Hati yang Ditinggalkan.

1216 Words
Cahaya putih di langit-langit begitu terang, tapi di mata Andini, semuanya temaram. Dunia seolah kehilangan warna. Tak ada tangis bayinya, tak ada suster yang datang membawa kabar bahagia. Hanya tersisa udara dingin yang menggantung, dan diam yang mengeras jadi firasat. d**a Andini basah oleh rembesan ASI—cairan kehidupan yang mengalir dari cinta seorang ibu. Akan tetapi tak ada siapa pun yang datang, tak ada tangan mungil—tak ada suara nyaring. Hanya waktu yang melaju tanpa kabar. Dokter sejak tadi diam. Terlalu lama. Sorot matanya rapuh, seolah tak sanggup menatap wajah seorang ibu yang menunggu kabar anaknya. "Kami sudah berusaha. Kami melakukan segalanya, semua yang kami bisa. Hanya saja, bayi itu tidak bertahan. Dia sudah berpulang." Detak jam di dinding terasa seperti dentang kematian. Dunia tiba-tiba kehilangan bentuk. Waktu berhenti, langit runtuh dalam diam. Seperti ada sesuatu yang tercabut paksa dari dalam jiwa Andini, meninggalkan kekosongan yang tak bisa dijelaskan dengan kata. Andini tak sempat memeluk—tak sempat mencium—tak sempat mengatakan, "Ibu di sini." pada bayinya. Sekarang, dia tidak akan pernah sempat. "Enggak, Dok." Andini menepis berita yang baru saja sampai di telinganya. "Dia mungkin tidak menangis saat lahir, tapi bukan berarti dia tidak bertahan. Dia masih hidup, Dokter. Aku tahu bayiku kuat." "Anak ibu lahir dalam kondisi yang sangat lemah. Kami lakukan resusitasi, bantuan napas, semua prosedur darurat. Tuhan berkata lain." "Tuhan tidak mungkin mengambilnya dariku, Dok!" Tangan ringkih itu gemetar kala menyentuh d**a yang masih hangat oleh cinta yang tak sempat diberikan. Andini menangis dalam senyap, bukan dengan teriakan, tapi dengan hancur yang tak berbunyi. Air matanya jatuh satu per satu, seperti perpisahan yang dipaksa datang tanpa permisi. "Satu kali saja, Dok." Andini merintih dalam pedih yang menyayat hati. "Satu kali peluk saja sebelum dia pergi." "Ikhlaskan, Bu." "Aku bahkan belum memberinya nama." Andini menggigit bibir, berusaha menahan tangis yang makin membuncah. Air matanya terus jatuh, diam-diam, seperti hujan pertama setelah kemarau panjang—yang datang bukan membawa segar, tapi menandai kehilangan. Namun semuanya sudah terlambat. Yang lahir dari tubuhnya hari itu bukan tawa, bukan kehidupan—melainkan kepergian yang sunyi, tak sempat menyapa. Andini melepas tangis seraya membungkuk di ujung ranjang, tubuhnya masih lemah, tapi hatinya lebih payah. Pandangannya kosong, tertuju pada lantai yang tak memberi jawaban. Dunia seperti kehilangan belas kasih. Tuhan seolah terlalu sibuk untuk memberinya jeda. Baru saja Andini mendapat kabar kehilangan bayinya, baru saja dia kehilangan separuh jiwanya yang tak sempat bernapas di dunia. Duka baru datang menyambut seolah perempuan itu memang ditakdirkan terluka. Seorang pria berdiri di ambang pintu, mengenakan jaket gelap yang masih lembab oleh hujan pagi tadi. Sosok itu tak langsung mendekat, melainkan menatap tajam ke arah Andini yang tengah terisak. Andini tersentak begitu melihatnya. Harapan yang sempat tumbuh di antara derai tangisnya tadi mendadak berubah menjadi kebingungan. "Mas Dirga?" "Singkat saja, Andini." Andini merasa jantungnya berdegup kencang. Ada sesuatu yang tak beres. Suaminya, yang seharusnya datang untuk menenangkan—justru membuat hatinya bergetar dengan kekhawatiran yang semakin dalam. "Tunggu, Mas! Kamu bahkan belum tau kondisiku—" "Apa itu penting?" serobot Dirga, berdiri kaku tak jauh dari ranjang istrinya. Matanya terus beralih ke sisi lain, seolah menghindari tatapan Andini. "Kamu harus tau sesuatu, Mas." "Toh intinya kamu sudah melahirkan. Kini saatnya, Andini, kamu saya talak tiga. Mulai saat ini kamu bukan istri saya lagi," ucap Dirga, lantang. Andini terdiam, lidahnya kaku. Dunia seperti berhenti sejenak, semua terasa beku. Dirga—suaminya—berbicara dengan nada yang begitu tenang, tapi kata-katanya menghantamnya seperti petir. "Jangan menyebut talak dengan asal seperti itu, Mas," tegur Andini setengah berbisik. "Setidaknya prihatinlah padaku. Aku baru saja—" "Ini bukan ucapan asal, Andini. Kamu—saya—talak. Dengan sadar saya putuskan kita bercerai!" *** Sore itu, langit tampak murung, seperti hati Hannan yang tidak pernah benar-benar pulih setelah kehilangan Kesha—istrinya. Angin berhembus pelan, menyentuh pipi Hannan dengan cara yang aneh, seolah ingin mengingatkan bahwa dunia ini masih berputar, meskipun dunia miliknya telah berhenti. Di hadapan Hannan, batu nisan berdiri tegak, seolah menantang semua perasaan yang tak dapat dijelaskan. Nama Kesha terukir di sana—sederhana, namun penuh makna. Sesuatu yang begitu sepele, namun seolah tak dapat dijelaskan dengan kata-kata yang lebih dari sekadar huruf dan angka. Hannan menatap nisan itu dengan mata yang kosong, namun hatinya penuh sesak. Dia menundukkan kepala, berusaha menahan tangis yang sudah dipendam terlalu lama. Sudah dua hari sejak Kesha pergi, meninggalkan dirinya dalam keheningan yang memekakkan. Tidak ada lagi tawa, tidak ada lagi sentuhan lembut Kesha yang dulu selalu menyapanya. "Aku masih sulit menerima ini semua, Sayang." Hannan berbisik, suaranya tenggelam dalam hembusan angin. "Kehilangan kamu masih seperti mimpi buruk buat aku." Lelaki berkemeja putih itu duduk di tanah yang dingin, seolah tak peduli bahwa rumput yang mengelilinginya mulai memudar, seperti segala kenangan indah yang pernah dia miliki bersama sang istri. Di sana, di dekat makam istrinya, Hannan merasa seolah waktu telah berhenti. Semuanya begitu berat untuk dihadapi. Setiap hari, Hannan seperti berjalan dalam bayangan Kesha—terus mencari-cari istrinya di setiap sudut rumah mereka, di setiap tempat yang pernah mereka habiskan bersama. Hannan menyeka air mata yang mulai mengalir, "Kenapa kamu pergi tinggalin aku sendiri? Aku nggak tahu gimana harus jalani hari-hariku tanpa kamu. Aku nggak tahu gimana aku bisa lanjutin hidup tanpa ada kamu di sisi aku." Dipegangnya erat batu nisan itu, seolah ingin merasakan keberadaan Kesha yang sudah tiada. Seolah, dengan cara ini, Hannan bisa lebih dekat dengan kenangan indah yang telah pergi selamanya. "Kembali, Kesha. Aku mau kita punya waktu bersama lagi. Aku mau dengar suara kamu, mau merasakan kehangatan kamu, mencium aroma masakanmu yang selalu mengingatkanku pada rumah kita." Tangis Hannan semakin berat. Dia tidak pernah tahu betapa besar kerinduannya, hingga semuanya terasa menyesakkan. "Aku nggak tahu apa yang harus aku lakukan tanpa kamu. Dunia ini terasa hampa, Sayang. Aku seperti berjalan tanpa arah." "Semua yang dulu kita rencanakan, sekarang tinggal kenangan. Aku berharap kamu ada di sini, untuk kasih tahu aku bahwa semuanya akan baik-baik aja." Seketika itu, Hannan merasa seperti jiwanya terkulai lemas. Waktu berlalu begitu cepat, dan dia tak tahu lagi harus bagaimana. Kenangan bersama Kesha adalah satu-satunya hal yang masih membuatnya hidup, namun semua itu seperti bayang-bayang yang terus menghindar dari jangkauannya. Kesha sudah pergi, dan dia harus belajar hidup tanpa kehadirannya. Di pemakaman yang sunyi itu, di hadapan makam Kesha, Hannan tahu satu hal yang pasti: Cinta sejati tidak pernah benar-benar hilang. Cinta yang mereka punya akan tetap hidup di dalam dirinya, selamanya. Dengan perlahan, Hannan bangkit dan menatap nisan itu untuk terakhir kali sebelum melangkah pergi. Langit kelabu masih menyelimuti, tapi di dalam hati Hannan, ada sedikit ketenangan—bahwa meski Kesha tidak lagi ada di dunia ini, cintanya akan tetap hidup hingga nanti. Di tengah perjalanan pulang dari pemakaman, ponsel Hannan tiba-tiba bergetar, suara deringnya seakan mengganggu kesunyian yang mulai merasuk ke dalam dirinya. Hannan merogoh saku jaketnya, menatap layar ponsel yang menampilkan nama rumah sakit yang tak asing lagi. Sekejap, hatinya berdebar. Ada sesuatu yang tidak beres. Dengan enggan, Hannan mengangkat telepon itu, menempelkan ponsel di telinga. "Selamat sore, dengan Pak Hannan?" Suara perawat di ujung telepon terdengar tenang, namun Hannan bisa merasakan ada sesuatu yang mendesak dalam nada bicaranya. "Kami dari pihak rumah sakit, Pak. Ingin memberi info pada Anda terkait bayi yang dilahirkan Bu Kesha. Kondisinya memburuk, bisa datang dan temui kami sekarang?"
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD