Chapter 5 : Spartan daybed

1658 Words
"Mengaku padaku. Kau tertarik pada gadis itu 'kan?" tegur Caroline. Meletakkan lengan kanan nya di bahu Maxent. Mereka berdiri sekitar enam meter dari Laura, berdiam diri di hadapan Luiz dan Megan yang saling menggoda. "She beautiful," singkat Maxent penuh pengakuan. "Kalimat mu mewakili semuanya, brother," sindir Caroline, tersenyum lebar. "Apa yang sedang kau pikirkan?" tanya Maxent, membaca wajah Caroline yang penuh rencana. "Wait! Biar aku tanya kau dulu. Seberapa tertariknya kau terhadap Laura?" Maxent diam. Memusatkan perhatiannya pada gadis yang tengah menjadi topik utama. Mata coklatnya meneliti, menatap penuh kekaguman. Entah sejak kapan senyuman Laura begitu menawan, pastinya sebelum malam panas yang pernah mereka lakukan, hati Maxent berdebar. "Probably.... One hundred percent!" ungkap Maxent memberi kepastian. "Good. Kalau begitu kalian harus bersenang-senang malam ini. Anggap saja ucapan terimakasih karena Laura yang membantuku lolos dari para perampok bodoh itu." "Apa yang akan kau lakukan?" tanya Maxent menautkan alis, membiarkan Caroline menurunkan lengan dari tempat semula. "Kau akan tahu nanti, sebaiknya kita sapa mereka. Laura sudah mulai bosan," ajak Caroline, melangkah lebih dulu setelah meraih sebotol wiski mahal yang ada di lemari kaca. "Ladies and gentlemen..." sapa Caroline terdengar ramah, saat ia sudah berada di tengah-tengah orang. "Caroline maaf, aku harus menyela ucapan mu. Aku harus pulang, ini sudah...." "Halo sweetheart. Ini baru pukul delapan. Pestanya bahkan belum di mulai," sela Caroline, menatap Laura yang bangun dari tempatnya dengan wajah khawatir. "Caroline tapi....." "Mau ku kutuk jadi mantel bulu? Hmm?" tanya Caroline, seakan melontarkan mantra ajaib dan berhasil meredakan protes dari Laura. Gadis itu melirik Maxent, meminta bantuan. Namun, pria itu lebih memilih menikmati pesta kecil mereka bersama Laura, sambil menunggu kejutan Caroline. "Baiklah.. Kau boleh pulang..." ujar Caroline. "Really?" "Tentu.. Tapi.. Ada syaratnya!" "Kau tidak bisa menahan seseorang untuk tetap di mansion ini, Carol," cegah Megan. "Shut up. Anak kecil jangan ikut campur. Duduk manis di sana. Okay.." balas Caroline, menajamkan pandangan pada Megan. Gadis itu mengeluh, lantas, sedikit terkejut akibat ponselnya bergetar. "f**k!" umpat Megan pelan. "What? Kau mengatai ku?" tanya Caroline. "Bukan kau. Sorry, aku harus menerima telpon. Bye!" Megan berdiri, menggerakkan kakinya lebih lebar untuk berjalan keluar setelah membaca satu pesan teks yang baru saja masuk. Seorang pria menunggunya di luar, mungkin sosok itu membuatnya lebih tertarik dari pada permainan yang akan di lakukan Caroline. "Okay. Kau mau dengar syaratnya, Laura?" "Yah.. of course." Caroline tersenyum, melangkah mundur hingga betisnya mengenai kursi. Sengaja duduk di samping Luiz, pria itu seperti tunggul. Diam di pojokan tanpa suara. "Kau ingin dengar, brother?" pancing Caroline dengan pertanyaan yang ia arahkan pada Maxent. "Jika itu bisa menahan Laura di sini. Yes!" jawab Maxent, membuat Laura mengeluh kasar. Brakk!! Caroline tiba-tiba menggebrak meja. Membuat Luiz terkejut, ia ingin tertawa, namun di tahan karena Caroline tidak akan melukai perasaan pria itu di depan Maxent dan Laura yang akan ia satukan. "Laura... Menurutku kau memiliki kekuatan yang cukup mengesankan. Entah, kau pelajari semua trik itu dari mana, percayalah, kalau aku tidak tertarik. Aku lebih tertarik melihatmu bertarung dengan dengan Maxent." "What?" tegur Maxent dan Laura bersamaan. "Maksudku... Kau boleh pulang setelah mengalahkan my lovely brother dalam waktu lima menit," jelas Caroline menekan pada pusatnya. Mencoba memberi peluang pada Maxent dan menguji nya. "Kau ingin aku berkelahi dengan Maxent?" tanya Laura. "Mau ku kasih samurai atau pisau dapur?" Caroline tersenyum lebar, mengedipkan salah satu matanya pada Maxent tanpa menghiraukan pertanyaan Laura. "Aku tidak bisa. Maxent bisa saja patah atau...." "Kau belum mencobanya. Mungkin aku bisa menahan mu di sini lebih lama dari lima menit," sergah Maxent penuh dukungan. Laura mendelik, mengedarkan matanya ke semua orang. Luiz tetap diam, meskipun di otaknya permainan Caroline terdengar berlebihan, ia tidak ingin protes. Mulutnya beku jika di sisi Caroline. "Okay. Kau akan menepati janji mu 'kan?" "Morgan tidak pernah ingkar," jawab Caroline menatap penuh harapan pada Maxent. "Jika aku menang maka....." "Kau hanya aku beri waktu lima menit... Mulai dari sekarang......" ucap Caroline, menekan ponsel yang sudah ia atur ke menu stopwatch. Benda itu langsung bergerak, mulai menghitung. "10 detik berlalu!" teriak Caroline membuat Laura berusaha menyerang Maxent lebih dulu. Ia mencoba menang, mendominasi di awal. "Kau mau kemana?" Caroline menegur Luiz, saat pria itu berdiri dari tempatnya. "Toilet," jawab Luiz lalu lekas pergi meninggalkan tempat. Caroline tidak menahan, ia menggunakan waktu tersebut untuk menaruh sesuatu ke dalam dua gelas kecil yang ada di hadapannya. Perangsang, Caroline mencurinya dari Milla. Maxent mendadak jatuh, membuat Caroline terkejut. Gadis itu meremas botol kecil berisi cairan lalu menoleh ke arah ponsel. "3 menit tersisa!!" teriak Caroline membuat keduanya semakin terhimpit waktu. Ia tahu Maxent tampak lebih kuat, dan Caroline curang. Ia tidak akan membiarkan kakak nya babak belur. Laura lawan seimbang. "Okay. Jika anjuran dokter hanya empat tetes, maka anjuran Caroline delapan tetes. Good. Biar makin mesra," batin Caroline menuangkan wiski dan mencampurkan perangsang. Sampai sini, rencana Caroline berjalan lancar. Empat gelas berisi air sudah ia pisahkan dengan miliknya dan Luiz. "Time is over!!!!" teriak Caroline, tanpa melihat ponselnya, namun ia tahu Maxent pemimpinnya. "You lose!" ucap Maxent, menatap Laura yang mendengus kesal sambil mengepal kedua tangan. "Bagaimana bisa? Kau tidak...." "Morgan akan selalu menjadi pemenang. Jadi kau harus tinggal di sini sampai pestanya selesai," Caroline menyela, bangkit dari tempat duduknya dan melakukan tos pada Maxent. Brother nya tidak akan pernah mengecewakan. "Aku ingin minum..." Laura bergerak, membuat Caroline mundur, meraba-raba salah satu gelas yang ada di meja dan memberikan wiski pada Laura. "Hadiah mu!" ujar Caroline, mengangkat salah satu alis lalu kembali meraba-raba gelas tanpa melihat dan langsung menenggaknya habis bersamaan dengan Laura. "Kau bisa tambah jika kurang," tawar Caroline, melihat Laura menaruh gelas kosong nya di meja. "Jadi kau akan menetap di sini 'kan?"tanya Maxent. "Ya. Hanya sampai pestanya selesai,"balas Laura. "Kalau begitu... Tambah....." Deg!! Ucapan Caroline terhenti, memerhatikan susunan gelas. Ia mengerutkan kening, mengalihkan pandangan pada Maxent lalu Luiz yang bergerak kembali mendekat. "Holy s**t! I'm dead!" gumam Caroline pelan. "What?" tanya Laura mencoba memperjelas. Caroline tidak menjawab, malah liar mengedarkan matanya ke tiap orang. "Aku salah minum. Aku... Minum wiski yang dicampur perangsang," batin Caroline menghentikan pandangan pada Luiz. "Caroline?" tegur Maxent. "Yap?" jawab gadis itu sambil menarik napas. "Ada yang kau pikirkan?" "No. Aku hanya panas, mungkin sebentar lagi terpanggang. Luiz aku butuh bantuan mu, kalian bersenang-senanglah," ucap Caroline. "Kau ingin meninggalkan...." "Luiz stand up please. Aku akan benar-benar butuh bantuan mu," sela Caroline lagi, menentang ucapan Laura. "Caroline...." "Kau tidak dengar, Maxent? Aku akan butuh bantuan Luiz!" Caroline berteriak, menepis tangan Maxent saat pria itu menahan lengannya. Gadis itu melirik Laura, memberi tanda pada Maxent diam-diam. Laura mundur, duduk di sofa sambil merapatkan kaki. Oh my godness, Caroline merasa mulai tersiksa. Membutuhkan sesuatu yang tidak pernah ia lakukan selama ini. "Ayo!" ucap Luiz mulai bersuara, mengarahkan pandangan pada Caroline tanpa mengetahui apapun. Ia hanya mencoba memahami Maxent, bahwa hubungannya dengan Laura terlihat butuh privasi. "Bye.. Kalian harus bersenang-senang, ingat Laura! Jangan melanggar perjanjian. Okay," teriak Caroline, mengeratkan kedua tangannya di lengan Luiz. Hingga pria itu terdiam sejenak. Hingga Caroline tampak mendesaknya untuk segera pergi. *** "Siapa yang kau telpon?" tanya Caroline. Duduk di atas spartan daybed yang ada di pinggir kolam utara mansion milik Maxent. "Megan," jawab Luiz singkat. Caroline menunduk, merapatkan kedua paha hingga ibu jari kaki nya ikut bersatu. Ia resah, meremas-remas sudut daybed. "Tidak diangkat?" cerca Caroline dengan pertanyaan singkat. Luiz tidak menjawab, hanya berdeham singkat dan membuang napasnya. Caroline menelan saliva, merasakan tenggorokannya begitu kering tanpa mengalihkan pandangan dari sosok yang duduk tanpa suara di sampingnya. "Sial. Aku tidak tahan lagi..benar-benar tidak tahan..." Caroline bangkit, bergerak mendekati Luiz dan duduk di pangkuan pria itu. "Caroline...." Caroline melipat kedua tangannya di tengkuk Luiz, sambil meremas halus rambut hitam pria itu. Caroline menjatuhkan harga dirinya di hadapan Luiz. Jiwa-jiwa kesepian mereka mengatur pertemuan, membentuk keberanian yang semakin sulit dikendalikan. Namun sayangnya, hal itu tidak berlangsung lebih lama. Luiz memilih waras, melepaskan ciuman nya dan bergerak mundur. Kembali menjatuhkan tubuh Caroline ke dasar daybed. "Luiz...." "Aku tidak bisa melakukan hal yang lebih jauh. Aku tidak ingin merusak mu," jelas Luiz tanpa memandangi Caroline sayu. "Kau tidak merusak ku. Kau tidak perlu mundur." "Apa yang kau minum?" tanya Luiz, memalingkan wajah ke arah Caroline. Gadis itu diam, menelan ludahnya kasar. "Aku...." "Kau mabuk?" tuding Luiz. "Tidak." "Jadi apa? Jangan membuatku khawatir!" lepas Luiz parau. "Kau khawatir?" "Tentu saja aku khawatir, Caroline. Aku...." Luiz kembali bungkam, menunduk kesal sambil mengepal kedua tangannya hingga otot-otot yang ada di tangannya terlihat jelas. "Aku tidak sengaja minum wiski yang dicampur perangsang," aku Caroline menahan napas. "Dari mana kau dapat itu?" tanya Luiz. "Aku... Aku mencurinya dari mommy Milla." Luiz tidak menjawab, ia meremas rambutnya dan merasa kesal. "Aku hanya butuh hal yang berbeda," sambung Caroline. "Dariku?"tanya Luiz. "I'm virgin. Kau tidak akan rugi!" "Apa? Kau pikir aku bisa meniduri semua gadis?" sentak Luiz membuat Caroline berpikir sejenak. "Luiz... Aku tidak tahu jika hal ini akan mengenai ku. Awalnya aku hanya ingin memberikan pada Maxent dan Laura." "Astaga!" pikir Luiz diam tanpa suara sambil menggelengkan kepala. "Kalau kau tidak mau, aku akan.....!" "Diam!" Tahan Luiz, menarik lengan gadis itu saat Caroline beranjak dari tempatnya. "Aw!" ringis Caroline terduduk kembali ke daybed. "Tetap di sini sampai obat itu mereda," ucap Luiz. Mencengkeram lengan Caroline. "Tapi..." Luiz menarik Caroline, meletakkan kepala gadis itu di pahanya. Menekannya kuat hingga ia tidak bisa bergerak. "Luiz...." "Tidur!!!" sentak Luiz terdengar ngeri, Caroline menelan ludah takut dengan gertakan pria itu. Kedua kaki Caroline di naikkan, berbaring menyamping, dan naik lebih atas hingga sampai ke pangkal paha. Tempat yang cukup nyaman bagi Caroline. Ia bisa mencium aroma maskulin pria itu. "Sampai kapan aku harus menahannya seperti ini?"tanya Caroline. "Kau pikir aku tahu?, apapun yang terjadi, aku tidak akan meniduri mu!" balas Luiz tegang, membuat Caroline mendelik. "Lalu aku harus bagaimana? Ini menyiksa," protes Caroline. "Bukan urusanku!" balas Luiz datar.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD