Perhentian Tanpa Rencana.

1157 Words
Ruang konseling rumah sakit pagi itu begitu hening. Hanya denting jam yang terdengar, bergema di antara dinding-dinding putih yang terasa dingin. Di depan meja, Hannan duduk bersandar lelah. Tatap matanya kosong, wajahnya kaku, seperti lelaki yang jiwanya tertinggal di liang lahat yang baru saja dia tinggalkan. Seorang petugas rumah sakit, perempuan paruh baya berseragam rapi, duduk di hadapannya. Namanya Bu Ratri, pekerja sosial yang sudah berkali-kali menangani kasus bayi yang ditinggal orang tua. Tapi kali ini, hatinya lebih berat dari biasanya. "Pak Hannan," ucapnya pelan, hati-hati, "Kami mengerti bahwa Bapak sedang berada di tengah luka yang sangat dalam. Kami turut berduka cita atas kepergian istri Bapak." Hannan tidak menjawab. Dia hanya menunduk, menahan sesuatu yang menggelegak di dadanya namun tak ingin dia lepaskan. "Namun kami harus sampaikan, kondisi putra Bapak membutuhkan perhatian. Bayi Bapak tidak bisa menerima s**u formula. Dia butuh donor ASI sesegera mungkin." Butuh jeda beberapa detik sebelum Hannan akhirnya bicara. Suaranya berat, namun dingin. "Saya sudah bilang, berkali–kali saya bilang—saya tidak ingin terlibat." Bu Ratri menarik napas pelan. Dia tahu harus hati-hati menapaki batas rapuh antara hak bayi dan luka ayah. "Kalau boleh saya tahu, kenapa, Pak?" tanyanya lembut. Bukan untuk menyalahkan, hanya untuk memahami—mendengarkan cerita Hannan. "Karena dia yang membuat istri saya meninggal." Emosi Hannan pecah di ujung kalimat. "Saya kehilangan Kesha karena kelahirannya. Bagaimana saya bisa melihat anak itu tanpa mengingat kematian istri saya?" Diam. Sunyi. Bahkan udara pun seakan berhenti bergerak. Dengan suara bergetar, Bu Ratri berkata, "Saya mengerti rasa kehilangan Bapak. Tapi bayi itu, dia juga kehilangan. Dia tidak punya siapa-siapa di dunia ini selain Bapak." Hannan menggeleng pelan, hampir tak terlihat. "Dia bukan siapa-siapa bagi saya." Petugas sosial itu menunduk, lalu menggeser secarik dokumen dari dalam map birunya ke arah Hannan. "Kami tidak bisa memaksa Bapak. Tapi kami harus tahu—apakah Bapak tetap tidak ingin mencantumkan nama sebagai orang tua di akta lahir?" Hannan menatap kertas itu dengan pandangan kosong. "Saya tidak bisa, dan saya tidak mau." Setelah keheningan yang panjang, Bu Ratri menuliskan sesuatu di dokumennya. Lalu dia berbicara pelan, penuh pengertian. "Kalau begitu, kami akan ajukan perlindungan anak kepada Dinas Sosial. Bayi ini akan dirawat dalam sistem perlindungan negara. Kami akan carikan relawan donor ASI sampai ada keputusan permanen. Tapi, Pak Hannan, jika suatu hari Bapak berubah pikiran, pintu kami akan selalu terbuka." Tidak ada jawaban. Hanya Hannan yang berdiri perlahan, membenarkan jaketnya. Lelaki bertubuh tegap namun rapuh di dalam itu melangkah keluar dari ruangan tanpa sepatah kata pun. Tepat saat tangannya menyentuh gagang pintu, dia berhenti sejenak. "Namanya," gumam Hannan lirih, hampir tak terdengar. "Kalau nanti kalian butuh nama. Namai dia Lingga." Bu Ratri menatap punggung lelaki itu sampai menghilang di balik lorong. Sedang jauh dari sana, dalam ruang perawatan bayi, seorang perawat sedang mengusap lembut pipi mungil yang tertidur lemah di inkubator. Di d**a kecil itu, terpampang tulisan: Bayi Laki-Laki Tanpa Nama. Kini, tulisan itu bisa diganti. Lingga —yang namanya berarti ‘tanda'. Untuk di masa depan nantinya bayi itu akan menjadi sang pembeda—antara benar dan salah. *** Hannan keluar dari ruang konsultasi dengan langkah lunglai. Jemarinya mengepal di sisi tubuh, namun wajahnya tetap kosong—tanpa amarah, tanpa emosi, hanya seonggok lelaki yang tampak seperti baru saja kehilangan arah dalam hidup yang tak lagi punya tujuan berarti. Udara lorong rumah sakit terasa dingin dan lengang, tapi dalam d**a Hannan justru berdesakan sesak yang tak tahu harus lari ke mana. Sosok itu melangkah pelan—tanpa rencana—hingga kaki membawanya ke depan takdir yang dia tolak sekuat tenaga. Ruang perawatan bayi. Sekadar ingin melihat, untuk terakhir kali. Di balik kaca, Hannan melihat tubuh mungil itu—terbaring tenang, selang kecil masih menempel di kulitnya yang lembut. Bayi itu tidak menangis, tapi kesunyian di ruangan justru membuat Hannan makin ingin berlari. Di sebelahnya, tanpa Hanan sadari, berdiri seorang perempuan. Wajahnya pucat, matanya cekung, dan tubuhnya tampak masih menanggung nyeri bekas luka operasi. Tapi bukan itu yang membuat waktu seperti berhenti—melainkan sorot matanya—yang entah kenapa bertaut begitu saja dengan mata Hannan. Tak ada sapa, tak ada tanya. Hanya diam. Seakan mereka saling memahami: tatapan yang saling mengukur kedalaman luka masing-masing. Hannan menarik napas dalam kemudian pergi. Tanpa menoleh—tanpa memberi makna pada pertemuan singkat pagi itu. Andini masih berdiri di tempat yang sama, dengan tangan mencengkeram lengan bajunya sendiri, mencoba menahan detak jantung yang tidak tahu mengapa mulai tak beraturan sedari tadi. Ada sesuatu dalam tatapan pria tadi yang terasa akrab—seolah luka mereka berasal dari sumber yang sama. Lalu langkah lembut menghampirinya. Seorang perawat menyentuh lengannya pelan, lalu membisikkan kata-kata yang meretakkan ruang hening di hatinya. "Bu, laki-laki tadi, dia ayah dari bayi yang sempat Ibu susui." Andini membeku. Sorot matanya kembali ke kaca, ke tempat di mana Hannan berdiri beberapa detik lalu kala bersinggungan tatap dengannya. "Apa bayi itu benar–benar ditinggalkan oleh ayahnya?" tanya Andini. "Apa sekarang bayi itu sudah tidak punya siapa–siapa?" "Kemungkinan besar begitu." Langkah Hannan dipastikan sudah menjauh. Tapi d**a Andini mendadak sesak oleh dorongan yang tidak bisa dia jelaskan. Ada sesuatu dalam dirinya seperti memaksa untuk bicara—untuk sekadar memanggil—untuk menyentuh dunia pria itu yang terlihat begitu dingin dan kosong. Andini menoleh pada perawat, lalu berbalik dan mulai melangkah—tertatih, masih dengan luka operasi yang belum kering. Perempuan itu mempercepat langkah sekuat yang dia bisa. Lorong rumah sakit terasa panjang, dan napasnya mulai tercekat. "Halo! Pak—tunggu sebentar!" Hannan berhenti sejenak, tapi tak menoleh. Dia hanya berdiri, punggungnya tegap, seolah sedang berdiri di depan pintu dunia yang tak ingin dia buka lagi. Andini meraih ujung napasnya. "Maaf, tadi waktu Bapak berdiri di depan ruang bayi, ada yang terjatuh," ujarnya sambil menggenggam sesuatu yang sebenarnya tak nyata. "Sepertinya ini barang milik Anda." Hannan akhirnya menoleh. Mata tajamnya menatap wajah Andini dengan datar. Dia tidak bicara. Tidak juga mengambil benda yang ditawarkan Andini padanya. "Mungkin ini bukan apa-apa," Andini berusaha tetap tenang meski tangannya gemetar. "Saya hanya, tadi saya lihat Bapak berdiri di depan kaca. Bayi itu, dia—" "Simpan ceritamu," Hannan memotong, suaranya rendah dan dingin. "Saya tidak tertarik." Andini terdiam. Untuk sesaat, dia ingin mundur. Namun sial mulutnya lebih cepat daripada akalnya. "Saya tahu Bapak sedang terluka. Saya tau pasti berat bagi bapak menerima semuanya. Tapi bayi itu, dia tidak punya siapa-siapa." "Apa saya terlihat peduli?" Hannan menyela. "Dengar, jangan biasa ikut campur pada sesuatu yang bukan urusanmu." Andini mematung. Tubuhnya terasa dingin. Bukan karena AC rumah sakit, tapi karena kata-kata yang lebih tajam dari pisau bedah. Hannan berlalu begitu saja. Meninggalkan bayangannya, meninggalkan kata-kata yang tertelan di kerongkongan Andini. Di belakang, Andini masih berdiri kaku. Tangannya menggenggam benda yang sengaja dia buat sebagai alasan. Namun bukan itu yang membuatnya hampir menangis—melainkan tatapan kosong pria tadi, yang seolah sudah lama mati, terlalu dalam terluka hingga tak lagi bisa melihat bahwa ada nyawa kecil yang mungkin bisa menyelamatkan sedikit sisa kasih di hati.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD