Chapter 10 : Dangerous

1180 Words
Langit gelap. Hujan deras. Akhir-akhir ini cuaca Florida tidak menentu. Bahkan, sempat dihantam badai sekitar enam bulan lalu. Luiz menepikan mobil, enggan melanjutkan perjalanan. Berbahaya jika nekat. "Aku ingin ke minimarket, bisa majukan mobil lebih ke depan?" tunjuk Caroline. Selesai menebalkan warna lipstik di bibirnya. Sekilas, Luiz menoleh, membuang napas kasar. Ia tidak menjawab, namun lekas bergerak. Tampak menuruti. Ia hanya malas bicara. Percuma. Luiz cukup paham siapa Caroline. "Thanks," ujar Caroline. Melempar senyuman bulat. Merapikan rambut dengan jari. Sedikit berdandan. "Kau ingin beli sesuatu?" tawar Caroline. "Tidak." "Soft drink, camilan atau kondom, mungkin?" sungut Caroline. Mengangkat kedua alis. Luiz memalingkan pandangan. Menatap arah jalan. Ia mengambil tempat, parkir di pinggir minimarket. "Luiz!" "Cepat keluar atau...." "Okay. Aku keluar sekarang. Jangan kabur!" Caroline mengangkat jari. Menunjuk Luiz, memberi ancaman. Ia mendengus, menekan lock, lalu pintu otomatis terbuka. Setidaknya Luiz paham. Ia menghentikan mobil cukup dekat. Caroline tidak akan terlalu basah. Gadis itu berlari. Bergerak lihai meski memakai heels. *** "Ambilkan aku dua kaleng Beer dan beberapa bungkus camilan!" perintah Caroline. Menatap ke arah kasir. "Kau bisa ambil sendiri. Kulkas nya di sana, lalu belok kiri untuk memilih makanan ringan," balas Karis. Tersenyum ramah. "Aku menyuruhmu!" tegas Caroline. Menyingkirkan rambut yang jatuh ke matanya. Kasir wanita itu terdiam, mengedarkan mata ke beberapa pelanggan. Caroline tersenyum miring. Heran, karena semua orang menatapnya. Namun, ia mendekati rak kasir, sedikit mendekap ke sisi kiri. "Mana merk yang bagus?" tanya Caroline. Menunjuk pajangan kondom. "Kau sebaiknya antri, nona!" tegur Kasir. Sedikit mengeluarkan suara berat. Menghitung belanjaan seorang pelanggan. Ia sulit berkonsentrasi. "Mari ku bantu kau untuk mendapatkan beer serta makanan yang kau cari!" ajak seseorang. Muncul dari sisi kiri. Caroline menoleh, melempar senyuman tipis. "Oh. Okay." Caroline bergeser. Melangkah mengikuti sosok asing itu. Ia terlihat seperti pekerja. Pakaiannya sama dengan kasir. Hanya saja, tidak ada nametag terpasang. Meski demikian, Caroline merasa terbantu. Sejujurnya, ini adalah hari pertama ia masuk ke dalam minimarket. Caroline terbiasa dimanja. Ia hanya memberikan list permintaan, dan Alexander mencukupinya. Begitulah sirkulasi kehidupan Caroline. Mudah! *** "Oh. Kenapa hujannya tidak berhenti!" keluh Caroline. Membungkuk masuk ke dalam mobil. Menaruh barang yang ia beli. Luiz menoleh. Sekilas memerhatikan. "Kau basah!" tegur Luiz datar. "Aku tahu. Karena itulah aku harus ganti pakaian." "Kita akan melanjutkan perjalanan!" tahan Luiz. Memalingkan wajah, saat Caroline mulai melepas heels berwarna lilac di kaki jenjangnya. "Kau yakin?" tanya Caroline. "Ya." Caroline mengangguk. Mengalihkan pandangan ke arah minimarket. Ia mengerutkan kening. Sedikit berpikir. Sepertinya, ada sesuatu yang tertinggal. Namun, hawa dingin menyeruak. Menembus batas tulang. Sial. Caroline tidak tahan. Ia melepas kancing. Membuat Luiz segera menangkap, dan menggenggam tangan gadis itu. "Kenapa?" tanya Caroline. "Kau tidak bisa ganti pakaian di sini!" "Kau ingin aku mati beku?" balas Caroline. Menepis tangan Luiz. Menurunkan atasan tanpa ragu. Segera, pria tersebut melepaskan tangan. Menoleh ke arah jalan. Uhuk! Luiz mendadak batuk. Sesak napas. Ia menekan d**a. Memerangi sebuah rasa. "Kau tidak apa-apa?" tanya Caroline. Menurunkan pandangan. Menatap sesuatu. Ia membulatkan mata, sadar dengan perubahan yang terlihat jelas pada pria itu. "Pakai pakaianmu, cepat!" teriak Luiz. Menggenggam setir. "It's so big!" gumam Caroline. Tersenyum mengulum, lantas menutup mulut dengan tangan. Luiz merapatkan gigi. Ingin menendang Caroline keluar. Ia diam, terus membatin. Penuh umpatan, berusaha menurunkan miliknya. "Kau tahu apa yang sedang kau pikirkan?" tanya Caroline. Sambil berpakaian. Lengkap. Luiz diam. Menutup mulutnya rapat. Ia memegang mulut. Berniat menguncinya dengan benar. "Aku masih berpikir kalau kau Gay." Sial. Luiz semakin kuat meremas setir. Mengeratkan gigi. Geram. Menekan pedal gas. Menambah kecepatan dan masuk ke jalur sepi. Mengabaikan hujan deras serta pandangan buram di depannya. "Apa jangan-jangan kau menyukai Maxent?" tanya Caroline. Membuat Luiz mengalihkan pandangan ke arahnya. Menatap tajam. "Iya, 'kan?" Brakk!! Mendadak. Mobil yang di kendarai Luiz menabrak sesuatu. Luiz memutar setir. Menekan rem di tengah jalan licin. Ia panik, berusaha menghentikan kelajuan. Lalu berhenti saat menabrak pohon. "Luiz!" teriak Caroline. Menahan airbag yang otomatis keluar. Menahan penumpang. "Kau tidak apa-apa. Hah?" tanya Luiz. Terdengar panik. Menarik Caroline. Mengedarkan mata ke tiap tubuh yang bisa ia jangkau. "Ya. Aku takut!" jelas Caroline serak. Luiz menelan ludah. Mendekatkan diri. Memeluk gadis itu. Mendekap dalam. Caroline bungkam. Menahan napasnya sejenak. Ia bergetar. Masih syok. "Aku harus memeriksa," jelas Luiz. Melepas diri. Caroline mengangguk. Lekas menyatukan tangan. Ia semakin dingin. Terasa kaku. Luiz segera bergeser. Mendorong pintu mobil. Segera keluar. Membiarkan hujan membasahi tubuh. Meski dingin, Luiz menahan diri. Memeriksa sesuatu yang ia tabrak. "f**k!" gumamnya berat. Menahan napas. Menatap ke arah seekor anjing tergeletak mati di tengah jalan. Luiz merasa bersalah. "Luiz..." panggil Caroline. Turut bergerak keluar. Ingin memeriksa. Ia tidak tenang. Begitu takut. Luiz bergerak memutar. Memeriksa mobil. Dasboard mereka rusak. Namun, Luiz belum bisa memastikan keadaan mesin. Sekilas, pria itu menatap pada Caroline, bergerak mendekat. "Masuklah! Akan ku urus," ujar Luiz. Membuka pintu mobil untuk Caroline. Mendorong tubuh wanita itu masuk. "Kau akan menguburnya?" tanya Caroline. "Ya. Jangan tutup semua pintunya. Tahan!" pinta Luiz. Menatap gadis itu hingga mendapat jawaban pasti. Caroline mengangguk pelan. Sulit bersuara. Menyalahkan diri. Luiz bergeser, mencari peralatan yang mungkin bisa ia gunakan untuk mengubur hewan tersebut. Beberapa kali, mobil melewati. Akan tetapi, tidak ada satupun dari mereka berhenti. Mungkin takut, apalagi saat ini hujan masih menyelimuti deras. *** "Bagaimana?" tanya Caroline panik. Menyambut Luiz saat pria itu sudah memasuki mobil kembali. Luiz memeriksa ponsel, menekan layar. "Ponselku tidak ada signal. Cek milikmu!" pinta Luiz. Membuat Caroline lekas mengedarkan mata. Mencari handbag di semua tempat. Sementara Luiz mencoba menghidupkan mobil. "Dimana handbag ku!" gerutu Caroline. Menyingkirkan barang di sekitar. Lalu menepuk kepalanya sendiri. Luiz melirik. Berusaha mencari tahu. "Kenapa?" "Handbag ku tertinggal di minimarket," gerutu Caroline. Mengusap lengan. Semakin merasa dingin. Luiz menarik napas. Mengembuskan pelan. Tanpa memberi tanggapan, ia kembali menghidupkan mesin. Hingga benda tersebut akhirnya menyala. Syukurlah. Mobil milik Caroline memiliki safety yang di akui dunia. Tergolong kuat. "Aku akan cari penginapan terdekat untuk menghubungi seseorang," ujar Luiz. "Wait. Kita menginap?" tanya Caroline. Mengedipkan mata. Tanpa mengalihkan pandangan meski sedetik. "Aku akan hubungi kakakmu," ucap Luiz. Mendengar suara kasar dari mesin mobil. Meski hidup, benda itu tampak nya tidak akan sanggup menempuh perjalanan jauh. Ia harus mencari tempat aman. Lagipula, Caroline terlihat pucat. Wanita itu bisa sakit jika tidak segera diatasi. *** "Apa kau tidak bisa menemukan hotel yang lebih bagus?" protes Caroline. Mengerang kasar. "Dua kamar untuk...." "Sorry. Kami penuh, sir. Kamar hanya ada satu," ujar receptionist. Membuat Caroline mendelik. Luiz menarik napas. Mengedarkan mata ke tiap ruang. Ia dan Caroline menjadi santapan orang yang lewat. Basah kuyup. "Okay. Aku ambil. Minta kuncinya dan antar aku ke kamar cepat. Aku dingin," seru Caroline. Mendadak penuh semangat. "Aku akan tunggu di lobby!" "Kau basah dan akan mengusik tamu di sini!" tunjuk Caroline pada lantai marmer yang mereka pijak. Luiz menelan ludah. Memegang kening. Sementara mendukung pada Caroline. Bukan padanya. "Pegawai lain akan mengantar kalian ke kamar! Jika kalian butuh bantuan segera nomor darurat yang ada di telpon. Terimakasih." Caroline berputar. Menyodorkan barangnya. Entah kenapa, ia tidak melepaskan benda itu sejak turun dari minimarket tadi. Ia tersenyum, mendekati Luiz. Melangkah bersamaan. Terpaksa.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD