"f**k. f**k. f**k!"
Brakk!!!
Luiz melempar ponselnya sembarangan. Benda itu terbang jauh, mengenai tembok dan pecah. Wajar, jika Caroline menghadiahi nya tamparan keras. Miliknya, memang tidak sopan. Menegang sembarangan saat gadis itu tanpa sengaja menyentuhnya.
Caroline langsung bangkit, berlari keluar dengan wajah pucat dan merah. Luiz mulai mengkhawatirkan penilaian gadis itu terhadapnya. Tentu, ini bukan awal yang baik saat mereka beranjak dewasa. Pria itu menyadari seutuhnya, bahwa mendekatkan diri pada Caroline merupakan dosa besar yang ia lakukan.
"Aku harus bicara dengan nya," ujar Luiz serak, memutar badannya ke arah pintu sambil meraih kunci motor dan helm fullface.
"Luiz..... Kau mau pergi?" tanya Rose, melirik isi Penthouse pria itu. Ia baru saja ingin mengetuk pintu, namun penghalang itu lebih dulu terbuka dan menampilkan pemiliknya.
"Hmm. Kenapa kau di sini?"
"Ah. Aku ingin mengantarkan ini, buatan mommy ku. Sejujurnya, aku ingin mengajak mu makan siang bersama, tapi sepertinya kau sibuk,"jelas Rose menatap enggan. Luiz diam, memerhatikan barang yang dibawa Rose.
"No problem. Masuklah!" pinta Luiz.
"Really?" tanya Rose memastikan, memerhatikan pria itu mengangguk pelan.
"Thank you. Aku pikir makanan ini akan sia-sia tadinya,"Rose tersenyum cantik. Mengikuti langkah Luiz yang kembali memasuki ruangan.
"Em. Kau di sini saja. Aku akan menyiapkan makanan nya untukmu, aku pinjam dapurmu sebentar. Okay!" Rose melangkah cepat, menjelajahi isi Penthouse tanpa ragu.
Luiz mengeluh, melirik ke arah ponsel yang ia tinggalkan untuk memeriksa kelayakannya. Benda itu rusak, retak parah di sekitar kaca. Sekian detik berlalu, dimanfaatkan Luiz hanya untuk menatap ponsel tersebut.
"Makanan nya sudah siap. Kemari lah...." Rose mendelik, ikut memerhatikan ponsel rusak milik Luiz.
"Apa kau baru saja menjatuhkannya dari lantai sepuluh?" tanya Rose, membuat Luiz tersenyum tipis.
Deg!
Rose diam, jantung nya mendadak berdetak. Wajah dingin milik Luiz begitu sempurna ketika ia melebarkan bibir. Mata hijau gelap nya seakan memberikan banyak pertanda.
"Dimana makanan nya?" sergah Luiz membuat Rose langsung menelan ludah. Ia melamun.
"Di.. Di... Di sana," tunjuk Rose gagap.
"Kenapa?"
"Tidak. Aku hanya lapar." Rose memalingkan pandangan. Tidak ingin ketahuan jika wajahnya berubah merah dan langsung bergerak mendahului tanpa sepatah katapun lagi.
"Wajahmu sangat familiar. Sungguh, kau tidak mau cerita dari mana asal mu?" tanya Rose saat mereka mulai makan.
"Aku lahir di sini," tutur Luiz.
"Hmm.. Kalau begitu kau tinggal dimana sebelumnya?"
Luiz diam, mengunyah makanannya pelan. Pria itu mengambil napasnya sejenak, meraih gelas berisi minuman dan menenggaknya segera. Sial. Pertanyaan dari Rose, membuatnya mengingat kejadian sebelumnya bersama Caroline.
"Maaf jika aku terlalu banyak bicara. Aku hanya penasaran."
"Kediaman keluarga Morgan," celetuk Luiz pelan, membuat Rose sejenak berpikir.
"Morgan..... Alexander Dalle Morgan?" seru Rose tegang. Luiz mengangguk, melanjutkan makan.
"Aku sangat tahu keluarga kaya itu. Mommy ku bagian dari kelompok sosialita mereka. Tapi, seingat ku Maxent Morgan bukan.... Oh No, apa kau anak dari Dokter Milla Hodgue?"
"Ya."
"Oh my God. Sekarang aku tahu kenapa wajahmu sangat familiar. Mommy mu sering membanggakan mu di sesi pertemuan. Kau juga memiliki follower i********: yang cukup banyak, tapi kau tidak mengikuti satu orangpun di sana. Apa kau mencoba hidup mandiri di sini?"
"Berlebihan," seru Luiz mengalihkan pandangannya ke arah lain.
"Kau menjadi perbincangan kaum hawa akhir-akhir ini. Coba tambah followers dan foto mu," saran Rose.
"Kau mengikuti ku?" tanya Luiz membuat Rose menyipitkan mata. Ia mengulum bibir dan mengangguk pelan.
"Pinjam ponselmu!"
Rose menuruti pria itu, memberikan barang nya tanpa bertanya. Luiz menekan-nekan nya sejenak dan mengembalikan ponsel Rose.
"Apa yang kau lakukan pada ponselku?" tanya Rose manyun. Menarik benda itu dan memeriksanya.
"Hah????? Kau mengikuti ku di i********:?" kedua mata amber gadis itu membulat, turun dari kursi dan memerhatikan ponselnya lekat.
"Aku harus pergi. Bereskan jika selesai!" ucap Luiz, beranjak dari tempatnya. Rose hanya diam, terpaku pada layar ponsel. Ia merefresh benda itu berkali-kali hingga sadar, bahwa kejadian barusan nyata.
***
"Caroline," tegur Alexander.
"Ya, dad."
"Kau dari mana?" tanya pria itu menatap lekat secara keseluruhan.
"Apa ada masalah?" balas Caroline tidak berniat menjawab pertanyaan Alexander.
"Ya. Bagaimana bisnis yang ingin kau jalani?"
Caroline diam, bergerak lemas lebih dekat sambil menggigit bibirnya. "Dad... Uang itu...."
"Jika kau tidak bisa mengelolanya, maka terpaksa, daddy menarik semua black card dan...."
"No. Aku bisa. Beri aku waktu lebih banyak dad, please."
Alexander diam, menatap wajah Caroline seakan menakuti.
"Dasar orang kaya pelit," batin Caroline menyipitkan mata.
"Aku beri waktu tambahan satu minggu. Jika kau tidak berhasil tepati janjimu untuk hidup hemat dan....."
"Aku pasti berhasil. Sorry daddy, aku sibuk. Bye," Caroline bergerak memutar, melangkah menuju elevator kaca yang ada di barat ruangan menuju kamarnya.
"Aku harus membuka rekening pribadi dan menyimpan uang di sana diam-diam. Jika tidak daddy akan terus-terusan memanfaatkan kelemahan ku," Carol bergumam. Mengutuk sikap Alexander padanya hingga ia sampai di kamar utamanya.
"Big.. So big!" jelas Caroline, mengukur sesuatu dengan tangannya. Ia mengulum bibir, memerhatikan diri lewat pantulan cermin. Wajah gadis itu merah, lantas bergerak mundur.
"Bodoh. Kenapa aku jadi memikirkan size keperkasaan Luiz."Caroline menggigit bibir, mengacak rambutnya hingga berantakan."Aku harus membersihkan diri. Sekalian menyingkirkan semua pikiran kotor ini."
***
"Luiz apa yang kau lakukan?"teriak Caroline menantang, saat pintu kamarnya terbuka. Ia mengerutkan dahi, merapatkan bathrobe yang melapisi tubuh basah nya. Gadis itu baru saja selesai mandi, tercetak jelas dari keadaannya.
"Wait... Kau tidak akan memperkosa ku kan? Jika ia aku ikhlas,"ceplos Caroline, berhasil membuat bibir Luiz melengkung tipis. Ia tersenyum, namun mendadak serius dalam satu waktu.
"Ayolah... Pesona mu tidak akan luntur meskipun kau tertawa lebar di depanku," sindir Caroline, memicingkan matanya tajam.
"We need to talk," ungkap Luiz pada akhirnya.
"Butuh coffee atau..."
"Tidak," jengah Luiz membuat Caroline mengangguk-angguk. Luiz mengulum bibirnya sesaat. Berpikir keras untuk memulai pembicaraan.
"Kau ingin membicarakan kejadian tadi pagi 'kan?" tebak Caroline.
"Aku minta maaf,"celetuk Luiz, menatap lekat tanpa berpaling dari sorot mata Caroline. Tajam penuh arti.
"Aku yang seharusnya minta maaf. Aku masuk ke dalam Penthouse mu tanpa izin."
"Ya. Tapi apa yang aku lakukan padamu jauh lebih buruk. Aku tidak berniat melecehkan mu," jelas Luiz.
"Apa kau sedang membicarakan 'milikmu' yang .... setelah aku memegangnya?" tanya Carol ragu, meremas salah satu tangan seakan meniru suatu kegiatan.
"Carol...."
"Aku menampar wajahmu karena malu...hanya itu, dan aku pikir sebaiknya kita mulai melupakan apa yang terjadi tadi pagi," ujar gadis itu tegas, melangkah mendekat hingga aroma wangi yang melekat ditubuh Caroline tercium kuat oleh Luiz.
"Hmm.." gumam Luiz pelan. Caroline tersenyum lebar, bergerak mendekat untuk memeluk Luiz. Namun, langkah kakinya terhenti saat melihat seseorang mendorong pintu kamarnya lebih lebar.
"Dad...." tegur Caroline, menatap Alexander. Luiz menoleh cepat, menelan ludahnya kasar.
"Apa yang kalian lakukan di kamar?" tanya Alexander serak, tetap mengawasi pergerakan Luiz.
"Daddy aku hanya...."
"Apa kau tidak bisa menggunakan pakaian lain selain bathrobe itu, Carol? Hah!" bentak Alexander tegang, mengabaikan penjelasan Caroline. Seketika gadis itu diam, terkejut setengah mati.
"Dad...."
"Aku harap kau keluar dari kamar putriku, Luiz," tegas Alexander ketika Luis mencoba menjelaskan. Ia di tahan, membuat pria itu mengepal keras kedua tangannya. Luiz berdiri tegak, mengedarkan kedua matanya pada Caroline dan Alexander bergantian. Lalu melangkah keluar dari kamar dengan wajah kecewa.
Alexander bergeser, memberi jalan pada Luiz dan tetap mempertahankan pandangan nya pada Caroline. "Ganti bajumu! Aku tunggu di bawah dalam sepuluh menit untuk menemui pria yang akan aku jodohkan dengan mu."
Alexander bergerak memutar, meninggalkan putrinya tanpa menunggu jawaban dari Caroline.
Brakk!!!
Caroline membanting pintu sekuat nya, setelah Alexander baru mengambil beberapa langkah. Mengisyaratkan tanda penolakan.