Steve benar-benar menempatkan Zira pada posisi yang teramat sulit, uang sebanyak dua ratus juta lebih harus di dapatkan Zira hanya dalam waktu dua puluh empat jam.
Mungkin Zira bisa mendapatkan uang secara cepat jika ia mau menjual rumahnya, tapi itu tidak mungkin karena rumah tersebut adalah peninggalan ayah kandungnya dan banyak kenangan yang sayang jika hilang begitu saja.
Dengan pikiran yang berkecamuk Zira melangkah keluar meninggalkan ruangan tersebut, bahkan ia tidak ingat untuk  mengganti pakainya kembali sebelum pulang.
Ia menaiki taksi untuk pulang.
Zira membuka pintu rumahnya. Malam sudah sangat larut dan seharusnya ayah dan adik tirinya sudah ada di rumah, tapi rumah justru terlihat sepi, bahkan lampu rumah tidak ada yang menyala. Dengan penuh amarah dan kekecewaan ia pun segera menghampiri kamar ayahnya.
Tok tok tok!
Zira mencoba mengetuk pintu kamar ayah tirinya beberapa kali, namun tak kunjung ada Jawaban. Ia pun membukanya.
"Kosong?" Zira mengernyitkan dahinya, ia melihat waktu yang menunjukkan jam satu pagi. Tentu saja ia merasa heran, karena biasanya jam segini ayah tirinya sudah ada di rumah dan masih terjaga di kamarnya. Namun kali ini kamar ayah tirinya justru masih kosong.
Zira pun berjalan kembali menuju kamar adik tirinya, namun ia menemukan hal yang sama. Kamar Keyla pun sama. 
“Tidak mungkin,” ucap Zira yang  langsung masuk, dan membuka lemari pakaian Keyla. Ia terdiam kaget, karena ternyata lemari pakaian Kela hanya menyisakan beberapa helai pakaian yang lusuh.
Ia Pun mengambil ponselnya dan berusaha menelpon ayah dan adik tirinya. Namun nomor yang dituju sudah tidak aktif lagi.
"Tidak, tidak mungkin kalian meninggalkan aku sendiri dalam keadaan seperti ini?" gumamnya.
Zira tidak merasa putus asa dan terus mencoba menghubungi mereka. Namun hasilnya tetap sama, dan pada akhirnya ia terduduk lemas di lantai. Ia baru bisa menyadari jika kedua orang yang dia cari sudah pergi meninggalkan rumah. Perlahan air mata mulai menetes, Zira berusaha mengatur nafasnya yang terasa sesak.
Benar-benar sulit dipercaya jika mereka bisa setega ini pergi meninggalkan Zira sendiri. Bahkan beban yang seharusnya di pikul bersama kini semua harus ditopang sendiri di pundak Zira.
Zira menyeka air matanya dan tersenyum pahit. "Tentu kalian akan kabur meninggalkan aku sendiri, dan menikmati uang dari hasil menjualku. Untuk apa tetap di sini jika bisa pergi sejauh mungkin, bukan? aku tidak akan melupakan semua ini, aku tidak akan memaafkan kalian," gumam Zira sambil mengepalkan tangannya.
Rasa sakit dan lelah kini menjadi satu. Air mata yang hampir kering membuat matanya semakin redup, dan tanpa terasa akhirnya Zira memejamkan matanya. Ia tertidur di kamar adik tirinya dengan keadaan yang kacau.
Bragg bragg bragg!
"Hei cepatlah keluar!"
Terdengar beberapa kali gedoran pintu dan teriakan seseorang dari luar. Zira yang masih merasa ngantuk, pun terpaksa bangun untuk melihat siapa yang datang.
Dengan masih memakai pakaian yang semalam ia kenakan, Zira berusaha melangkahkan kakinya menghampiri pintu dan segera membukanya.
Nampak seorang wanita gemuk dengan muka judes sudah berkacak pinggang di depan pintu. Ada dua pria kekar dengan wajah sangar mendampinginya, yang membuat Zira merasa bingung.
"Maaf ibu siapa dan ada perlu apa?" tanya Zira berusaha tenang dan sopan.
"Bukankah aku sudah bilang pada Beni kalo pagi ini rumah sudah harus kosong!" Jawab ibu yang berwajah judes itu di hadapan Zira, dengan nada tinggi tanpa menyebutkan siapa dirinya.
"Maaf maksud ibu bagaimana?" tanya Zira kembali yang semakin di selimuti rasa bingung.
"Aku sudah membayar lunas rumah ini dan aku tidak suka bertele-tele. Cepat keluar dari rumah ini atau kami akan memaksamu dengan cara kasar!"
"Tapi Bu, aku tidak merasa menjual rumah ini ke siapapun dan ini rumah ayah kandungku, jadi tidak akan ada yang bisa menjual rumah ini tanpa seizin dariku," jelas Zira.
"Tapi kenyataannya rumah ini sudah terjual pada kami, nona," balas wanita tersebut dengan senyum angkuh.
Wanita yang berdiri di depan Zira pun mengambil sebuah kertas dan memberikan padanya. "Lihat dan baca baik-baik! rumah ini sudah aku bayar lunas, jadi kamu pergi dari rumah ini sekarang juga!"
Zira hanya bisa meneteskan air matanya, ia tak bisa berkata apa-apa setelah melihat sebuah sertifikat rumahnya yang sudah berganti nama, yang artinya rumah dan tanah tersebut telah di jual dan bukan miliknya lagi.
Beni benar-benar menjual rumah tersebut tanpa sepengetahuan Zira, tapi bagaimana ia bisa mendapatkan tanda tangan Zira? sedangkan Zira tidak pernah menyetujui Beni untuk menjual rumah tersebut.
Kali ini d**a Zira benar-benar terasa semakin sesak dan tidak tau harus bagaimana. Ia yakin Beni melakukan apapun agar rumah tersebut bisa di jualnya, dan setelah mendapatkan uangnya ia pergi bersama Keyla entah kemana.
"Bu apa aku boleh tinggal beberapa hari sampai mendapat tempat tinggal baru?"
"Enak saja! kamu pikir aku ibu kamu, hah?!" hardik wanita tersebut sambil berkacak pinggang.
"Tapi aku tidak tau harus kemana, tolong beri aku waktu?" ucap Zira kembali.
"Itu bukan urusanku! Cepat pergi atau anak buahku yang akan menyeret kamu keluar dengan paksa!" ucap wanita itu kembali dengan nada yang tinggi.
"Baiklah, tapi tolong beri aku waktu untuk mengambil barang di dalam!" pinta Zira dengan bibir yang gemetar, sambil menatap kedua orang di belakang wanita tersebut.
"Cepatlah, kami hanya punya waktu sepuluh menit!"
Zira melangkahkan kakinya masuk kembali kedalam, dengan langkah yang sempoyongan dan air mata yang terus mengalir. Ia tak menyangka ayah tirinya setega dan sejahat itu padanya.
"Kenapa kalian sejahat ini? rumah pun diam-diam kalian jual, dan sekarang kalian entah pergi kemana," lirih Zira.
Dengan perasaan yang sangat sakit Zira keluar dari rumahnya. Kini, rumah yang menyimpan banyak kenangan di dalamnya, bukan lagi miliknya.
"Huh! lama sekali, cepatlah jangan membuang-buang waktuku!" hardik wanita itu kembali sembari mendorong pundak Zira.
Dengan berat hati Zira  melangkah keluar, ia menoleh kembali ke arah rumahnya yang kini telah menjadi milik orang lain. Air matanya lagi-lagi mengalir, hatinya terasa hancur.
Baru semalam ia dibohongi untuk menemani seorang pengusaha, tapi kenyataannya dia justru di jual untuk melunasi hutang ayah tirinya. Dan pagi ini dia harus kehilangan rumahnya.
Dengan langkah tanpa arah Zira terus mengayunkan kakinya.
Di bawah langit yang mulai mendung perasaannya semakin tak menentu.
JDEERR!!
Suara petir yang seakan menyambar kepalanya terdengar jelas. Rintik hujan pun mulai berjatuhan di pagi ini.
Zira menatap langit dengan senyum getir.
"Bahkan langit pun tak berpihak padaku. Tuhan, apa sebenarnya rencanamu untukku? Hingga kau uji aku sampai sebegininya?" gumam Zira yang mulai menitikkan air matanya kembali.
Hujan semakin deras, ia berlari ke sebuah gubuk ronda meneduhkan diri dari guyuran hujan. Matanya menatap kosong, pikirannya yang tak karuan, bahkan suara petir yang menyambar bergantian seakan menambah kesedihannya.
"Selamat pagi kesedihan!" ucapnya lirih. Ia menatap langit yang semakin deras menjatuhkan tetesan air hujan. 
Tubuh Zira mulai menggigil kedinginan, cahaya kilat yang membuat rasa takut semakin membuat tubuhnya gemetar. Perlahan pandangannya terasa kabur hingga semuanya berubah menjadi gelap.
>>>>>>>
"Uhhh, dimana aku?" rintih Zira sembari membuka kedua matanya yang terasa berat.
Ia melihat sekeliling ruangan yang terasa asing baginya, " Ruangan yang sederhana, tapi sayang ini bukan kamarku. Tentu saja bukan. Bukankah rumahku sudah di jual!" gumamnya dalam hati dengan sedikit menyunggingkan senyuman.
Zira turun dari ranjang menuju jendela kamar, ia melihat hujan telah reda dan menyisakan dedaunan yang masih basah.
"Ibu apa kau tau keadaanku sekarang? Ibu pasti akan ikut menangis melihatku seperti ini, kan? tapi tenanglah bu aku akan berusaha tegar."
Klek!!
"Kamu sudah sadar?"
Zira pun langsung menoleh ke arah suara yang baru masuk kamar tersebut.