. Dia benar-benar menemukan seseorang yang tahu caranya menghargai dirinya kali ini. Mobil merah Leo berhenti di depan kafe. Naya masuk tanpa banyak bicara. Leo menatapnya sejenak, lalu kembali menatap jalan. “Gimana?” tanyanya pelan, sambil tetap nyetir. Naya menatap ke depan. “Selesai.” Leo tidak bertanya lebih jauh. Naya bersyukur untuk itu. Dia mengatakan pertemuan hari ini padanya, tidak ada lagi rahasia. “Laper?” tanya Leo. “Banget.” Leo tersenyum. “Aku tahu tempat enak. Nggak fancy, tapi tenang.” Dua puluh menit kemudian mereka tiba di warung mie ayam langganan mahasiswa. Tempatnya sederhana. Bangkunya plastik, tapi aromanya bikin perut berontak. Naya duduk dan membuka sumpit. “Mie ayam favoritku pas semester akhir. Waktu skripsi belum kelar dan hidup terasa nggak adil.” Leo ikut duduk di seberang. “Aku suka tempat kayak gini. Makanannya jujur. Nggak perlu plating estetik.” “Nggak nyangka, pak CEO seleranya rakyat jelata.” “Hush, nanti didemo para pecinta mie ayam, lho!” Naya tergelak, “Sampe begitu?” “Mie ayam itu, makanan terbaik.” “Oke, aku setuju.” Mereka makan dalam diam. Bukan diam yang canggung, melainkan diam yang hangat. Setelah suapan terakhir, Leo menatap Naya. “Kamu kelihatan lebih ringan sekarang.” Naya mengangguk. “Karena akhirnya aku bilang ‘nggak’ ke hal yang selama ini bikin aku stuck.” Leo tersenyum pelan. “Bagus. Karena aku nggak mau jadi pengganti. Aku maunya jadi pilihan.” Kalimat itu membuat d**a Naya hangat. Ia menatap Leo lama. “Kamu sadar nggak sih,” kata Naya, “kalau kamu dateng di waktu yang kacau banget?” “Biar kamu inget. Bahkan di waktu terburuk pun, kamu masih pantas dicintai.” Hening, lalu Naya tertawa kecil. “Kamu dapet kata-kata itu dari mana?” Leo nyengir. “Pinterest. Jangan bilang siapa-siapa ya? Takut kena hak cipta.” “Haha.” Tawa Naya lepas. Leo juga. Mereka tertawa bersama. Untuk pertama kalinya dalam waktu lama, tawa itu... terasa aman, nyaman dan penuh kebebasan. Setelah selesai makan, Leo mengantar Naya pulang. Dalam perjalanan pulang, Leo menyetel musik pelan. Suara Raisa mengalun dari speaker. “Jadi, sekarang kamu siap dilamar, nih?” tanya Leo tiba-tiba. Naya meliriknya. “Kalau tiap malam, aku ditraktir mie ayam, boleh, deh.” Leo tertawa. “Deal.” “Serius? Kamu nggak mau protes gitu?” Leo menggeleng, “Selama bisa nikah sama kamu, jangan, kan beliin mie ayam tiap hari, beliin apa yang kamu mau, aku bersedia.” “Gombal!” Mereka tertawa lagi, dengan hati bahagia. Malam itu, dunia tidak sempurna, tapi Naya tahu, ia sedang menuju tempat yang tepat. Yogyakarta terasa indah lagi di matanya, berkat seseorang yang sekarang duduk di sampingnya. Mobil terus melaju pelan melewati lampu kota yang temaram. Naya menyandarkan kepala di jendela, sambil tersenyum kecil. Di kaca, bayangan wajahnya dan Leo berdampingan. Seperti potret masa depan yang belum dicetak, tapi mulai terasa nyata. Di tengah keheningan yang nyaman, Leo membuka suara, “Kalau nanti kamu beneran mau nikah... mau nikahnya sederhana aja, atau yang penuh tamu, dekor bunga dan musik klasik?” Naya berpikir sejenak. “Yang penting bukan pestanya. Tapi siapa yang berdiri di sebelahku.” Leo meliriknya sekilas, lalu kembali ke jalan. Ia menggenggam tangan Naya di atas pangkuannya. Erat, tapi tidak mengekang. Hangat, tapi tidak membakar. Naya menoleh. “Kamu yakin, Leo? Aku bukan perempuan yang bisa dibilang ideal di mata orangtuamu.” Leo tersenyum tipis. “Tapi kamu ideal di mataku. Aku nggak butuh mata siapa-siapa lagi.” Kalimat itu membuat Naya diam. Ada air hangat yang menggantung di pelupuk, tapi bukan karena sedih—melainkan karena hati yang akhirnya merasa cukup. Malam itu, Naya tidak lagi merasa sendirian. Untuk pertama kalinya, dia tidak berharap seseorang kembali... Karena orang yang memilih tinggal, ternyata jauh lebih berarti.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD